Tidak Boleh Pakai Kayu Alam

Pabrik kertas

Syahdan, hiduplah Rahwana, raksasa serakah dalam epos Ramayana. Tak puas dengan wilayah kekuasaannya di Alengka, Rahwana terus merangsek ke negara tetangga. Wilayah yang kecil-kecil dengan mudah dilibas. Saking berkuasanya, jangankan raja-raja sebangsa, bahkan Dewa pun takut dan menuruti kehendaknya.

Raksasa yang makin menguat saat ini juga ada di Indonesia. Adalah Asia Pulp and Paper (APP) yang menjadi bagian dari gurita bisnis kelompok Sinar Mas. Memiliki kapasitas terpasang sekitar 3,3 juta ton bubur kayu setiap tahun, atau hampir setengah dari kapasitas terpasang industri bubur kayu nasional, APP juga menguasai sekitar 2,6 juta hektare (ha) hutan.

Cengkramannya bakal makin besar dengan segera beroperasinya PT Ogan Komering Ilir (OKI) Pulp and Paper Mills, mulai tahun depan. Memiliki kapasitas terpasang sebesar 2 juta ton bubur kayu dan 500.000 ton kertas tisu per tahun, OKI Pulp dideklarasikan sebagai pabrik pulp dan kertas terintegrasi terbesar di Asia.

Sedapnya lagi, Presiden Joko Widodo baru saja mengabulkan permintaan pengurangan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau populer disebut tax holiday yang diajukan manajemen Sinar Mas. Persetujuan tersebut diumumkan Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Kamis (27/8/2015).

Berdasarkan persetujuan tersebut, OKI Pulp bisa menikmati tax holiday selama 8 tahun. Ditambah lagi ada diskon PPh Badan sebesar 50% untuk dua tahun setelahnya.

Menurut Managing Director Sinarmas Group Holding Gandi Sulistyanto, saat ini pembangunan OKI Pulp sedang memamsuki tahap konstruksi infrastruktur dan fasilitas produksi. Nilai investasi yang ditanamankan mencapai Rp30 triliun.

Menurut dia, nilai lebih dari pabrik tersebut bukan saja terletak pada kapasitas produksinya, melainkan juga pada penggunaan teknologi terkini yang mampu menghemat pemakaian energi, bahan baku serta sumber daya alam secara signifikan. Keberadaan pabrik ini akan mengirimkan pesan yang positif akan potensi dari industri berbasis kehutanan Indonesia serta kemampuannya beroperasi secara berkelanjutan.

Nantinya, sekitar 70% dari total produksi OKI Pulp diekspor, sementara 30% lagi akan dimanfaatkan di dalam negeri. Ekspor akan membidik setidaknya 20 negara dunia dengan tujuan utama Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok.

Pembangunan pabrik terbaru itu juga diklaim bakal menyerap 3.500 orang tenaga kerja langsung dan membuka lapangan kerja tidak langsung 7.000 orang dan dapat terus bertambah.

Sayangnya, pihak Sinar Mas enggan memberi penjelasan lebih detil kepada Agro Indonesia tentang rencana pembangunan OKI Pulp. Alasannya, sedang fokus untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Saat ini, sejumlah titik api memang muncul di konsesi dalam kelompok Sinar Mas. Bahkan, satu perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas dan bakal menjadi pemasok utama OKI Pulp, PT Bumi Mekar Hijau, sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Palembang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menuduh perusahaan yang berbasis di OKI tersebut melakukan pembakaran hutan dan lahan seluas 20.000 ha. Menurut Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK Rasio Ridho Sani, gugatan yang diajukan kepada Bumi Mekar Hijau adalah kerugian lingkungan hidup senilai Rp2,6 triliun. Perusahaan itu juga dituntut untuk mengeluarkan biaya pemulihan sebesar Rp5,2 triliun.

Pasti ditolak

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bidang Ekonomi Sumber Daya Alam yang juga menjabat Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian LHK, Agus Jusnianto menyatakan, Kementerian LHK hanya akan menyetujui investasi OKI Pulp jika sepenuhnya menggunakan bahan baku dari kayu tanaman. “Kalau masih menggunakan kayu alam pasti ditolak,” tegas Agus, Kamis (10/9/2015).

Penerbitan izin industri bubur kayu dan kertas sebenarnya merupakan wewenang Kementerian Perindustrian. Meski demikian, Kementerian LHK memiliki kewenangan perizinan industri kayu serpih (chipswood), yang merupakan industri primer hasil hutan, sebelum kayu diolah menjadi bubur kayu.

