Logika Terbalik Hutan Adat

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri LHK Siti Nurbaya saat Penyerahan Hutan Sosial, Hutan Adat, dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), di Istana Negara Jakarta, Kamis (7/1/2021).
Pramono DS

Oleh : Pramono Dwi Susetyo (Pensiunan Rimbawan)

Kawan yang seorang pengamat kehutanan, bertanya memancing kepada saya. Siapa yang lebih dahulu, masyarakat yang bermukim disekitar Kaliurang atau penetapan Gunung Merapi sebagai taman nasional (TN)? Sebagai seorang rimbawan, tentu  saya harus menjawab dengan hati-hati dan proporsional. Masyarakat yang tinggal dan bermukim di Kaliurang telah ada sejak saya kecil. Tahun 1966, orang tua pernah mengajak berwisata di sana, karena tidak jauh dari tempat tinggal saya di kota Magelang, Jawa Tengah. Jadi perkiraan saya sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, Kaliurang dan penduduknya telah ada sebelumnya.

Lalu kapan TN Gunung Merapi? Ternyata TN Gunung Merapi ditetapkan sejak 4 Mei 2004. Gunung Merapi ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 134/2004. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana zonasi yang ditetapkan selanjutnya? Dimana batas zona inti, zona rimba, zona penyangga dan seterusnya? Secara leterlek (tersurat) Undang-undang (UU) No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, zona inti adalah zona yang steril dari pemukiman dan aktivitas manusia. Bagaimana kalau Kaliurang dan wisata geologi sungai Gendol masuk dalam zona inti TN? Apakah pemukiman harus dikeluarkan dan wisata alam harus dihentikan? Yang dapat menjawab itu semua adalah Balai TN Gunung Merapi sendiri.

Faktanya hingga 2020, pemukiman dan wisata alam sungai Gendol jalan terus dan tidak terganggu dengan keberadaan TN. Inilah kebijakan afirmatif  kehutanan. Kebijakan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.

Namun di belahan pulau lain di Sumatera dan Kalimantan, kebijakan afirmatif kehutanan nampaknya tidak berlaku. Kasus Efendi Buhing, penggiat  hutan adat desa Kinipan kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah yang oleh aparat Polda Kalteng, meski kemudian dilepaskan, sebagai bukti dan contoh kebijakan negasi. Pemerintah daerah Kalteng, melalui Sekretaris Daerahnya (Fahrizal Fitri) tanggal 1 September 2020, memberikan pernyataan tentang Kinipan dan PT. Sawit Mandiri Lestari (SML). Bahwa sesungguhnya di desa Kinipan tidak ada hutan adat secara legalitas. Karena hutan adat itu ditetapkan oleh negara, hingga saat ini belum ada satupun permohonan dari kelompok masyarakat dan atau pemerintah kabupaten Lamandau. Sampai saat ini dari Dinas Kehutanan provinsi maupun Balai Pemantapan  Kawasan Hutan (BPKH) sebagai institusi pengaturan kawasan hutan belum pernah menerima permohonan dan hingga saat ini belum ada penetapan keputusan lokasi yang diklaim menjadi hutan adat.

Sebagai negara hukum, proses-proses hak masyarakat yang berkenaan  dengan pengajuan tentang hutan adat ini, diatur dalam Permendagri No. 52/2012 tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pernyataan pihak pemda Kalteng, seperti ini adalah bukan pernyataan dan kebijakan yang besifat afirmatif dan bersifat negasi (penyangkalan) dengan menggunakan logika yang terbalik. Jauh sebelum adanya PT. SML, masyarakat adat di desa Kinipan tersebut keberadaan telah ada secara turun temurun beberapa generasi bahkan mungkin sebelum Indonesia merdeka. Kebijakan yang bersifat negasi di kehutanan banyak ditemukan di seluruh Indonesia khususnya di luar pulau Jawa yang menyangkut masalah konflik hutan adat (tenurial). Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan status hutan adat sebagai hutan negara melalui keputusan No. 35/PUU-X/2012. Sayangnya, keputusan MK ini tidak diikuti oleh perubahan Pasal 67 ayat (2) Undang-undang (UU) No. 41/1999, yang menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat  ditetapkan dengan Peraturan Daerah sehingga sampai saat ini pemerintah (pusat dan daerah) masih mendua melaksanakan keputusan MK tersebut.

Apa harus menunggu RUU masyarakat adat menjadi undang-undang? Konon kabarnya RUU itu juga setali tiga uang dengan peraturan regulasi sebelumnya yaitu penetapan masyarakat adat memakai cara yang sama dengan perizinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menyelesaikan wilayah adat di area izin, risiko konflik penggunaan ruang hidup akan tetap tinggi.

