Keputusan pemerintah menyetop permanen perizinan baru di hutan primer dan hutan gambut berbuah pahit. Di tengah upaya mengejar investasi, kebijakan tersebut malah membuat hengkang sejumlah investor. Padahal, membiarkan hutan produksi tidak dimanfaatkan adalah kebijakan keliru dan tidak dikenal dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Mengundang masuk investasi di saat pandemi COVID-19 dan resesi menghajar seperti saat ini bukan perkara gampang. Namun, di sektor kehutanan, investor baru nampaknya memang tidak diharapkan. Terbukti, puluhan jutan hektare hutan produksi primer dan gambut di Indonesia terlarang total untuk investasi. Demi menyelamatkan hutan primer dan gambut serta menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka arah kebijakan pengusahaan hutan adalah mengoptimalisasi perizinan yang sudah ada dengan pengelolaan yang lestari.
Itulah amanat Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang diteken Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2019. Larangan investasi total itu dicantumkan dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Nah, berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.4945/2020 tentang Penetapan PIPPIB Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tahun 2020 Periode II, luas hutan primer dan gambut yang tidak boleh diterbitkan izin baru mencapai sekitar 66.278.029 hektare (ha).
Larangan total ini — yang semula hanya bersifat penundaan sejak tahun 2011 dan terus diperpanjang — mengundang kritik, terutama dari kalangan akademisi. Bahkan, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat, Prof. Gusti Hardiansyah menyebut larangan total ini perlu dievaluasi di saat negara dalam kondisi sulit dihajar pandemi COVID-19 dan resesi. “Akibat COVID-19, kita mengalami resesi. Kalau tidak ada investasi, tidak ada ekspor, tidak ada penyerapan tenaga kerja, sulit bagi kita untuk keluar dari resesi,” katanya, Sabtu (3/10/2020).
Menurut Gusti, kebijakan itu membuat banyak investor mundur menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satunya investor pelet kayu untuk pembangkit listrik yang sudah sempat berinvestasi Rp300 miliar dan membangun industri pengolahan. Sialnya, 80% dari luas izin hutan tanaman industri (HTI) mereka di Kalbar dinyatakan masuk dalam areal moratorium. Padahal, ungkap Gusti, izin HTI investor tersebut terbit sebelum kebijakan moratorium hutan diberlakukan. Kini, sang investor pun hengkang.
Dari data terakhir (2015) sejak moratorium diberlakukan, KLHK sudah menolak 5 permohonan izin HPH (IUPHHK hutan alam) seluas 421.326 ha. Sementara 17 permohonan izin HTI (IUPHHK hutan tanaman) seluas 523.040 ha juga ditolak. Sejak tahun 2015 sampai sekarang, KLHK tidak lagi mempublikasikan data penolakan izin baru.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Didik Suharjito sebelumnya sudah mengritik beleid Presiden Jokowi ini. Menurutnya, penghentian permanen tidak dikenal dalam manajemen hutan produksi. Menurutnya, jangka benah mungkin saja diperlukan pada sebuah unit ekosistem hutan produksi, tapi itu bertujuan mempertahankan produktivitasnya. “Kalau moratorium berarti hutan produksi tidak diapa-apakan, ya tidak tepat,” katanya, seraya menyebut istilah moratorium permanen tidak relevan karena UU No.41/1999 sudah menentukan kawasan hutan apa yang tidak boleh diusahakan, yang bisa dimanfaatkan untuk usaha kehutanan, ataupun yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. AI
Baca juga : AgroIndonesia, Edisi No. 777 (6-12 Oktober 2020)