Mahkamah Agung membatalkan sejumlah peraturan perundang-undangan terkait penggantian nilai tegakan (PNT). Ini adalah kali kedua MA membatalkan ketentuan-ketentuan yang membuat negara mampu mengumpulkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga setengah triliun tahun lalu.
Dibatalkannya ketentuan-ketentuan tentang Penggantian Nilai Tegakan (PNT) tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 12 P/HUM/2015. Dalam putusannya, MA menyatakan sejumlah peraturan perundang-undangan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Peraturan yang dibatalkan itu adalah Angka XI tentang PNT pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan berikut lampirannya, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.30/Menhut-II/2014 tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan Rencana Kerja Usaha (RKU) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (HTI), Permenhut No P.52/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), PNT dan Ganti Rugi Tegakan (GRT), Permenhut No P.62/Menhut-II/2014 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Permenhut No P.68/Menhut-II/2015 tentang Penetapan Harga Patokan Untuk Perhitungan PSDH, GRT, dan PNT.
Peraturan-peraturan tersebut, berdasarkan putusan Hakim MA yang terdiri atas Dr Imam Soebechi, SH, MH, Yulius SH, MH, dan Dr Supandi, SH, MHum yang dibacakan pada 29 Mei 2015, “Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Putusan tersebut merupakan vonis atas tuntutan uji materi yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Dalam tuntutannya APHI menilai, ketentuan ketentuan-ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 23 A Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pasal itu berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU.” Sementara ketentuan PNT paling tinggi diatur dalam PP 12/2014.
PNT juga bertentangan dengan UU No. 20 tahun 1997 tentang jenis Penyetoran PNBP. Juga UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang merupakan UU lex specialis sektor kehutanan. Berdasarkan UU tersebut, hanya ada iuran izin usaha, PSDH, DR, dan dana jaminan kerja yang bisa dikenakan kepada pemegang izin usaha kehutanan. Tak ada iuran atau pungutan PNT/GRT.
Terbitnya ketentuan yang didalamnya mengatur PNT itupun dinilai APHI tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tatacara Pembentukan Perundangan-undangan. PNT dinilai bertentangan dengan pasal 5 dan penjelasannya, pasal 6 ayat 1 dan penjelasannya, pasal 96 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 beserta penjelasannya pada UU 12/2011.
Dalam argumennya APHI menilai, PNT tak punya kejelasan definisi, objek dan tujuan pengenaannya. PNT juga menimbulkan ketidakwajaran dan ketidakadilan. Selain itu, PNT juga dinilai mengakibatkan pungutan ganda atas objek yang sama berbasis tegakan.
Restitusi
Terhadap putusan MA, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menyatakan pihaknya menghormati sepenuhnya keputusan tersebut. APHI juga berharap agar putusan tersebut bisa langsung diterapkan. “Semua pihak tentu menghormati putusan MA, tentu saja termasuk kami,” kata dia, Jumat (5/2/2016).
Meski diputuskan Mei tahun 2015, salinan putusan tersebut baru diterima pihak pemohon dan termohon — dalam hal ini APHI dan pemerintah — pada Januari 2016. Dalam rentang masa tersebut, masih ada setoran PNT yang dibayarkan.
Terhadap PNT yang dibayarkan pasca putusan MA, Purwadi menjelaskan, anggota APHI memang berharap ada restitusi. Meski demikian, diakui, prosesnya tak bakal mudah karena PNT yang terlanjur disetor sudah masuk rekening pemerintah.
Jika proses restitusi rumit, maka Purwadi berharap PNT yang dibayarkan bisa diperhitungkan sebagai piutang untuk pembayaran kewajiban anggota APHI lain seperti DR dan PSDH. “Kalau sulit dikembalikan dalam bentuk cash, kami berharap setoran yang sudah dibayar bisa dihitung untuk pembayaran DR atau PSDH di masa mendatang,” katanya.
Kurangi beban
Asal tahu saja, dibatalkannya ketentuan tentang PNT oleh MA kali ini adalah yang kedua kalinya. Tahun 2012, MA juga pernah mengabulkan uji materi yang diajukan APHI terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur PNBP (lihat boks). Putusan MA tahun 2012 itu pun menjadi salah satu pertimbangan untuk kembali membatalkan ketentuan PNT.
