Teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi ancaman nyata untuk mengatasi perubahan iklim. Amerika jadi contoh nyata.
Teknologi AI benar-benar rakus energi dan mengkonsumsi listrik yang makin tinggi dari jaringan lisrik AS, sehingga mengancam upaya-upaya nasional negeri itu untuk mengatasi perubahan iklim, demikian kesimpulan terbaru para pakar.
Permintaan energi listrik yang belum pernah terjadi sebelumnya — sebagian didorong oleh perluasan pusat data untuk teknologi AI — plus lambatnya laju pengembangan energi terbarukan yang di luar perkiraan serta diperpanjangnya jangka waktu pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang polutif, telah mendorong para analis untuk merombak model pengurangan emisi gas rumah kaca mereka.
Tema ini mendominasi diskusi di Climate Week NYC, yang diadakan di sela-sela Sidang Umum PBB pekan lalu, di mana perusahaan-perusahaan teknologi lebih dijadikan fokus ketimbang perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil yang menjadi penyebab polusi secara historis.
Bahkan, laporan terbaru BloombergNEF minggu ini telah mengingatkan lambatnya kemajuan AS dalam masalah dekarbonisasi, dan memperkirakan emisi akan berkurang sedikitnya 34% pada tahun 2030 dari tingkat emisi tahun 2005.
Target Makin Jauh
Penilaian terbaru ini menempatkan Amerika Serikat semakin jauh dari target nasionalnya untuk mengurangi emisi sebesar 50%-52% pada tahun 2030 dari tingkat emisi tahun 2005, serta untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 berdasarkan janjinya pada Perjanjian Paris.
“Ini tidak baik dalam jangka panjang,” kata Tara Narayanan, analis energi utama BloombergNEF, seraya menyebut peningkatan permintaan energi AI sebagai “gangguan besar” terhadap pasokan.
“Ini sangat mirip dengan momen ketika Anda tenggelam dalam film, dan tiga alur cerita berbeda pun dikembangkan. Anda tidak tahu apakah masalah ini akan terselesaikan,” kata Narayanan.
Kurangnya infrastruktur jaringan listrik terbukti menjadi hambatan besar bagi kemajuan transisi energi ramah lingkungan. Tidak hanya di AS saja, memang, tapi juga di seluruh dunia.
China bersiap menggelontorkan dana 800 miliar dolar AS dalam kurun enam tahun ke depan untuk mengatasi tekanan pada sistem energi seiring peralihan cepat dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke sumber energi terbarukan.
Di AS sendiri, permintaan listrik tetap datar selama 20 tahun terakhir. Namun, kini para ahli prediksi seperti kelompok konsultan ICF, memperkirakan angka tersebut bakal meningkat 9% pada tahun 2028 dan hampir 20% pada tahun 2033, mengingat pertumbuhan pusat data, dukungan manufaktur, dan elektrifikasi.
Institut Penelitian Tenaga Listrik memperkirakan tahun ini bahwa pusat data akan melipatgandakan porsi konsumsi listrik mereka di Amerika pada akhir dasawarsa ini.
Namun, Menteri Energi AS Jennifer Granholm mengatakan, dia yakin negaranya masih bisa mencapai target nol bersih dan mengatasi lonjakan permintaan listrik, berkat subsidi ramah lingkungan senilai hampir 370 miliar dolar AS yang diluncurkan dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) oleh pemerintahan Joe Biden.
“Kita harus agresif, namun momentum telah dimulai, dan hal ini tidak melambat,” kata Granholm kepada Financial Times.
Hambatan
Para pihak pengembang proyek energi terbarukan mengatakan, pembangkit listrik ramah lingkungan untuk memenuhi tingkat permintaan lisrik yang tinggi terhambat oleh fakta bahwa dibutuhkan waktu hingga separuh dasawarsa guna menghadirkan pasokan lisrik baru karena masalah perizinan dan tertundanya peluncuran jaringan listrik.
