Sebagai penduduk yang tinggal di hulu sungai Ciliwung, kepekaan terhadap banjir di Jakarta dan sekitarnya cukup tinggi. Upaya memperbaiki kerusakan kawasan alam, seperti lahan gundul dan terjadinya tanah longsor, terus dilakukan.
Ketika tiba di tempat penampungan buruh perusahaan tahun 2000-an, para pekerja perkebunan teh Ciliwung malah mengalami cobaan bencana tanah longsor. Menyedihkan, memang. Namun, alih-alih menyerah, kondisi itu malah menggugah batin dan menggerak langkah mereka untuk mencegah kejadian itu tidak terulang lagi, yang bisa lebih dahsyat dan meluas.
Adalah dua bersaudara Jumpono yang punya ide menanggulangi ancaman hancurnya alam tersebut. Keduanya punya keyakinan untuk membenahi hamparan tanah gundul dan semak-belukar di sekitar tempat penampungan mereka. Targetnya satu: lahan harus dihijaukan.
Buat keduanya, mencegah ancaman longsor, sumber mata air terjaga serta pemandangan Puncak tetap lestari dan menawan, jalannya cuma satu: menanami kawasan tersebut. Tidak terlintas sedikit pun soal nilai ekonomi dari kegiatan menanam tersebut. Maklum, keduanya hanya buruh kecil yang tidak punya modal untuk membeli bibit.
Itu sebabnya, untuk mengumpulkan bibit, kakak-adik Jumpono ini berinisiatif membawanya dari kampung. Ya, setiap pulang kampung ke Temanggung saat Lebaran, Jumpono selalu membawa oleh-oleh bibit pohon kopi. Harapannya, bibit kopi tersebut akan ditanam untuk menghijaukan lahan kosong tadi.
Upaya menanam kopi pun dilakukan dengan niat menghijaukan kawasan daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, khususnya di Cibulao, kampungnya. Tidak aneh bila Jumpono juga tercatat sebagai perintis penanaman kopi Cibulao yang kemudian menjadikan Kampung Cibulao sebagai satu-satunya daerah budidaya kopi yang sukses.
Kesuksesan itu terutama karena bibit kopi yang ditanam adalah varietas robusta yang dikembangkan di dataran tinggi Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Daerah Cisarua, Puncak sendiri selama ini dikenal sebagai wilayah perkebunan teh. Bukan kopi.
Awalnya, Jumpono datang juga untuk mencari nafkah sebagai pekerja pemetik daun teh. Bencana alam tanah longsor yang terjadi yang kemudian membuatnta malah membudidayakan kopi dan belakangan malah menjadi juara tingkat nasional.
Selama ini, varietas robusta lebih banyak ditanam di dataran rendah di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), sementara di dataran tinggi pegunungan, vairietas yang cocok adalah arabika. Nah, menariknya, Jumpono malah sukses mengembangkan kopi robusta di kawasan Puncak, yang di atas 1.000 mdpl.
Ditanya soal kualitas robusta yang ditanam kelompoknya di dataran tinggi, Jumpono menyebut kopinya itu sebagai “fine robusta”. Dari sisi jumlah atau kuantitas memang kurang menentu dibanding robusta dataran rendah, tapi kualitasnya lebih jempolan.
Yang membedakan lagi, kopi robusta yang dikembangkan di Temanggung dengan yang ditanamnya di Puncak, Bogor adalah usia produktifnya. Di Temanggung, tanaman kopi baru berbuah umur 5 tahun, sementara di Puncak, Bogor umur 3 tahun mereka sudah menghasilkan buah.
Selamatkan kawasan
Saat serius menekuni budidaya kopi, tahun 20008 Jumpono pun bermitra dengan penguasa tanah Jawa, Perum Perhutani. Setahun kemudian, dibentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH).
Saat awal penanaman, Jumpono mengaku masih sembunyi-sembunyi karena memanfaatkan lahan yang berupa semak-belukar di lahan Perhutani. Namun, kini justru warga Cibalao ini malah diberikan sertifikat untuk mengolah lahan selama 35 tahun melalui skema Perhutanan Sosial (PS).
Jumpono menyebutkan, motivasi dirintisnya kebun kopi saat itu hanyalah menyelamatkan kawasan. Alasan lain, adalah menghindari penebangan. Apabila masyarakat menebang kayu, maka mereka tidak akan memilih kayu kopi yang tidak memiliki ekonomi tinggi.
Awalnya, banyak yang memprediksi tanaman kopinya bakal gagal total. Namun, Jumpono tetap menanam dan tak pernah menanggapi cibiran itu. Maklum, niat awalnya juga untuk menyelamatkan hulu sungai Ciliwung.
Kini, setelah tanaman kopi berbuah dan naungannya mulai tinggi — yang nampak setelah tanaman kopi meninggi — kawasan ini menjadi hijau kembali.
Tanaman kopi ini juga tahan terhadap bencana karena akar-akarnya punya sifat yang saling mengikat. Bentuknya yang seperti karpet lebih berfungsi untuk menahan air dan mencegah tanah longsor. Karena itu, bibit kopi yang dibawa dari Temanggung tersebut ditanam di lahan yang berpotensi mudah longsor.
Hasilnya bisa dilihat sekarang ini. Tujuan melestarian alam berhasil, dan budidaya kopi robusta di dataran tinggi juga berhasil, sehingga membuat Kampung Cibulao menjadi terkenal karena komoditi kopi.
Kopi memang identik dengan perlindungan pohon. Pasalnya, pohon kopi butuh naungan untuk hidup. Pohon kopi robusta akan tumbuh segar jika berdampingan dengan pohon endemik. Pohon kopi tidak bisa hidup sempurna jika langsung mendapatkan sinar matahari penuh. Perlakuan itu justru membuat kawasannya menjadi sejuk dan indah.
Diakui Jumpono, pada awal memulai kegiatan tersebut, kelompoknya mengalami kesulitan untuk memahami istilah-istilah perkebunan dan kehutanan. “Kami sama sekali tidak tahu apa itu arti kawasan konversasi. Karena itu, banyak warga kampung yang kurang berminat mengembangkan tanaman perkebunan seperti kopi,” paparnya. AI