Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan program Perhutanan Sosial yang sedang digeber bukan sekadar bagi-bagi lahan. Ini adalah program sistematis untuk meningkatkan produktivitas dan penghasilan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Penting di sini bahwa Perhutanan Sosial bukan hanya program bagi-bagi lahan atau akses lahan, tetapi merupakan program yang sistematis, untuk membuat masyarakat Indonesia menjadi produktif bekerja, dan ada penghasilan, yang ujungnya akan sampai kepada kesejahteraan perubahan sosial,” ujar Siti Nurbaya saat membuka Festival Perhutanan Sosial Nusantara (Pesona) di Auditorium Dr. Soedjarwo, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Dia melanjutkan, adanya Perhutanan Sosial juga menjadi bentuk pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat, untuk mengelola hutan, sekaligus menghapuskan persepsi adanya rakyat ilegal di dalam kawasan hutan.
“Bapak presiden berkali-kali menugaskan kepada saya, bahwa saat ini tidak boleh lagi ada atau persepsi rakyat ilegal di dalam hutan, tidak ada yang rakyat yang ilegal di Indonesia,” tegas Menteri Nurbaya.
Dalam program Perhutanan Sosial, masyarakat mendapatkan status hutan hak untuk mengelola lahan hutan, ataupun melakukan kegiatan usaha berbasis lahan hutan, dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), serta kemitraan kehutanan.
Sementara itu, dalam “Dialog Masyarakat dengan Pemerintah”, salah satu sesi pada Festival Pesona, masyarakat berbagi pengalaman praktik terbaik Perhutanan Sosial. Perwakilan masyarakat yang hadir diantaranya dari Rajabasa-Lampung, masyarakat dari Lombok-NTB, masyarakat Adat Kasepuhan Karang-Banten, masyarakat Adat Kajang-Sulawesi Selatan, masyarakat Mukim Beungga-Nangroe Aceh Darussalam, dan masyarakat Tapang Semadak-Kalimantan Barat. mereka dengan difasilitasi Multi Stakeholder Forestry Programme 3.
Selamat, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Padan, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan mengungkapkan rasa terima kasihnya karena pemerintah saat ini membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Mereka telah mendapat izin Hutan Desa sejak tahun 2014. “Dulu kami dianggap musuh oleh polisi hutan. Tapi kini menjadi mitra,” kata dia.
Selamat menuturkan, masyarakat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti petai, durian, dan pala. Mereka juga membuat peraturan desa untuk menjaga kelestarian hutan. Selamat berharap agar pemerintah bisa terus melakukan bimbingan khususnya untuk pemasaran dan pengolahan hasil hutan yang diproduksi.
Hal itu diharapkan bisa meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dia juga berharap pemerintah bisa menyediakan bantuan bibit berkualitas sehingga produksi hasil hutan non kayu di masa yang akan datang semakin baik.
Sementara Muhammad Safar, Ketua Kelompok Tani Hutan Taalun Sekti yang mengelola hutan adat seluas 641 hektare di Sarolangun, Jambi, menyatakan pihaknya sangat merasakan manfaat dari bimbingan yang diberikan pemerintah lewat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Limau.
“Hasil hutan yang dulu hanya dimanfaatkan sendiri, kini bisa dipasarkan untuk menambah pendapatan kami,” kata dia.
Hasil hutan yang dimanfaatkan adalah berbagai komoditas non kayu seperti madu, rotan, jernang, dan yang paling diunggulkan adalah minyak kepayang. Hasil uji laboratorium mengungkapkan kualitas minyak kepayang jauh di atas minyak sawit bahkan minyak zaitun, terutama untuk kandungan omega 3, vitamin E dan Vitamin C.
Menurut Safar, pihak KPH Limau memberikan bantuan alat pres dan bimbingan untuk mengolah minyak kepayang secara lebih higienis. Setiap kilogram minyak kepayang dihargai Rp20.000. Saat musim besar, Safar dan anggota kelompoknya bisa menghasilkan hingga 500 kilogram minyak kepayang. Sugiharto