Menurut Purwadi, dengan dihapuskannya PNT, maka beban pemegang izin HTI bisa sedikit berkurang. “Dana yang sebelumnya dibayarkan untuk PNT bisa dimanfaatkan untuk terus menggenjot investasi tanaman,” katanya.
Pastinya, bukan pemegang izin HTI saja yang bakal berkurang bebannya. Beban biaya juga akan dirasakan berkurang oleh pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK) yang akan membuka hutan untuk perkebunan dan pemegang izin pinjam kawasan hutan. Pasalnya, kewajiban PNT memang juga dikenakan untuk mereka. Dibatalkannya Angka XI PP 12/2014 yang menjadi payung hukum bagi ketentuan pelaksana di bawahnya tak lagi berlaku.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono mengatakan, anggotanya memang terkena PNT ketika hendak membangun kebun di eks kawasan hutan yang masih memiliki tegakan. Namun, dia memastikan, pelaku usaha perkebunan tidak mengincar kayu tebangan tersebut untuk menambah pendapatan.
Joko bahkan mengklaim, kebanyakan pelaku usaha perkebunan malah tak mengajukan IPK dan memberikan hak tersebut kepada pelaku usaha setempat. “Sebab, usaha kebun yang dibutuhkan lahannya, bukan kayunya,” kata dia. Sugiharto
Ganti Rugi yang Kenyang Gugatan
Diterapkannya ketentuan tentang ganti rugi tegakan bukan tiba-tiba. Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga prinsip bahwa kayu di kawasan hutan negara adalah milik negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dahulu Kementerian Kehutanan) kemudian merancang ketentuan tentang ganti rugi tegakan pada tahun 2009.
Terbitlah Permenhut No. P.58/Menhut-II/2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman pada 4 September 2009. Ketentuan itu kemudian diganti dengan Permenhut No P.14/2013 tentang IPK pada 15 Maret 2011.
APHI kemudian mengajukan tuntutan uji materi ke MA terhadap ketentuan tersebut dengan registrasi No 41/P/HUM/2011. Saat itu, APHI menilai Permenhut No P.14/2013 bersama Permenhut No P.65/2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada IPK dan atau Penyiapan Lahan Dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman bertentangan dengan setumpuk peraturan yang levelnya lebih tinggi.
Peraturan yang lebih tinggi itu adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP, PP No. 22 Tahun 1997, PP No. 52 Tahun 1998 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP, PP No. 59 Tahun 1998, PP No. 74 Tahun 1999, PP No. 92 Tahun 1999 tentang Tarif dan jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Permenhut No P. 14/2013 dan Permenhut No P 65/2009 juga dinilai bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 1 tentang Perbendaharaan Negara, dan PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Tuntutan APHI dikabulkan oleh MA lewat putusannya tertanggal 9 Februari 2012. Itu sebabnya, penyiapan lahan untuk HTI tak lagi dikenakan PNT. Ketentuan tentang PNT kemudian direvisi menjadi P 20/2013. Dalam ketentuan ini IPK untuk perkebunan dan izin pinjam pakai kawasan hutan tetap dikenakan PNT.
Belakangan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga mengajukan uji materi. MA dalam putusannya No. 62 P/Hum/2013 tertanggal 18 November 2013 mengabulkan tuntutan GAPKI, yang membebaskan PNT terhadap HGU perkebunan sawit.
Namun, laju Kementerian LHK untuk menerapkan PNT tak berhenti. Semangat ini dilatarbelakangi untuk mencegah adanya moral hazzard pada perizinan HTI dan perkebunan. Modusnya adalah dengan mengajukan izin HTI atau pelepasan hutan untuk kebun, namun kenyataannya hanya mengincar kayu ‘gratis’ pada proses land clearing bermodal IPK.
Maka, PNT pun diperkuat lewat peraturan pemerintah, sehingga termaktublah dalam PP No 12/2014. Namun, seperti sudah diketahui akhirnya, PNT kembali kandas karena secara materi hukum bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan di atasnya. Sugiharto