“Kebutuhan saat ini adalah untuk menyeimbangkan hal itu,” papar kepala eksekutif EDP Renewables North America Sandhya Ganapathy. “Sayangnya, kita tidak memiliki proyek (energi terbarukan) dengan kecepatan yang dibutuhkan.”
Perkembangan pusat data AI telah menyebabkan perlombaan di antara perusahaan-perusahaan teknologi besar untuk menemukan sumber energi rendah emisi sepanjang waktu.
Pekan lalu, Constellation Energy dan Microsoft menandatangani perjanjian berdurasi 20 tahun untuk membuka kembali pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island di Pennsylvania — lokasi kecelakaan nuklir paling serius di negara itu.
Ekspektasi akan permintaan listrik yang lebih tinggi juga menyebabkan operator di AS menunda penghentian pembangkit listrik tenaga batubara. S&P Global Commodity Insights telah merevisi ekspektasi penutupan pembangkit listrik tenaga batubara pada akhir dasawarsa ini sebesar 40%, bahkan ketika energi terbarukan meningkat.
“Dengan keadaan saat ini, sangat sulit membayangkan sistem kelistrikan AS akan bebas karbon pada tahun 2035,” kata pakar ketenagalistrikan PA Consulting, Akshat Kasliwal. “Kita masih jauh dari target tersebut jika dibandingkan dengan kondisi kita saat ini, sebut saja tiga, empat tahun lalu.”
Pedro Pizarro, kepala eksekutif Edison International, sebuah perusahaan utilitas publik mengatakan, lonjakan permintaan listrik berarti bahwa pembangkit listrik tenaga gas juga harus tetap berada dalam bauran energi lebih lama untuk memastikan keandalan pasokan. Gas sebagian besar terbuat dari molekul metana yang mampu menahan lebih banyak panas dibandingkan karbon dioksida, namun berumur lebih pendek di atmosfer.
“Kami bukan perusahaan gas… Kami tidak punya pengaman yang berusaha menjaga bahan bakar tetap ada,” kata Pizarro. “Kami, para pelaku industri, perlu memastikan bahwa kami memiliki sistem yang andal, tangguh, dalam menghadapi cuaca ekstrem, dan dengan harga terjangkau.”
Penundaan Konstruksi
Amerika sendiri tidak kekurangan kapasitas energi terbarukan. Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley memperkirakan, hampir 1,5 terawatt kapasitas pembangkit listrik menunggu untuk disambungkan ke jaringan listrik, yang cukup untuk menggandakan ukuran sistem kelistrikan negara tersebut.
Namun, proyek-proyek yang dibangun tahun lalu itu menghadapi penundaan konstruksi selama lima tahun sebelum dapat tersambung ke jaringan listrik, dan kurangnya jalur transmisi mempersulit pengangkutan energi ramah lingkungan dari lokasi pembangkit listrik jarak jauh ke pusat-pusat kebutuhan.
Perusahaan riset Rhodium Group menemukan, jika permintaan pusat data meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2035, dan pengembang kesulitan memasang pembangkit listrik tenaga bayu dan surya baru, emisi sektor ketenagalistrikan bisa 56% lebih tinggi dari perkiraan perkiraan emisi moderatnya.
Namun, perkiraan yang terlalu tinggi ini juga bisa menjadi lebih tidak berarti karena pusat data menjadi lebih efisien, menurut pendapat para eksekutif kelompok teknologi, dan penerapan AI yang lebih luas akan mengurangi konsumsi energi dengan meningkatkan operasional sehari-hari.
“Meskipun melatih model memerlukan energi, model yang dibuat akan melakukan pekerjaan dengan energi lebih efisien,” kata Jensen Huang, kepala eksekutif Nvidia, pembuat chip AI dengan pertumbuhan tercepat, di Pusat Kebijakan Bipartisan. “Efisiensi energi dan peningkatan produktivitas yang akan kami peroleh dari [AI] . . . akan jadi hal luar biasa.” AI