Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
“Sebelas Tahun Penyangkalan Putusan MK” itulah judul berita harian Kompas, Selasa (14/05/2024) terkait dengan masyarakat adat. Presiden dan DPR telah membangkang perintah konstitusi untuik membuat undang-undang (UU) masyarakat adat sehingga masyarakat adat banyak menderita, itu kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, Rukka Sombolinggi, Senin (13/05/2024).
Sebelas tahun pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Mei 2012, kepastian hukum bagi masyarakat adat hingga saat ini belum terwujud. Berbagai peraturan perundangan di bidang agraria dan sumberdaya alam yang baru dibuat dan direvisi semakin mengesampingkan hak-hak masyarakat adat. Terdapat dua hal penting yang diatur dalam putusan MK No. 35/PUU/IX/2012 tersebut. Pertama, menegaskan masyarakat adat sebagai subyek hukum atau penyandang ha katas wilayah adatnya. Kedua, hutan adat adalah milik masyarakat adat yang berada di dalam wilayah adatnya. Sebagai subyek hukum, itu berarti bahwa masyarakat adat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum dan memiliki otoritas mengatur sumber-sumber agrarian di wilayah adatnya. Selain dua hal tersebut, MK juga menyatakan pentingnya pembuatan UU khusus masyarakat adat.
Dalam Kolom Kompas.Com, saya menulis terkait hutan adat berjudul “Hutan Adat Bukan Hutan Negara, Lantas Hutan Apa? Dalam pembahasan tersebut saya menyebut bahwa meskipun hutan adat bukan negara namun hutan adat tetap diperlakukan sama sebagimana hutan negara dalam tanda kutip sampai hari ini UU yang menjadi muara persoalan semua ini tidak kunjung terealisasi dan disahkan karena masih berbentuk RUU yang tidak mempunyai kewenangan hukum apa-apa hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan Presiden periode 2019-2024. Apa sebenarnya yang terjadi dengan karut marut masyarakat adat ini sehingga pemerintah maupun negara terkesan kurang serius mengurusnya bahkan melupakannya. Berikut ini saya mencoba menganalisis tentang masyarakat adat berikut aspek-aspeknya.
Logika Terbalik
Sejarah negeri ini, sebelum berdirinya NKRI tahun 1945, dan masyarakat terdiri dari kelompok serta suku-suku bangsa yang tersebar di pulau-pulau di Indonesia. Sebelum mereka tinggal menetap di suatu tempat, mereka adalah suku nomaden yang selalu berpindah pindah tempat untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, sistem pertanian sederhana berupa ladang yang diolahnya selalu berpindah-pindah (shifting culitivation) untuk mencari lahan hutan baru yang masih subur.
Masyarakat yang berkelompok ini pada umumnya tinggal di hutan-hutan yang telah memberikan kehidupan pada mereka dengan tersedianya makanan pokok dari tumbuh-tumbuhan/pohon-pohanan yang tersedia secara alami di alam. Meski tidak ada perjanjian tertulis, kelompok masyarakat ini membentuk kelompok adat dan menguasai wilayah hutan tertentu yang mereka sebut hutan adat. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk yang ada, maka kawasann hutan alam yang ada dikapling-kapling oleh masyarakat adat yang menjadi hutan adat yang juga menjadi pertanda bahwa hutan adat tersebut telah dikuasai oleh masyarakat adat tertentu. Kawasan hutan adat yang diklaim ini juga sekaligus untuk menghindari konflik dengan dengan masyarakat adat lainnya yang juga mengusai kawasan hutan lainnya.
Aturan ini sudah terjadi dan berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka. Kita mengenal masyarakat adat Baduy di Provinsi Banten, masyarakat adat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, masyarakat adat Dayak Kenyah di Provinsi Kalimantan Timur dan sebagainya. Jadi masyarakat adat dengan hutan adatnya sebenarnya sudah ada di Indonesia sebelum berdirinya negara NKRI. Oleh karena itu, sesudah terbentuknya NKRI, pemerintah yang mengatur dan mengendalikan negara ini, melalui instrument regulasi/peraturan perundangan khususnya dalam pengurusan lahan tidak akan mungkin mengesampingkan keberadaan masyarakat adat dengan hutan adatnya.
Lihat saja, dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam penjelasan umum UU tersebut, disebut bahwa berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha), masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu. Sebaliknya, tidak dapat dibenarkan jika suatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.
Pernyataan senada juga disebut dalam UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam Pasal 17 disebut bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam UU ini.