Afirmatif dalam Bingkai UU Cipta Kerja

Dalam draf final UU Cipta Kerja  (812 halaman) paragraph 4 bidang kehutanan, terdapat beberapa kebijakan afirmatif yang berpihak kepada masyarakat. Beberapa diantaranya adalah disebutkannya kegiatan Perhutanan Sosial dalam pasal 29 A dan pasal 29 B. Pasal 29 A berbunyi ayat (1) : pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial. Ayat  (2) : perhutanan sosial sebagaimana dapat diberikan kepada: a) perseorangan; b) kelompok tani hutan; dan c) koperasi.  Pasal 29 B berbunyi : ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Menteri LHK No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, ruang lingkup perhutanan sosial meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), kemitraan kehutanan (KK) dan hutan adat (HA). Yang menarik adalah perhutanan sosial dalam UU Cipta Kerja  ini hanya pada pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi saja, padahal dalam PP no. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan khusus untuk kegiatan hutan kemasyarakatan dapat diberikan hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan lindung dan hutan produksi (pasal 92).  Konsistensi tentang pemanfaatan kawasan fungsi hutan untuk kegiatan perhutanan sosial ini kiranya dapat dinyatakan secara tegas dalam PP yang akan disusun sebagai amanat dari pasal 29 B  UU Cipta Kerja. Peraturan perudangan (regulasi) di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. Oleh karena itu, pasal yang membolehkan hutan kemasyarakatan dalam kawasan hutan konservasi agar segera di revisi dan dihapus dalam PP baru perhutanan sosial yang akan disusun.

Masalah kebun sawit dalam kawasan hutan menjadi hangat dan menarik kembali setelah Menteri LHK dan jajaran menteri lingkup kementerian perekonomian melakukan pernyataan pers tentang UU Cipta Kerja, khususnya bidang kehutanan. Dalam materi tertulisnya, Menteri LHK secara khusus menyinggung tentang keterlanjuran kebun (sawit) dalam kawasan hutan dan keberpihakan kepada masayarakat. Secara khusus UU Cipta Kerja  menegaskan untuk mengatasi masalah yang selama ini selalu ada yaitu untuk tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir pelanggaran yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dikenakan sanksi administratif (bukan pidana) dengan pertimbangan bahwa masyarakat menetap dan bermukim disana.  Data menunjukan bahwa lebih dari 20.000 desa ada didalam dan disekitar hutan, termasuk diantaranya sekitar 6.700 desa dikawasan hutan konservasi. Kondisi yang seperti ini ditegaskan tidak boleh dipidanakan atau dikriminalisasi.

Yang Tertinggal

Sayangnya dalam UU Cipta Kerja, tidak menyinggung dan mengubah pasal 67 UU 41/1999 tentang masyarakat hutan adat yang sangat kontroversi karena perubahan pasal 5 ayat (2) yang mengubah hutan adat bukan merupakan hutan negara oleh keputusan MK  tahun 2012. Padahal perubahan inilah yang ditunggu oleh banyak pihak khususnya pemerhati/LSM masyarakat adat, khususnya dalam pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat agar ada terobosan baru yang dapat memangkas aturan birokrasi -sebagaimana perizinan berusaha dibidang kehutanan-selama ini buntu dan terbentur dengan terbitnya peraturan daerah (Perda).

Masyarakat adat hanya disebut sepintas dalam pasal 37 angka 2 pasal 7 tentang yang dimaksud masyarakat adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat dan masyarakat umum. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Lagi-lagi masih mengikat pada Perda yang pada praktiknya sulit dilakukan karena kepentingan ekonomi lebih kuat dibanding dengan kepentingan sosial.

Berharap dengan RUU Masyarakat Hukum Adat, yang konon akan segera disahkan, rasanya jauh panggang dari api. Sebagaimana yang dikhawatirkan, Prof. Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan IPB, terdapat lima risiko RUU masyarakat hukum adat jika segera disahkan. Selain mengancam keberadaan masyarakat adat, juga risiko benturan dan konflik pemakaian lahan berbasis izin yang makin menguat. Lalu, untuk sementara mimpi masyarakat hukum adat untuk memperoleh dan menuntut hak-hak termasuk hak ulayat dengan hutan adatnya secara berkeadilan, ditunda lebih dulu sampai pemerintah dan DPR (pusat dan daerah) pada gilirannya telah melakukan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Semoga.