Pemerintah akan mengurangi jenis pupuk yang disubsidi. Pada tahun 2023, kemungkinan hanya pupuk urea dan NPK yang disubsidi. Sedangkan untuk jenis ZA, SP-36 dan Organik, subsidinya dihapuskan, sehingga tiga jenis pupuk ini mengikuti harga pasar.
Rencana penghapusan ini memang belum final, masih menunggu keputusan tim Panitia Kerja (Panja) Pupuk, Komisi IV DPR. Jika Panja Pupuk memutuskan tahun 2021 ini, maka kemungkinan kebijakan tersebut akan berlaku secara efektif mulai tahun 2023.
Wakil Sekjen Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Zulharman Djusman mengatakan, subsidi pupuk tidak bisa dihapuskan secara langsung, mengingat petani masih membutuhkan pupuk subsidi. “Kami minta pemerintah dan DPR mengkaji ulang rencana pengurangan tersebut, karena petani kita masih membutuhkan pupuk yang disubsidi,” katanya kepada Agro Indonesia, Rabu (3/11/2021).
Kalaupun harus ada penghapusan subsidi pupuk, lanjut Zulharman, maka pemerintah harus melakukannya secara bertahap, step by step. Selain itu, pemerintah juga harus melihat kondisi lapangan. Pasalnya, kata dia, “Kondisi lapangan berbeda, sehingga komposisi pupuk pun berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya,” tegasnya.
Seperti diketahui tahun 2023 subsidi pupuk akan dihapuskan. Jenis pupuk yang akan disubsidi tinggal urea dan NPK. Sedangkan untuk pupuk ZA, SP-36 dan organik tidak lagi disubsidi.
“Tapi kita masih tunggu keputusan Panja Pupuk Komisi IV DPR. Jika Panja Pupuk belum memutuskan, maka subsidi pupuk tahun depan seperti tahun 2021,” kata Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Muhammad Hatta.
Dia menyebutkan, pembahasan tim Panja Pupuk Subsidi Komisi IV DPR dan Ombudsman sudah dilakukan. Banyak hal yang perlu diperbaiki, memang, seperti masalah data, luas lahan penerima, komoditas prioritas dan jenis pupuk yang disubsidi.
“Alternatif jenis pupuk yang disubsidi (hanya) urea dan NPK. Jika Panja Pupuk Komisi IV DPR sudah ketuk palu, maka subsidi pupuk hanya untuk urea dan NPK saja,” kata Hatta, Jumat (29/10/2020).
Dia menyebutkan, jika Panja Pupuk DPR telah menyetujui, maka perlu waktu untuk menyusun rencana kerja anggaran dan sosialisasi kepada petani. “Kemungkinan kebijakan subsidi pupuk untuk jenis urea dan NPK diterapkan tahun anggaran 2023,” tegasnya.
Dikatakannya, masalah pupuk subsidi kini tengah dalam pembahasan intensif untuk merumuskan tata kelola pupuk subsidi. Diharapkan mekanisme baru sudah bisa ditetapkan pada November agar bisa diterapkan pada tahun 2022.
Seperti diketahui, dalam lima tahun terakhir, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp63-65 triliun. Namun di sisi lain, dengan keterbatasan anggaran pemerintah, alokasi yang bisa disiapkan hanya 8,87-9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25-32 triliun.
Dengan keterbatasan anggaran tersebut, kata Hatta, menimbulkan masalah dalam subsidi pupuk. Setidaknya ada lima potensi masalah, yakni perembesan antarwilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, alokasi menjadi tidak tepat sasaran. “Dampak lebih lanjutnya, produktivitas tanaman menurun, karena petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya,” katanya.
Tata kelola pupuk
Hatta menjelaskan, selama ini dalam tata kelola pupuk terbagi dalam lima kegiatan. Pertama, perencanaan. Ini menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, terutama dalam penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) oleh kelompok tani — yang didampingi penyuluh, termasuk menginput data, verifikasi, validasi melalui sistem e-RDKK.
