Kualitas Perhutanan Sosial

Pelaku usaha perhutanan sosial [ilustrasi]
Pramono DS

Oleh:  Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Program reforma agraria yang menjadi ikon dan tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni Perhutanan Sosial (PS) telah berjalan pada era kabinet kerja masa bakti 2014-1019. Dari evaluasi kegiatan perhutanan sosial oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, pada tahun 2018 izin perhutanan sosial diterbitkan pada areal seluas 1,23 juta hektare (ha)  yang terbagi pada 1.306 izin untuk 280.194 kepala keluarga. Sementara pada tahun 2019 izin diterbitkan seluas 1,58 juta ha yang terbagi pada 1.064 izin untuk 217.890 kepala keluarga. Total tahun 2019 berakhir, telah ada 6.411 izin perhutanan sosial seluas 4,04 juta ha  untuk 818.457 kepala keluarga.

Dalam dua tahun terakhir saja (2018-2019), pemerintah telah memberikan izin PS sebanyak 2.370 izin baru setara dengan luas 2,81 juta ha. Namun realisasi luas 4,04 juta ha, belum seberapa dibandingkan dengan target yanag dicanangkan oleh presiden Joko Widodo selama kurun waktu lima tahun yakni 12,70 juta ha. Persentase pencapaian realisasi dari target masih rendah dan kurang dari 50% (32%).

Kondisi ini dapat dimengerti mengingat bahwa kegiatan perhutanan sosial merupakan kegiatan yang rumit dan mempunyai kompleksitas yang tinggi. Terdapat  tiga pilar pokok yang menentukan keberhasilan PS yaitu, a) masyarakat yang bermukim didalam dan di sekitar hutan yang mau dan mampu membentuk kelompok atau gabungan kelompok, b) kesiapan, kemampuan dan keterampilan penyuluh kehutanan dan pendamping kegiatan PS, c) kesiapan, kemauan dan kemampuan pemerintah dalam hal ini KLHK cq Ditjen PSKL dalam memfasilitasi (perizinan, permodalan, pemasaran dan sebagainya) kegiatan PS.

Basis Pengembangan

Dalam rangka untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, pemerintah diwajibkan untuk memberdayakan  masyarakat di dalam dan di sekitar hutan  melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat dilakukan melalui kegiatan hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (Hkm), dan kemitraan kehutanan (KK) (PP no. 6 tahun 2007). KLHK mendiskripsikan,  3 kegiatan pemberdayaan masyarakat ini diperluas dan ditambah dengan kegiatan hutan adat (HA)  dan hutan tanaman rakyat (HTR) yang selanjutnya menjadi 5 skema kegiatan yang selanjutnya disebut dengan Perhutanan Sosial (Menteri LHK No. P.83 tahun 2016).

Dalam ilmu penyuluhan, peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat di dalam dan di sekitar hutan hanya dapat dilakukan melalui basis kelompok tani hutan yang oleh KLHK disebut kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Oleh karena itu, pendekatan keberhasilan kegiatan PS ini secara kuantitatif seharusnya diukur dari pendekatan jumlah kelompok yang telah dibentuk selama ini dan luas hutan yang dimanfaatkan untuk kegiatan PS ini adalah sebagai konsekuensi logis dari izin PS yang dikeluarkan pemerintah dan dihitung berdasarkan jumlah anggota dan kemampuan kelompok untuk menggarap lahan hutan. Berdasarkan target jumlah kelompok yang akan dibentuk selama tahun 2014-2019, yaitu KUPS dengan jumlah sebanyak 5.000 kelompok, realisasinya telah terlampui karena pemerintah telah menerbitkan izin kepada kelompok sebanyak 6.411 izin atau kelompok. Persentase pencapaian realisasi dari target jauh melampaui diatas targetnya (128%).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.89 tahun 2018 tentang pedoman kelompok tani hutan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) KLHK menetapkan klasifikasi kelompok tani hutan (KTH)  dibedakan menjadi 3 kelas, yakni kelas pemula, kelas madya dan kelas utama. Pembagian kelas ini didasarkan kepada penilaian  terhadap KTH dalam melaksanakan kegiatan kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha. Penilaian KTH dilakukan oleh UPT Daerah dan atau UPT KLHK paling sedikit satu kali dalam satu tahun. Dengan menggunakan angka skor, yang termasuk dalam KTH kelas pemula nilainya kurang dari 350, KTH kelas madya nilainya antara 350 sampai 750, KTH kelas utama nilainya lebih dari 750.

