OKI Pulp Harus Gunakan Tanaman

Tak seorang pun sanggup menahan laju Sinar Mas Grup menjadi raja pulp dan kertas Indonesia. Bahkan, dengan kepiawaiannya, Sinar Mas justru memperoleh fasilitas mewah pemerintah, pembebasan pajak (tax holiday). Padahal, pasok bahan baku kayu hutan tanaman untuk pabrik barunya di Sumsel itu, Ogan Komering Ilir (OKI) Pulp and Paper Mills, belum mencukupi. Bagaimana sikap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)?

Jika tidak ada aral melintang, kelompok bisnis Sinar Mas mulai awal 2016 sudah bisa mengoperasikan Ogan Komering Ilir Pulp and Paper Mills (OKI Pulp), yang memperkuat imperium bisnis pulp dan kertas di bawah bendera Asia Pulp and Paper (APP). Dengan kapasitas produksi pulp 2 juta ton/tahun, maka seluruh pabrik di bawah bendera APP ini tiap tahunnya akan menghasilkan 5,32 juta ton pulp dan 4,795 juta ton kertas!

Dahsyat, memang. Bahkan, dalam proses mencapai produksi gigantik tersebut, pemerintah tak sungkan memberi dukungan. Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memberikan fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) badan (tax holiday) selama 8 tahun kepada OKI Pulp. Plus, dua tahun setelahnya masih dapat diskon PPh Badan 50%. Semua itu karena pabrik dengan investasi sekitar Rp30 triliun, di mana 1,8 miliar dolar AS berasal dari pinjaman China Development Bank ini dianggap industri pionir. Loh?

“Ini memang agak menyimpang dari pengertian awal industri pionir,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo. Maklum, pionir yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan No.159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan PPh Badan memang bukan perintis, tapi industri yang memiliki keterkaitan luas, punya nilai tambah dan eksternalitas sangat tinggi, memperkenalkan teknologi baru dan strategis bagi perekonomian nasional.

Prastowo sendiri menilai kebijakan tax holiday tidak tepat dan sudah lama ditinggal oleh banyak negara karena investor asing lebih memilih kepastian hukum dan bisnis atau upah buruh. Dia lebih setuju pemerintah gunakan tax allowance, pengurangan pajak, karena insentifnya beragam tak semata pembebasan pajak. “Jangan sampai tax holiday ini dimanfatkan industri lama yang ganti baju. Jadi, butuh pengawasan ekstra. Atau kebijakan ini seolah sudah disiapkan untuk perusahaan tertentu. Tidak obyektif. Apalagi, ada diskresi menteri yang sangat besar,” paparnya.

Kini, batu ujian terakhir Sinar Mas ada di tangan KLHK. Pasalnya, dari kajian Forest Watch Indonesia (FWI) maupun Greenomic Indonesia, pasok kayu dari hutan tanaman OKI Pulp belum mencukupi. Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, yang juga menjabat Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian LHK, Agus Jusnianto menyatakan, KLHK akan menolak jika OKI Pulp masih menggunakan kayu alam.

Sikap tegas ini sangat penting, karena pengalaman pahit era Orde Baru ketika Kehutanan memberi “subsidi” alam penggunaan kayu IPK, yang terus berlanjut sampai kini, akibat tidak adanya koordinasi antara Kehutanan, BKPM dan Perindustrian. “Kalau kami tiba-tiba ditodong untuk memperluas konsesi agar bisa dimanfatkan kayu hasil land clearing-nya, pasti kami tolak,” tegasnya. Benarkah? Mari kita tunggu dan lihat. AI