HIMKI: SVLK Cukup di Hulu

Sebagai negara dengan  kepemilikan hutan yang sangat luas, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen utama produk berbasis kayu dan rotan, seperti produk mebel dan furnitur.

Dengan potensi yang ada itu, Presiden Jokowi, pada saat membuka Pameran Indonesia International Furnitur Expo 2015 di Jakarta International EXPO, pertengahan Maret 2015 menantang Menteri Perindustrian Menteri Perdagangan dan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) untuk merealisasikan target nilai ekspor mebel dan furnitur Indonesia sampai 5 miliar dolar Amerika Serikat dalam lima tahun ke depan.

Walaupun masih jauh dibawah China dan Vietnam, kinerja ekspor mebel dan furnitur Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan capaian membaik. Secara total, pada tahun 2013 nilai ekspor furnitur kayu dan rotan nasional mencapai 1,8 miliar dolar AS dan meningkat pada tahun 2014 menjadi  2,2 miliar dolar AS.

Namun, di tahun 2015, nilai ekspor komoditas tersebut justru mengalami penurunan dengan hanya menjadi 1,93 miliar dolar AS. Bahkan, alih-alih mencapai target, di sepanjang tahun 2016, data mentah yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan total nilai produk mebel dan furnitur hanya mencapai 1,608 miliar dolar AS. Padahal, target nilai ekspor yang dicanangkan pemerintah minimal 2,2 miliar dolar AS.

Penurunan nilai ekspor produk mebel dan furnitur ini sungguh ironis karena Indonesia telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong peningkatan nilai ekspor komoditas tersebut. Kebijakan yang paling fenomenal adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari hulu hingga hilir terhadap produk berbasis kayu dan rotan yang akan diekspor ke mancanegara.

Indonesia satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem terssebut dengan harapan meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk furnitur Indonesia di pasar internasional.

Terjun bebas

Wakil Ketua Umum Himpunan Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengakui, nilai ekspor furnitur Indonesia di tahun 2016 terjun bebas akibat berbagai kendala.

Menurutnya, penurunan nilai ekspor itu terjadi karena iklim investasi di sektor furnitur di Indonesia kurang menarik. Hal ini dibuktikan dengan kepindahan beberapa pabrik furnitur besar ke luar negeri.

“Dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, ada beberapa pabrik besar yang sudah memindahkan kegiatan produksinya ke Vietnam, seperti WWI dan Maitland Smit,” ujar Sobur kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Kepindahan beberapa pabrik besar itu, ungkapnya tentu saja mengurangi volume dan nilai ekspor komoditas furnitur Indonesia.

Selain kegiatan relokasi pabrik, penurunan nilai ekspor juga dipicu oleh penurunan pesanan yang diperoleh pabrik-pabrik besar lainnya karena pihak buyer mengalihkan pesanannya ke  produsen furnitur yang ada di Vietnam dan Malaysia.

Sobur mencatat, penurunan pesanan dari buyer itu antara lain dialami oleh produsen furnitur dengan volume produksi besar, seperti Kurnia Anggun, Multi Manau, Integra dan Rimba Wood.

“Para buyer mengalihkan pesanannya dari Indonesia ke Vietnam dan Malaysia karena harga jual produk serupa di sana labih murah dan kualitasnya juga cukup bersaing,” paparnya. Dengan berbagai keunggulannya itu, Vietnam mampu meningkatkan nilai ekspornya di tahun 2016 dengan mencapai 7,2 juta miliar dolar AS.

Sobur mengakui, secara umum penurunan nilai ekspor juga terjadi pada komoditas lainnya di tahun 2016 yang rata-rata mencapai 7%. Namun, jika dipilah per sektor, maka industri furnitur menjadi salah satu komoditas yang paling besar penurunannya, yakni sebesar 16% jika dibandingkan dengan perolehan nilai ekspor tahun 2015.

Karena itu, ungkapnya, selama tanggal 9 dan 10 Maret 2017, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) merasa perlu turun ke lapangan untuk mengunjungi dan melihat kondisi aktual yang terjadi di produsen furnitur di sejumlah sentra industri furnitur.

“Memang, agak ironis terlihat di publik. Kenapa industri di mana Presidennya berasal dari komunitas mebel, industrinya malah turun drastis. Cukup memalukan, tapi ini fakta. Harusnya naik peringkat menjadi yang terdepan,” ucap Sobur.

Dia berharap, apa yang dilihat KEIN di lapangan akan segera diinformasikan dan direkomendasikan dalam policy memo ke presiden agar diberi perhatian khusus agar industri furnitur bisa bangkit.

