Wisata Ala Korea di Gunung Tunak

Pantai Bilasayak TWA Gunung Tunak

Laut berwarna biru toska bertemu dengan pasir putih yang halus. Sementara tebing kapur yang tinggi menjulang dipayungi dengan langit biru. Itulah pemandangan indah yang bisa dinikmati di pantai Bila Sayak, Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tunak, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengunjung dipastikan akan betah berlama-lama di pantai yang menghadap langsung dengan Samudera Hindia itu.

Tapi, kalaupun ingin beranjak, masih banyak lokasi indah lain di TWA Gunung Tunak. Untuk pantai, ada 6 pantai lain yang menawarkan keindahan berbeda. Termasuk pantai Sari Goang, dimana tebing karang membentuk laguna yang begitu cantik. Di sini, selain bisa berenang-renang, pengunjung bisa bisa melakukan aktivitas memacu adrenalin seperti terjun dari tebing (cliff diving) atau menunggu momen romantis saat matahari terbit.

Pesona TWA Gunung Tunak makin lengkap karena kawasan konservasi yang dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB, sebuah unit pelaksana teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu juga menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi.

Di sana pengunjung bisa menemui ditemui burung gosong kaki merah (Megapodius reinwartdtii) yang langka. Burung ini memiliki kebiasaan unik dalam berkembang biak yaitu mengubur telurnya di dalam tanah dan membiarkannya sampai menetas.

Anda juga bisa menyaksikan ribuan kupu-kupu dengan sayap berwarna-warni berterbangan, terutama saaat menjelang akhir musim penghujan. Identifikasi BKSDA NTB, ada 50-60 jenis kupu-kupu di TWA Gunung Tunak, menjadikannya sebagai kawasan yang memiliki jenis kupu-kupu paling banyak se-Indonesia.

Dengan potensinya yang besar, TWA Gunung Tunak kini dikembangkan sebagai ikon wisata di Lombok, NTB, berdampingan dengan kawasan wisata populer, Mandalika. Yang membedakan, wisata di TWA Gunung Tunak akan berbasis masyarakat.

Pemandangan dari atas bukit TWA Gunung Tunak
Pemandangan dari atas bukit TWA Gunung Tunak

Sejumlah fasilitas pendukung wisata sudah dibangun dengan dukungan dari pemerintah Republik Korea yang disalurkan melalui Korea Indonesia Forest Cooperation (KIFC). “Kami sangat senang bisa membantu pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di TWA Gunung Tunak,” kata Dirjen International Affairs Korea Forest Service (KFS) Ko Ki Yeon saat peresmian fasilitas pendukung wisata, Selasa (6/3/2018).

Keterlibatan pemerintah Republik Korea adalah respons dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat ala Korea. Kerja sama pengembangan ekowisata berbasis masyarakat antara kedua Negara diteken pada tahun 2013 lalu.

Ko Ki Yeon menuturkan, di Negaranya kegiatan ekowisata berbasis masyarakat sudah berkembang sejak tahun 1960-an. Saat ini di Korea, ada sekitar 160 titik ekowisata berbasis masyarakat yang mendatangkan hingga 6 juta pengunjung setiap tahun.

Salah satu yang paling populer adalah Pulau Jeju. TWA Gunung Tunak, kata Ko Ki Yeon, memiliki seluruh potensi untuk berkembang seperti halnya Pulau Jeju. “Jika dikelola dengan baik pasti akan berkembang,” katanya.

Menurut Ko Ki Yeon, dengan ekowisata berbasis masyarakat maka kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan seiring dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati.

Kapasitas SDM

Co Director KIFC Sugeng Marsudiarto menjelaskan, fasilitas ekowisata yang dibangun diantaranya adalah adalah visitor center, camping ground yang bisa memuat 20 tenda besar, lapangan parkir, jungle track, dan butterfly learning center. Ada juga ruang serbaguna dan guest house berstandar hotel berbintang. Fasilitas tersebut dihibahkan kepada KLHK dan akan dikelola BKSDA NTB.