Sementara itu, tidak jauh beda dengan BP2SDM, Ditjen PSKL dalam memberikan klasifikasi indikator keberhasilan pemegang izin PS (yang tidak lain adalah KUPS) dibedakan  menjadi 3 kelas. Berdasarkan panduan pendampingan perhutanan sosial, kelas yang dimaksud adalah Gold, jika kegiatan pendampingan telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan, kawasan dan usaha. Silver, jika kegiatan pendampingan baru berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan dan kawasan dan Blue, bila kegiatan pendampingan telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan. Dan yang sempurna adalah Platinum jika KUPS tersebut telah memiliki pasar yang luas baik nasional maupun internasional.

Kualitas Vs Kuantitas KUPS

Mengacu pada target KUPS yang diberi izin lima tahun lalu yakni 5000 KUPS, maka target minimal tahun 2020 yang akan diberikan izin PS mestinya 1000 KUPS bukan luasan 500.000 ha. Untuk kondisi pulau Jawa, yang penduduknya relatif padat, target 1000 KUPS dimungkinkan dicapai mengingat bahwa lahan hutan yang selama ini dikelola oleh BUMN Perum Perhutani, rata rata tanahnya subur dan menjanjikan untuk budidaya tanaman kayu kayuan maupun tanaman semusim (pangan). Skema PS yang akan dikembangkan sudah barang tentu skema kemitraan kehutanan (KK).

Hasil penilaian yang dilakukan oleh Ditjen PSKL KLHK pada 5.208 KUPS (81,23 % dari total 6.411 KUPS), baru 48 KUPS (0,92%) yang benar-benar mandiri/platinum. Sisanya,  433 (8,31%) ada di tahap maju (emas/gold), 1.286 (24,69%) di tahap moderat (silver/perak), dan yang terbanyak 3.441 (66,07%) masih di tahap awal (biru).

Menarik untuk didiskusikan dan dianalisis bahwa penilaian yang telah dilakukan pada 5.208 KUPS sifatnya adalah given dan eksisting. Artinya KUPS yang dinilai adalah KUPS pada posisi yang belum memperoleh pendampingan oleh penyuluh kehutanan maupun pendamping PS. Sifat penilaian adalah memberikan justifikasi secara formal melalui perizinan PS kepada kelompok tani hutan yang telah eksis sebelumnya (memperoleh sertifikasi platinium dan gold), maupun kelompok tani hutan yang baru terbentuk (belum eksis) (memperoleh sertifikasi silver dan blue).

Untuk menilai kualitas KUPS diperlukan proses dan waktu. Dalam perjalanan waktu, posisi kelas KUPS ini dapat mengalami promosi (meningkat), stagnan (tetap), demosi (turun kelas) bahkan yang paling buruk bisa saja KUPS ini bubar. Dari indikator capaian proses pendampingan PS dalam panduan pendampingan PS, proses naik kelas dari kelola kawasan kekelola kelembagaan diprediksi membutuhkan waktu minimal dua tahun. Demikian juga, dari kelola kelembagaan kekelola usaha usaha juga membutuhkan waktu  2 sampai 5  tahun. Kualitas PS dan kenaikan kelas KUPS, semata mata tidak tergantung dan ditentukan dari kemauan dan kemampuan pengurus dan anggota KUPS itu sendiri untuk maju, melainkan  juga tergantung dari kemampuan penyuluh kehutanan/pendamping dalam mendampingi PS dan kemampuan pemerintah dalam memfasilitasi PS. Penilaian kemampuan kelas KUPS dapat dilakukan secara berkala misalnya setiap dua atau tiga tahun sekali tergantung dari kebutuhan yang diinginkan.

