Pemerintah mengabulkan permohonan pengurangan pajak (tax holiday) PT Ogan Komering Ilir (OKI) Pulp and Paper Mills, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), yang merupakan bagian dari gurita bisnis kelompok Sinar Mas. Nantinya, OKI Pulp bakal mendapat pembebasan PPh badan selama 8 tahun. Ditambah lagi, diskon PPh badan sebesar 50% untuk dua tahun setelahnya.
Kemurahan hati pemerintah terhadap raja bubur kayu di Indonesia itu menuai kritik. Pemberian insentif tersebut dinilai hanya semakin mempercepat laju deforestasi. Belum terjaminnya pasokan bahan baku industri pulp dan kertas dari kayu tanaman adalah alasannya.
Di sisi lain, masih ada penolakan dari masyarakat setempat terhadap pembangunan industri bubur kayu skala besar di OKI yang akhirnya meningkatkan potensi konflik. “Pemerintah rugi dua kali,” kata pengkampanye Forest Watch Indonesia, M Kosar, Jumat (11/9/2015).
Kosar juga menyayangkan langkah pemerintah yang memberikan pembebasan PPh badan selama 8 tahun plus keringanan PPh badan sebesar 50% untuk dua tahun berikutnya. Menurut dia, pemerintah mungkin silau dengan potensi devisa yang bisa dihasilkan dari OKI Pulp. Tetapi sesungguhnya pemerintah kehilangan penerimaan negara yang bisa dimanfaatkan untuk media konflik yang terjadi di lapangan.
“Ini artinya pemerintah malah harus merogoh kocek sendiri untuk penyelesaian konflik,” kata dia.
Kosar menekankan, ada proses yang kurang transparan dalam pembangunan OKI Pulp. Tidak diterapkannya proses Penerapan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaaan (Padiatapa/FPIC) membuat banyak masyarakat setempat yang menolak OKI Pulp. “Padahal, saat ini pembangunannya sudah berlangsung,” kata dia.
Dalam pembangunannya, OKI Pulp memang melakukan proses padiatapa di tujuh desa yang berpotensi terkena dampak pembangunan pabrik. Mereka adalah Desa Bukit Batu, Jadi Mulya, Kuala Sugihan, Negeri Sakti, Pangkalan Sakti, Rengas Abang, dan Simpang Heran.
Namun, menurut masyarakat di tujuh desa tersebut, APP tidak secara detil memberikan informasi dan dokumen mengenai legalitas perusahaan, kegiatan, dan potensi dampak yang mungkin terjadi akibat kegiatan pabrik. Selain itu, OKI Pulp tidak menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh waktu yang cukup dan mendapatkan informasi dari pihak lain sebelum mengambil keputusan terkait pembangunan pabrik.
Kosar juga mengingatkan, potensi peningkatan deforestasi dengan berdirinya OKI Pulp. “Ancaman kerusakan hutan alam dan gambut diperjelas dengan rencana pembangunan OKI Pulp. Selain kehilangan hutan dan kerusakan lahan gambut, potensi kehilangan satwa endemik Sumatera juga meningkat,” katanya.
FWI pernah melakukan kajian yang mengungkap bagaimana industri pulp dan kertas masih kekurangan bahan baku kayu tanaman. Kajian dirilis 17 September 2014, dan sedang disempurnakan.
Berdasarkan kajian tersebut, OKI Pulp yang memiliki kapasitas sebesar 2 juta ton bubur kayu dan 500.000 kertas tisu itu membutuhkan bahan baku kayu setidaknya 9 juta m3. Jumlah kebutuhan bahan baku tersebut sulit dipenuhi oleh tujuh perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di bawah bendera Sinar Mas yang berada di Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kabupaten OKI seluas total 787.955 hektare (ha). “Rendahnya realisasi dan produksi kayu hasil tanaman adalah alasannya,” kata Kosar.
Dia memaparkan, secara nasional produksi kayu tanaman dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri (HTI) memang mengalami peningkatan. Pada tahun 2013, produksi kayu secara nasional mencapai 46,6 juta m3, meningkat bila dibanding tahun 2012 yang sebesar 45,5 juta m3. Kecenderungan peningkatan ini mulai terlihat sejak tahun 2008 yang tercatat sebesar 33,3 juta m3.