Sayangnya, UU No. 41/1999 tentang kehutanan sebagai revisi dan penyempurnaan UU No. 5/1967, kurang berpihak kepada masyarakat adat dan hutan adat. Kawasan hutan alam diputihkan semua menjadi hutan negara yang dianggap tidak berpenghuni manusia, sehingga masyarakat adat yang keberadaannya turun temurun di kawasan hutan secara de facto (kenyataan di lapangan), namun secara de jure (hukum) harus diproses lagi melalui administrasi negara yang berbelit-belit dan panjang. Bila tidak lalui proses ini, maka pengakuan dan legalisasi masyarakat adat dan hutan adatnya dianggap tidak sah. Pasal 67 UU 41/1999 menyebut, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Pasal ini memberangus dan mempersempit keberadaan dan ruang gerak masyarakat adat yang secara de facto telah mengakar. Dalam beberapa kasus konflik tenurial dengan masyarakat adat di daerah, seperti di Kalteng misalnya – konflik antara tokoh adat dengan perusahaan perkebunan sawit yang dituding mencaplok kawasan hutan adatnya- pemerintah daerah setempat malah menggunakan logika terbalik dengan berlindung pada pasal ini dan menyatakan bahwa daerah tersebut tidak/belum ada hutan adat secara legalitas (de jure).
Kesalahan Beruntun
Meskipun UU 41/1999 telah digugat secara judicial review di Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kalangan terkait dengan hutan adat dan masyarakat adatnya, dengan keluarnya keputusan MK No. 35/PUU/IX/2012, namun keputusan MK ini belum menyelesaikan masalah dan bahkan menjadi bagaian masalah itu sendiri hingga saat ini. Kesalahan beruntun tidak saja terletak pada regulasi pemerintah yang sudah terbit tetapi juga keputusan MK yang belum konkret dan komprehensif menyelesaikan masalah. Kalau dirunut kesalahan yang terjadi sejak keputusan MK tahun 2012 tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, keputusan MK yang terkait dengan kehutanan tidak konkret dan opresaional dilaksanakan di lapangan. Masalahnya, keputusan MK tersebut hanya menyebut bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara, tetapi tidak menyebut hutan adat adalah hutan hak. Karena dalam UU no. 41/1999 disebut bahwa status hanya dua yakni hutan negara dan hutan hutan hak. Jadi kalu statusnya hutan adat bukan hutan negara, logikanya otomatis sebagai hutan hak. Namun ternyata dalam paradigma perundang-undangan tidak demikian adanya kalau tidak secara tekstual (tertulis). Oleh karena itu, karena frasa hutan adat bukan negara sifatnya menggantung, maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masih mengatur dan memperlakukan hutan adat sebagai hutan negara dan masih diatur oleh pusat secara detil (rigid).
Kedua, mestinya MK dalam amar keputusannya juga menggugurkan dan menghapus pasat 67 UU no. 41/1999 khususnya yang terkait dengan pengukuhan keberadaan dan legalitas hutan adat melalui Perda. Bila tidak digugurkan dan dihapus, setidak-tidaknya pasal tersebut dirubah menjadi pengakuan dan keberadaan dan legalitas hutan adat ditetapkan melalui Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Namun faktanya, keptusan MK tidak menyentuh dan merubah pasal 67 tersebut dan masih tetap berlaku. Produk peraturan perundangan yang tertinggi di daerah adalah Peraturan Daerah sama halnya dengan UU di tingkat pemerintahan pusat. Dua produk hukum tersebut dibuat dan disusun oleh pemerintah dan anggota dewan perwakilan yang multi partai. Menyusun Perda maupun UU tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama ditengah-tengah kepentingan politik yang berbeda-beda. Jadi sangat wajar apabila Perda tentang pengukuhan dan legalitas hutan adat sulit diterbitkan oleh pemerintah daerah ditengah tengah pemerintah daerah ingin menggenjot penerimaan asli daerah (PAD)nya. Sementara, legalisasi masyarakat hutan dan hutan adatnya dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi secara signifikan terhadap PAD dibandingkan lahan hutan tersebut diserahkan dan diusahakan kepada investor, misalnya perkebunan sawit.
Ganjalan terbesar dalam pengakuan dan legislasi hutan adat adalah adanya aturan melalui Perda ini. Sepanjang aturan ini masih berlaku, proses pengakuan hutan adat akan berjalan lambat. Sebut saja, hingga April 2024, AMAN mencata terdapat 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dan wilayah adatnya. Menurut badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), terdapat 26,9 juta ha wilayah adat diseluruh Nusantara yang telah teregistrasi di BRWA. Dari luasan wilayah adat tersebut, hanya 14 persen yang diakui negara. Sebab KLHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha.
Ketiga, pada tahun 2021 sedianya RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) akan segera disahkan oleh DPR sesuai dengan program legislasi nasional (prolegnas) saat itu, namun RUU MHA tersebut banyak ditentang oleh beberapa kalangan karena tidak mencerminkan aspirasi MHA. Selain mengancam keberadaan masyarakat adat, juga risiko benturan dan konflik pemakaian lahan berbasis izin yang makin menguat. Karena tekanan dari berbagai kalangan, maka RUU MHA urung disahkan hingga sekarang dan dikaji kembali materi dan substansi yang ada didalamnya. Entah sampai kapan, karena anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir masa baktinya pada Oktober 2024 nanti. Lalu, untuk sementara mimpi masyarakat hukum adat untuk memperoleh dan menuntut hak-hak termasuk hak ulayat dengan hutan adatnya secara berkeadilan, ditunda lebih dulu sampai pemerintah dan DPR (pusat dan daerah) pada gilirannya telah melakukan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Jangan sampai MHA terlupakan. Semoga. ****