Kualitas Penyuluh/Pendamping dan Pemerintah

Dalam Agro Indonesia, tanggal 28 Juli 2019, saya telah menulis opini tentang Komparasi Penyuluhan Kehutanan dan Pendamping dalam Perhutanan Sosial. Salah satu pokok bahasannya adalah apapun alasannya penyuluh kehutanan harus diprioritaskan dalam kegiatan PS ini dibandingkan dengan pendamping lainnya. Penyuluh kehutanan mampu bekerja all out dan mampu dimobilisasi kapan saja dan dimana saja.

Sejalan dengan itu, kita patut bersyukur bahwa Ditjen PSKL dalam tahun 2020 ini, akan menambah luasan izin baru PS lebih kurang 500 ribu ha dengan fokus  di pulau Jawa. Kebijakan ini sangat tepat karena hampir 60% penyuluh kehutanan saat ini berada di pulau Jawa. Ini juga tidak lepas dari jumlah penduduknya yang padat dan banyak yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Keterlibatan mereka dalam program perhutanan sosial diharapkan bisa menjadi solusi untuk peningkatan kesejahteraan sekaligus mendukung rehabilitasi hutan. Pendampingan  makin diintensifkan kepada pemegang izin PS. Pendampingan dilakukan dengan memprioritaskan dan mengoptimalkan peran penyuluh kehutanan.

Bak gayung bersambut, rencana ini didukung penuh oleh BP2SDM KLHK dan Ketua Dewan Pengurus Pusat Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia (IPKINDO) serta sesuai dengan harapan dan pesan Menteri LHK agar penyuluh kehutanan bisa berperan optimal untuk mendampingi program KLHK di tingkat tapak pada saat pengukuhan pengurus IPKINDO tahun lalu di Jakarta.

Masalah yang timbul dengan rencana ini adalah penyuluh kehutanan di pulau Jawa, jarang atau hampir tidak pernah bersinggungan dengan kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani, apalagi mengenal 4 skema lainnya seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan adat. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi penyuluh kehutanan yang ditugaskan untuk mendampingi kegiatan PS ini untuk mengikuti pelatihan yang intensif, khususnya skema kemitraan kehutanan yang banyak terjadi diwilayah hutan yang dikelola Perum Perhutani.

Guna meningkatkan kualitas penyuluhan kehutanan dalam mendampingi PS ini, pelatihan paralegal dan tenurial juga sangat diperlukan untuk menangani konflik sosial yang terjadi. Keberhasilan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat di provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan setempat perlu dicontoh  dan menjadi bahan pertimbangan untuk studi banding bagi para penyuluh kehutanan peserta pelatihan nantinya.

Yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan PS khususnya dalam hal permodalan dan pemasaran. KLHK dapat membantu permodalan melalui Badan Layanan Umum (BLU), sementara pemasaran, produk hasil PS dapat didorong untuk difasilitasi bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM serta Kementerian Perdagangan. Potensi produk dari kegiatan PS yang akan dikembangkan di pulau Jawa sungguh amat besar.

Dalam  Agro Indonesia, tanggal 11 September 2019, opini tentang Materi Penyuluhan Kehutanan Kontemporer, saya memberikan ilustrasi dalam program Kick Andy di Metro TV, Paidi seorang petani porang dari Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, yang sukses berpenghasilan Rp4 milliar  sekali panen dengan lahan  seluas 4 ha yang disewa dan hanya belajar dari internet dan mampu memasarkan sendiri sampai ke negeri Tiongkok China. Bukan tidak mungkin lahan hutan yang menjadi areal kemitraan dengan KUPS, suatu saat akan mampu mencetak Paidi Paidi lainya masuk dalam kelas KUPS Platinium karena mampu menembus pasar internasional. Itu harapan kita semua. Semoga.