Meski demikian, tetap saja volume itu belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri bubur kayu dan kertas. “Sumbangan dari hutan tanaman tahun 2013 sebesar 29,8 juta m3, atau hanya sekitar 63% dari total produksi kayu. Jadi, sesungguhnya masih ada kekurangan,” katanya.
Menurut Kosar, jika konsesi HTI bisa merealisasikan tanamannya secara normal, maka sesungguhnya dari 5,7 juta ha HTI bisa diproduksi kayu tanaman sebanyak 100 juta m3. Padahal, saat ini luas konsesi HTI sudah tembus 10 juta m3. “Saat ini dengan total kapasitas industri bubur kayu yang sekitar 7,6 juta ton per tahun, hanya dibutuhkan bahan baku kayu sekitar 35 juta m3 per tahun. Itu artinya luas HTI saat ini sudah jauh dari mencukupi. Tapi kenyataanya produk kayu tanamannya kan masih kurang karena realisasi tanamnya rendah,” katanya.
APP sendiri sejatinya sudah mengumumkan untuk mengghentikan penggunaan kayu alam sesuai Kebijakan Konservasi Hutan (FCP) grup tersebut yang dicanangkan tahun 2013. Diumumkan pada Februari, namun kayu dari hutan alam benar-benar tidak boleh masuk ke pabrik-pabrik APP terhitung 31 Agustus 2013.
Meski demikian, ungkap Kosar, faktanya masih ditemukan adanya pengiriman kayu alam dari perusahaan pemasok ke APP. “Kenyataannya kami masih menemukan penebangan hutan alam terkait APP,” katanya.
Tidak akan mampu
Gentingnya ketersediaan bahan baku kayu tanaman untuk pabrik-pabrik APP, termasuk OKI Pulp, juga diperingatkan oleh Greenomics Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, ketersediaan bahan baku kayu hutan tanaman dari konsesi Sinar Mas di Sumatera Selatan saat ini tidak bisa menopang utilisasi secara penuh kapasitas terpasang OKI Pulp. “Setidaknya, sampai tahun 2020,” kata dia, Kamis (10/9/2015).
Terkait rantai pasok bahan baku kayu bagi kilang-kilang bubur kayu APP, Greenomics pernah melansir sebuah laporan pada November 2014. Dalam laporan tersebut, OKI Pulp mungkin saja mendapat tambahan bahan baku kayu tanaman dari konsesi APP di wilayah lain — khususnya yang ada di Kalimantan Barat. Meski demikian, tetap saja tidak akan mampu mendukung utilisiasi secara penuh OKI Pulp. Saat ini konsesi Sinar Mas di Kalimantan Barat dialokasikan untuk produksi kayu serpih (wood chips) untuk tujuan ekspor ke pabrik APP di Tiongkok.
Dalam kajian tersebut terungkap bagaimana konsesi Sinar Mas memainkan peran penting dalam memasok bahan baku kayu bagi pabrik bubur kayu APP di Sumatera, yaitu PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), Riau, dan PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Industries (LPPPI), Jambi. Tahun 2013, sebanyak 25% bahan baku kayu IKPP dan 10% untuk LPPPI berasal dari konsesi Sinar Mas di Sumatera Selatan.
Ini artinya ketika pasokan kayu dari konsesi di Suamtera Selatan dialihkan untuk OKI Pulp, keseimbangan neraca pasokan bahan baku kayu pabrik-pabrik APP pun goyah. “APP masih harus meningkatkan performa pasokan bahan baku kayu tanaman untuk memenuhi kebutuhan pabrik yang saat ini sudah beroperasi dan pabrik barunya OKI Pulp,” kata Vanda.
Greenomics juga mengingatkan soal adanya potensi konflik lahan dan konflik sosial pada konsesi HTI yang ada. Jika konflik sosial dan lahan mengganggu rotasi penanaman dan pemanenan, maka bisa dipastikan mengganggu keberlanjutan dalam jangka panjang pasokan bahan baku kayu bagi pabrik-pabrik APP. Sugiharto