Ketentuan tentang Penggantian Nilai Tegakan (PNT) dua kali kalah dalam uji materi di Mahkamah Agung. Kementerian LHK pun sepertinya tak lagi ngotot untuk membuat ketentuan serupa di masa yang akan datang.
Setidaknya, itulah yang ditegaskan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya usai mendampingi Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Selasa (2/2/2016). Pertemuan itu digelar untuk mencari solusi agar sektor kehutanan bisa meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.
Menurut Menteri Nurbaya, dalam pertemuan tersebut APHI berharap perhatian pemerintah terkait pajak dan dukungan kebijakan fiskal. APHI keberatan dengan banyaknya pajak dan pungutan. Termasuk yang dikenakan adalah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), PNT, dan PBB.
Soal PNT, Menteri Nurbaya menyatakan sudah mengambil keputusan untuk mengkaji ulang. Apalagi, ada gugatan uji materi yang diajukan pelaku usaha. “Jika memang menyulitkan bagi pengembangan usaha dan tidak sesuai dengan dasar-dasar UU dan PP tentu harus dilihat kembali,” katanya seperti dikutip Agro Indonesia dari laman Sekretariat Kabinet.
Sementara untuk pajak yang lain, Menteri LHK harus berkonsultasi dengan Menkeu karena pajak atau penerimaan itu merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berdasar UU.
Jika PNT dihapus, Kementerian LHK dipastikan bakal kehilangan banyak PNBP. Sebagai gambaran, pada tahun 2014 setoran PNT mencapai Rp290,2 miliar dari total PNBP untuk hasil hutan kayu — yang mencapai Rp3,12 triliun.
Sementara pada tahun 2015, dari total PNBP hasil hutan kayu sebesar Rp3,62 triliun, setoran PNT mencapai Rp523,3 miliar (lihat tabel). Namun, setoran tersebut berpotensi berkurang karena putusan MA yang membatalkannya terbit pada 29 Mei 2015. Artinya, ada setoran PNT yang dibayarkan pasca pembatalan payung hukumnya.
Direktur Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Kementerian LHK, Awriya Ibrahim memastikan pihaknya mematuhi putusan MA terkait PNT. “Sebagai komponen bangsa, kami tentu harus tunduk pada putusan hakim MA,” katanya.
Ditanya apakah Kementerian LHK akan megembalikan setoran PNT yang terlanjur dibayarkan pasca putusan MA, Awriya menyatakan pihaknya akan mengembalikan setoran PNT yang terlanjur dibayarkan. “Tapi keputusan pencairan juga tergantung Kementerian Keuangan,” katanya.
Menyayangkan
Meski mengaku patuh dengan putusan MA, namun Awriya menyayangkan jika akhirnya PNT dihapus. Menurut dia, pungutan tersebut sesungguhnya belum sepadan dengan keuntungan yang diperoleh pemegang izin HTI, perkebunan, atau pinjam pakai kawasan hutan.
Menurut dia, sudah sepantasnya jika pemegang izin memberi kontribusi atas lahan negara yang mereka manfaatkan. “Pemegang izin seperti perkebunan bisa mendapat lahan luas gratis. Ketika diminta untuk membayar PNT, nggak mau,” sindir dia.
Apalagi, pemanfaatan itu mengubah bentang lahan pemanfaatannya. Pada HTI, statusnya memang masih kawasan hutan, namun tegakannya berubah didominasi tanaman sejenis. Sementara pada perkebunan dan pinjam pakai hutan untuk pertambangan, bentang lahan diubah fungsi dan pemanfaatannya. Bahkan, pada pembukaan pertambangan, lahan bisa mengalami kerusakan permanen.
“Kalau diperhitungkan kerugian lingkungan yang diderita masyarakat akibat bentang lahan diubah, sesungguhnya PNT itu tidak seberapa,” katanya.
Berdasarkan PP 12/2014, tarif PNT adalah 100% dari harga patokan. Harga patokan sendiri bervariasi tergantung jenis kayu dan regionnya. Menurut Permenhut No. P.68/2014, harga patokan kayu untuk jenis meranti dengan diameter di atas 49 cm pada region Kalimantan dan Maluku adalah Rp760.000/m3.
Contoh lain, pada region Papua dan Nusa Tenggara, untuk kayu dari jenis rimba campuran dengan diameter di atas 49 cm, maka harga patokannya sebesar Rp340.000/m3.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi menyatakan, putusan MA merupakan dinamika yang berkembang di sektor kehutanan. Meski demikian, Vanda mendukung jika pemerintah tak menghilangkan PNT dengan cara menuangkannya dalam revisi UU 41/1999 tentang Kehutanan yang saat ini memang sedang dalam proses revisi.
“Dari beberapa kali diskusi kami dengan Kementerian LHK, pemerintah tetap confirm perlu adanya PNT di luar pungutan yang sudah ada, seperti DR dan PSDH, sehingga akan diusulkan dalam revisi UU Kehutanan. Menurut kami, itu sebuah langkah yang tepat,” katanya.
Greenomics Indonesia boleh disebut sebagai pendorong terbitnya PNT. Kajiannya tentang stumpage value tahun 2009 melatarbelakangi terbitnya ketentuan PNT. Sugiharto
Tunggakan PNT Tetap Ditagih
Mahkamah Agung sudah membatalkan ketentuan tentang PNT. Dua kali, bahkan. Namun, Kementerian LHK memastikan akan terus menagih PNT yang masih tertunggak, khususnya untuk tagihan yang terbit sebelum beleid PNT dibatalkan MA.
“Sebelum ketentuan PNT dibatalkan MA, ketentuan itu sah dan mengikat. Jadi, semua harus tunduk dan membayar kewajiban PNT,” katanya Direktur Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Kementerian LHK, Awriya Ibrahim.
Dia menjelaskan, pertama kali ketentuan PNT diatur dengan Permenhut P.58/2009 yang kemudian diganti dengan Permenhut P.14/2011. Ketentuan itu memang kemudian tidak operasional pasca putusan MA No. 41 P/Hum/2012. Namun, tagihan PNT terbit sebelum putusan MA No, 41 P/Hum/2012, maka Kementerian LHK berkeyakinan bahwa tagihan tersebut tetap harus dibayar.
Demikian juga halnya dengan tagihan yang terbit setelah adanya PP 12/2014 yang memasukan PNT sebagai bagian dari PNBP sampai sebelum ada putusan MA No. 12 P/Hum/2015. Tagihan PNBP pada rentang masa tersebut dalam pandangan Kementerian LHK harus tetap dibayarkan.
“PNT ini seperti anak yang dilahirkan, tapi kemudian perkawinannya dibatalkan. Kan tidak mungkin anaknya dimasukan kembali ke dalam perut,” kata Awriya, memberi analogi secara humor.
Namun faktanya, perusahaan yang dikirim tagihan PNT dalam kategori tadi, tak tinggal diam. Mereka mengajukan gugatan ke PTUN terhadap surat perintah pembayaran PNT yang diterima. Sejauh ini, majelis hakim PTUN selalu mengabulkan tuntutan yang diajukan perusahaan (lihat grafis).
Kenyataan inilah yang disayangkan Awriya. “Ada mispersepsi penegak hukum terhadap PNT. Seharusnya dipahami bahwa PNT merupakan bagian dari kontribusi pemegang izin karena telah memanfatkan aset negara,” katanya. Sugiharto