Revisi SVLK

Salah satu kebijakan yang diharapkan dilakukan pemerintah adalah merevisi kembali penerapan SVLK. Menurut Sobur, penerapan SVLK bagi industri hilir berbasis kayu belum memberikan kontribusi bagi kenaikan permintaan pasar terhadap produk furnitur asal Indonesia.

“Justru yang terjadi adalah sejumlah buyer mengalihkan pesanan dari Indonesia ke negara-negara yang tidak menerapkan SVLK terhadap industri hulu dan hilir kayu, seperti Vietnam, Malaysia dan China,” katanya.

Selain itu, penerapan SVLK terhadap produk hilir juga tidak menjamin produk furnitur asal Indonesia bisa melenggang bebas dalam proses pemasukan ke negara tujuan.

Hal ini dibuktikan dengan masih adanya komoditas furnitur yang tertahan masuk di pelabuhan-pelabuhan di Uni Eropa. Misalnya, ada beberapa produk furnitur Indonesia yang dikirim ke IMM, Koln, tertahan pada bulan Januari lalu serta barang yang dikirim ke Ambiente untuk pengiriman bulan Februari 2017, juga tidak bisa masuk dengan lancar. “Fakta dengan adanya SVLK  tidak menjadi lancar dan ada beban biaya,” kritik Sobur.

Untuk itu, dia meminta pemerintah agar produk hilir berbasis kayu tidak perlu dikenakan SVLK. Biarlah hanya produk hulu saja yang dikenakan sistem tersebut. “Produk hulu saja yang dikenakan SVLK. Produk hilirnya tidak diperlukan lagi,” tegasnya.

Justru positif

Namun, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Marthin Simanungkalit menilai sistem SVLK telah memberi manfaat positif bagi kelancaran kegiatan ekspor produk furnitur Indonesia.

Menurutnya, penyebab ekspor mebel dan furnitur Indonesia mengalami penurunan dari 2015 ke 2016 karena permintaan pasar internasional (perdagangan global) yang menurun, sehingga sangat berpengaruh terhadap ekspor furnitur indonesia. Penurunan ini juga terjadi terhadap ekspor produk non migas

“SVLK ini penting agar keberterimaan pasar untuk produk kayu Indonesia di pasar dunia khususnya UE. Dengan SVLK ini legalitas kayu Indonesia dapat ditelusuri sehingga menjamin bahwa produk kayu yang diekspor indonesia sudah legal,” kata Marthin kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Dijelaskan, pemerintah Indonesia dan UE telah memiliki komitmen bahwa dengan adanya FLEGT License ini, produk kayu Indonesia sudah masuk jalur hijau, tidak  akan dilakukan lagi due dilligence (pemeriksaan kembali di tujuan ekspor).

Bukan hanya sekadar komitmen, ungkap Marthin, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga terus mendorong agar seluruh negara UE untuk konsisten dalam menerapkan FLEGT License ini sehingga tidak terjadi hambatan ekspor. “Peningkatan informasi SVLK bagi pengusaha, competent authority dan custom terus dilakukan Kemendag agar semua pihak memiliki persepsi yang sama,” tuturnya.

Marthin menilai, pemberlakuan SVLK  saat ini sudah berjalan dengan baik dan sejak dikeluarkannya Permendag 89 tahun 2015 Jo. Permendag No. 25 tahun 2016, maka semua produk industri kehutanan — dalam hal ini 51 kelompok HS — wajib menggunakan dokumen V Legal.

Bantu IKM Furnitur   

Sementara itu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan terus memberikan bantuan kepada IKM furnitur di dalam negeri agar mereka bisa meningkatkan kualitas dan daya saing produknya.

“Kami memberikan bantuan kepada mereka agar bisa meningkatkan mutu dan daya saing produknya sehingga bisa memenangi persaingan di pasar,” kata Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kemenperin, Gati Wibawaningsih, pekan lalu.

Dijelaskan, Kemenperin memiliki sejumlah program yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing IKM. Misalnya saja di sektor pendanaan, pelatihan mutu dan promosi.

Untuk pendanaan, ungkap Gati, Kemenprin saat ini sedang melakukan perhitungan mengenai besaran bunga program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang cocok bagi IKM. “Kami menginginkan agar suku bunganya lebih rendah lagi dari yang diterapkan pemerintah saat ini,” paparnya.

Kegiatan promosi juga akan dilakukan dengan mempromosikan produk-produk IKM melalui berbagai kegiatan. “Begitu juga dengan pelatihan, kami terus berusaha meningkatkan kemampuan SDM IKM,” ucap Gati. B Wibowo