Agus mengakui, sesungguhnya tidak ada larangan penggunaan mixed tropical hardwood alias kayu hutan alam untuk industri bubur kayu mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Meski demikian, Menteri LHK memiliki diskresi yang memungkinkan untuk menolak penerbitan izin industri bubur kayu yang masih menggunakan kayu alam. “Dalam surat perizinannya nanti bisa dinyatakan persyaratan untuk tidak boleh menggunakan kayu dari hutan alam,” kata Agus.

Saat ini OKI Pulp belum mengajukan permohonan untuk memperoleh izin usaha industri primer hasil hutan (IUIPHHK) chipswood. Meski demikian, pihak OKI Pulp sempat memaparkan rencana bisnisnya kepada Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Putera Parthama dan jajarannya sekitar satu bulan silam.

Sejatinya, larangan bagi industri bubur kayu untuk menggunakan mixed tropical hardwood pernah ada di zaman Menteri Kehutanan M. Prakosa, yakni SK No.162/2003 mengenai percepatan pembangunan hutan tanaman untuk pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas. Namun, masih dalam masa kepemimpinannya, aturan tersebut dicabut setelah adanya desakan dari kalangan industri bubur kayu.

Berdasarkan SK 101/Menhut-II/2004 tentang percepatan pembangunan hutan tanaman untuk pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas, maka pembangunan hutan tanaman harus diselesaikan paling lambat tahun 2009. Jadi, jika lewat dari tahun itu, berarti industri pulp dan kertas tidak boleh memanfaatan kayu hasil land clearing, yang merupakan kayu hutan alam.

Agus memastikan, pemerintahan saat ini tidak akan mengendurkan komitmen untuk mendorong penggunaan kayu dari hutan tanaman bagi industri bubur kayu. Bahkan, jika nantinya perusahaan bubur kayu yang telah berinvestasi besar dan menyerap tenaga kerja itu mendesak karena kekurangan bahan baku. “Kalau kami tiba-tiba ditodong untuk memperluas konsesi agar bisa dimanfatkan kayu hasil land clearing-nya, pasti kami tolak,” tegasnya. Sugiharto

Apa itu Industri Pionir?

PT Ogan Komering Ilir (OKI) Pulp and Paper Mills, anak usaha Grup Sinar Mas menjadi salah satu perusahaa yang mendapatkan fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak dari pemerintah.

Perusahaan yang berlokasi di Ogan Komering Ilir itu mendapat fasilitas pengurangan pajak setelah memenuhi presyaratan yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PMK Tax Holiday).

Salah satu persyaratan yang telah dipenuhi perusahaan itu adalah sebagai industri pionir. Terkait status ini, sejumlah pihak mempertanyakan, mengingat industri yang begerak di bidang pulp dan paper di dalam negeri sudah banyak jumlahnya.

Menangapi pertanyaan ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kementerian Perindustrian, Haris Munandar menyatakan predikat pionir tidak harus diartikan sebagai industri yang pertama kali memproduksi suatu produk.

Menurutnya, dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 28 tahun 2008 serta PMK Nomor 159/PMK.010/2015, disebutkan empat kriteria yang harus dipenuhi perusahaa untuk mendapatkan predikat pionir.

Pertama, eksternalitas yang tinggi. Kedua, memiliki nilai tambah dan keterkaitan yang luas. Ketiga, memperkenalkan teknologi baru di Indonesia dan keempat adalah berdampak strategis terhadap perekonomian nasional. “Keempat persyaratan itu telah dipenuhi oleh PT OKI Pulp,” ujar Haris kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Dia mencontohkan, untuk persyaratan eksternalitas yang tinggi, perusahaan mampu memacu sektor lainnya. Dari perusahaan yang berlokasi di kawasan terpencil itu, dapat dihasilkan suatu produk yang berkaitan erat dengan kegiatan industri lainnya. “Perusahaan juga memiliki nilai tambah karena ekspornya sangat besar, sehingga bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional,” jelasnya.

Selain itu, OKI juga memperkenalkan teknologi baru di Indonesia berupa penggunaan kulit kayu sebagai bahan bakar kegiatan operasinya. Dengan teknologi ini, beban pemerintah bagi penyediaan pasokan bahan bakar menjadi berkurang.

Syarat lainnya yang dipenuhi OKI adalah berdampak strategis terhadap perekonomian. Dengan jumlah investasi yang cukup besar serta penyerapan tenaga kerja yang besar, baik penyerapan tenaga kerja secara langsung maupun tak langsung, “Keberadaan perusahaan itu memiliki dampak strategis bagi perekonomian nasional,” papar Haris.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Saleh Husin menjelaskan, kebijakan tax holiday diluncurkan sebagai strategi menarik dana investasi  jangka panjang, terutama untuk industri pionir. Langkah ini seiring perbaikan iklim usaha dan investasi di tanah air. B. Wibowo