“Dalam perencanaan dilakukan pertemuan nasional penetapan kebutuhan pupuk. Kemudian penyusunan Permentan tentang HET dan alokasinya,” papar Hatta.
Kedua, pengadaan dan penyaluran pupuk oleh PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) dari Lini I-II-III-IV-Petani (yang terdaftar pada sistem e-RDKK) sesuai Permendag No. 15/2013. Ketiga, supervisi, montioring dan pengawasan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten Propinsi dan Pusat, Pengawasan oleh Tim KP3 (Unsur Dinas dan aparat hukum).
Keempat, verifikasi dan validasi (verval) penyalur. Kegiatan ini dilakukan secara berjenjang oleh Tim Verval, mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat melalui Dashboard Bank (Kartu Tani) dan sistem e-Verval (KTP) berbasis android/T-Pubers.
Kelima, pembayaran. PT PIHC mengajukan usulan pembayaran dilengkapi dokumen sesuai persyaratan. Namun, sebelumnya dilakukan verifikasi dokumen dan lapangan (sampling) oleh Tim Verval Kecamatan sampai Pusat. “Nah, pengajuan pembayaran ke KPPN,” ujarnya.
“Dari gambaran tata kelola tersebut, Kementerian Pertanian tidak sendiri mengurus pupuk. Perencanaan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah. Sementara pembayaran di Kementerian Keuangan. Tugas kami adalah perencanaan sampai ke petani,” tutur Hatta.
Lihat Kondisi Daerah
Zulharman mengatakan, jika pemerintah ingin menghapus tiga jenis pupuk, maka melihat kembali bagaimana kondisi wilayah di masing-masing daerah. “Kebutuhan pupuk di Indonesia tidak semuanya sama dan komposisi pupuk tersebut harus menyesuaikan dengan masing-masing daerah,” tegasnya.
Sebenarnya, kata dia, petani masih membutuhkan pupuk subsidi karena harga yang relatif murah. Namun demikian, lanjutnya, bila memang penghapusan subsidi itu tidak bisa dihindari, petani pun juga tidak akan mempersoalkan pengahapusan itu, dengan catatan subsidi dialihkan langsung kepada petani/subsidi pemasaran.
Menurut Zulharman, efek dari penghapusan tiga jenis pupuk subsidi itu bisa saja produktivitas tanaman menurun. Selain itu, yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan terjadi pergerakan besar dari petani karena mereka tidak lagi mendapatkan pupuk yang diinginkan.
“Harga pupuk menjadi mahal karena permintaan meningkat. Jika ini terjadi, petani makin sulit. Hal ini harus diantisipasi oleh pemerintah,” tegasnya.
Terlepas dari penghapusan subsidi pupuk, kata Zulharman, KTNA kini sedang membuat pupuk sendiri sehingga tidak mengandalkan subsidi pupuk. “Sekarang kami (anggota dan petani) bekerja sama dengan pemerintah untuk pembuatan pupuk cair dan pupuk organik. Ini sudah berjalan di beberapa daerah,” katanya.
Dia juga berharap dengan pembuatan pupuk organik ini dapat berkembang dengan baik, sehingga dapat mengurangi pemakaian pupuk anorganik (pupuk kimia).
Dialihkan Langsung
Anggota Tim Panja Pupuk, Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan, penghapusan subsidi tiga jenis pupuk tersebut sebaiknya dialihkan kepada petani langsung. “Daripada dihapuskan, lebih baik subsidi dialihkan langsung kepada petani,” ujar Firman.
Pengalihan langsung kepada petani dapat diberikan kepada petani yang telah memiliki Kartu Tani. “Ketika sudah waktunya untuk menebus pupuk, uang di Kartu Tani dapat dicairkan. Dengan cara begitu pupuk tersebut tepat sasaran,” tegasnya.