Menurut Sugeng, untuk pembangunan fasilitas tersebut, KFS melalui KIFC mengalokasikan dana sebesar 2,1 miliar won Korea atau setara dengan Rp25,9 miliar. Sekitar Rp4,3 miliar diantaranya untuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia masyarakat yang akan mengelola kegiatan ekowisata. “Pada tahun ini, kami masih mengalokasikan dana untuk pemeliharaan dan penguatan kapasitas SDM,” katanya.

Sugeng menekankan, penguatan kapasitas SDM memang menjadi fokus dalam pengembangan ekowisata di TWA Gunung Tunak. Pasalnya, masyarakatlah yang akan menjadi aktor utama dalam kegiatan tersebut. Sejumlah pelatihan telah digelar oleh KIFC dan melibatkan tak kurang dari 175 orang dengan peserta terbesar merupakan masyarakat setempat. Masyarakat yang dilibatkan terutama dari Desa Mertak Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, yang lokasinya berbatasan dengan TWA Gunung Tunak.

Sugeng menuturkan, selain pelatihan yang digelar di Praya, Lombok Tengah, masyarakat juga bahkan diajak melakukan studi banding pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Pulau Jeju, Korea.

Masyarakat, kata Sugeng, kini memiliki kepercayaan diri untuk terlibat dalam kegiatan jasa wisata alam di TWA Gunung Tunak. Dia yakin, jika hal ini terus dikembangkan maka akan memberi dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

4.Co Director KIFC Sugeng Marsudiarto (kiri) mememberi penjelasan kepada Dirjen International Affair KFS Ko Ki Yeon dan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi KLHK Dody Wahyu Karyanto tentang kegiatan ekowisata berbasis masyarakat di TWA Gunung Tunak
Co Director KIFC Sugeng Marsudiarto (kiri) mememberi penjelasan kepada Dirjen International Affair KFS Ko Ki Yeon dan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi KLHK Dody Wahyu Karyanto tentang kegiatan ekowisata berbasis masyarakat di TWA Gunung Tunak

Sementara itu Kepala BKSDA NTB Ari Subiantoro menyatakan ekowisata berbasis masyarakat adalah sebuah keniscayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi. “Melalui kegiatan itu maka masyarakat bisa mendapat manfaat dari kawasan konservasi sehingga mereka secara sadar mau terlibat untuk menjaga keanekaragaman hayati yang ada,” kata dia.

BKSDA NTB nantinya akan memberi izin penyelenggaraan jasa wisata bagi masyarakat. Negara juga akan diuntungkan karena setiap pemanfaatan fasilitas yang ada akan ada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mengalir.

Ari yakin, pengembangan ekowisata di TWA Gunung Tunak bisa meningkatkan pengunjung ke kawasan konservasi seluas 1.219,97 hektare itu. Sepanjang tahun 2017 lalu, rata-rata pengunjung mencapai 2.000 orang per bulan. “Kami harap jumlah pengunjung bisa mencapai 20.000 orang per bulan,” katanya.

Damar, Ketua Kelompok Tunak Besokok, yang akan menjalankan kegiatan ekowisata di TWA Gunung Tunak, menyatakan, masyarakat sangat antusias dengan dikembangkannya kegiatan tersebut. “Kami berharap bisa meningkatkan kesejahteraan dari ekowisata ini,” katanya.

Dia menuturkan, selama ini masyarakat hidup dari bertani dan nelayan. Ada juga yang menjadi pekerja formal. Namun pendapatan yang diperoleh tak seberapa. Adanya ekowisata, maka tersedia alternatif tambahan pendapatan bagi masyarakat.

Damar menuturkan, masyarakat memiliki bekal yang cukup untuk terlibat dalam kegiatan ekowisata yang dikembangkan.  Sejumlah pelatihan telah dijalani, diantaranya tentang pembuatan kerajinan, kuliner, dan pemandu wisata.

Damar menekankan, dilibatkannya masyarakat semakin meningkatkan komitmen untuk perlindungan kawasan konservasi TWA Gunung Tunak. “Kami sudah berikrar untuk menjaga dan melindungi kawasan ini karena kawasan ini juga menjadi sumber penghidupan kami,” katanya. Sugiharto

Dirjen International Affair KFS Ko Ki Yeon dan rombongan berfoto di depan Butterfly learning center
Dirjen International Affair KFS Ko Ki Yeon dan rombongan berfoto di depan Butterfly learning center