Tata kelola pupuk subsidi selalu dibenahi, sehingga kian membaik. Dengan sistem RDKK, yang sudah berjalan cukup baik selama ini, penyelewengan/penyimpangan relatif sangat kecil. Namun, distributor dan pengecer pupuk bersubsidi tetap harus dievaluasi.
“Dari pabrikan sudah benar. Tapi pupuk subsidi ternyata tidak sampai kepada masyarakat yang berhak. Fakta di lapangan (penyimpangan) terjadi di distributor dan pengecer.”
Dia menjelaskan, beberapa pengecer dan toko-toko menganggap pupuk bersubsidi sebagai barang dagangan pada umumnya, sehingga dijual dengan harga pasar.
Firman meminta pemerintah mengevaluasi sistem distribusi pupuk bersubsidi. “Pemerintah harus merumuskan kembali, supaya penebusan pupuk langsung ke petani,” katanya.
Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdalifah Machmud mengatakan, pemerintah telah menyiapkan dua opsi transformasi kebijakan subsidi pupuk.
Opsi pertama, tahun 2022 tetap menggunakan subsidi input/subsidi harga. Namun, kementerian melakukan perbaikan data e-RDKK, sehingga subsidi langsung pupuk dapat dilakukan pada tahun 2023. Opsi kedua, tahun 2022-2023 tetap melaksanakan subsidi input/harga, namun kementerian terus melakukan perbaikan data e-RDKK, sehingga subsidi langsung pupuk dapat dilakukan pada tahun 2024.
“Dua opsi transformasi tersebut diharapkan bisa mengatasi segala persoalan dalam pemberian subsidi pupuk,” katanya, seraya menambahkan bahwa dari hasil rumusan tim Pokja, transformasi kebijakan pupuk merupakan sebuah keniscayaan.
Menurut Musdalifah, perubahan skema kebijakan perlu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah lainnya, khususnya anggaran pemerintah dan RPJMN. Selain itu, perbaikan tujuan dan target pupuk bersubsidi perlu dipertimbangkan berdasarkan regulasi pemerintah.
Rumusan lain dari Pokja adalah pelaksanaan tata kelola pupuk bersubsidi agar dapat dilaksanakan secara efektif dan tepat sasaran, serta disesuaikan dengan perkembangan teknologi. “Optimalisasi penggunaan pupuk agar tidak berlebih dan merusak unsur hara harus melalui rekomendasi pupuk untuk setiap komoditas dan masing-masing lokasi,” katanya.
Dalam upaya perbaikan tata kelola pupuk subsidi, Musdalifah mengatakan, hasil kajian Pokja Pupuk Subsidi ada dua alterantif skema kebijakan. Pertama, subsidi harga/subsidi input. Mekanismenya, pemerintah memberikan subsidi ke petani melalui produsen pupuk sebesar HPP (harga pokok produksi) dan HET (harga eceran tertinggi), sehingga petani dapat membeli pupuk sesuai HET yang pemerintah tetapkan.
“Untuk mekanisme ini, perlu perbaikan tata kelola terkait data penerima, sistem informasi penerima, distribusi pupuk dan implementasi kartu tani,” ujarnya.
Alternatif kedua, lanjut Musdalifah, bantuan langsung pupuk. Nantinya, dana subsidi di-inject ke Kartu Tani atau kupon yang diberikan langsung ke petani. Kemudian petani menambah pembayaran atas kekurangan terhadap harga pupuk.
Untuk itu, perlu mitigasi ketersediaan pupuk di daerah remote atau pelosok, karena terkait margin keuntungan perusahaan pupuk. Selain itu, pemberian subsidi melalui nominal yang ter-inject dalam Kartu Tani hanya dapat digunakan untuk membeli pupuk. “Yang pasti perlu kajian terkait mekanisme pemberian pupuk,” ujarnya. Atiyyah Rahma/PSP