Jalur hijau bagi produk kayu di pasar Uni Eropa sepertinya masih akan menjadi mimpi bagi banyak pelaku usaha kehutanan nasional. Pangkal soalnya, ada di dalam negeri. Masih dibebaskannya 15 golongan produk dalam kelompok furnitur dan kerajinan dari kewajiban Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah alasannya.
Produk kayu Indonesia yang ingin masuk ke pasar Eropa memang bakal mendapat perlakuan istimewa berdasarkan perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tatakelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT-VPA). Perjanjian yang diteken Indonesia-Uni Eropa tahun 2013 lalu.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia akan memastikan seluruh produk kayu yang diekspor harus berasal dari sumber yang legal. Indonesia pun menyertakan Sistem Verifikasi legalitas Kayu (SVLK), sebuah sistem yang dibangun dan dijalankan multipihak, dalam perjanjian tersebut. Sebagai timbal balik, Uni Eropa mengimplementasikan regulasi importasi kayu (EUTR), yang akan memeriksa (due dilligence) produk kayu yang diimpor untuk memastikan legalitasnya.
Nah, di sini keuntungannya. Berdasarkan VPA Indonesia-Uni Eropa, sertifikat legalitas kayu (v-legal) yang diterbitkan berdasarkan SVLK akan disetarakan sebagai lisensi FLEGT sehingga bisa masuk ke pasar Eropa tanpa pemeriksaan. Meski Uni Eropa juga menjalin VPA dengan sejumlah negara produsen kayu lainnya, Indonesia adalah yang terdepan. Posisi ini diyakini bisa memberi banyak keuntungan bagi Indonesia untuk menguasai pasar Eropa.
Bahkan, rencananya pengakuan dokumen v-legal sebagai lisensi FLEGT akan diberikan April 2016. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke sejumlah negara Uni Eropa, yang diagendakan April 2016, pun dijadikan momentum emas terkait rencana tersebut. Apalagi, agenda kunjungan Jokowi memang terkait, yaitu membahas kerjasama perdagangan bebas dengan Uni Eropa (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA). Sejumlah isu yang akan dibahas di antaranya adalah pembangunan berkelanjutan dan tarif bea masuk dan keluar.
Terancam
Namun, momen emas tersebut sepertinya bakal lewat begitu saja. Pasalnya, seperti sudah ditegaskan oleh Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend, UE akan menyetarakan v-legal sebagai lisensi FLEGT jika SVLK mencakup seluruh produk kayu. “Indonesia harus memastikan seluruh produk yang diekspor dilengkapi dokumen v-legal,” katanya, Senin (23/11/2015) silam.
Vincent menegaskan, dengan pengakuan v-legal sebagai lisensi FLEGT, maka Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam negosiasi FLEGT. Hal ini akan memberi keuntungan bagi Indonesia yang saat ini menguasai 40% pasar produk kayu tropis di UE.
Lewatnya momen emas Jokowi tak lepas dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 89 tahun 2015. Berdasarkan ketentuan yang terbit akhir tahun 2015 itu, 15 golongan produk kayu dalam kelompok furnitur dan kerajinan dibebaskan dari kewajiban penggunaan v-legal.
Meski demikian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terus bergerilya agar Permendag 89/2015 bisa segera direvisi, dan SVLK bisa kembali mencakup seluruh produk kayu. Dia menuturkan, terus berkomunikasi dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. “Saya terus memberi pengertian kepada Pak Thomas Lembong,” katanya di Jakarta, Kamis (24/3/2016).
Menteri Nurbaya menyatakan, tarik ulur implementasi SVLK dalam waktu dekat akan dibahas di level Menteri Koordinator bidang Perekonomian agar segera ada keputusan mengikat. Dia sendiri memandang implementasi SVLK adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Bagi pelaku usaha yang menghadapi kesulitan dalam proses audit, maka bisa diberi kemudahan untuk pemenuhan persyaratan.
“Legalitas kayu ini sangat prinsip, sebab kita ingin mengatakan (kepada dunia) bahwa Indonesia hanya berurusan dengan kayu legal,” katanya.
Nurbaya mengakui, saat ini ada sekelompok pelaku usaha yang menyatakan kesulitan terhadap implementasi SVLK secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Untuk itu, dia menyerukan agar mereka merinci letak kesulitan pemenuhan persyaratannya, sehingga bisa dicari solusinya. “Untuk menyatakan bahwa kayu itu legal, sangat penting,” tegasnya.
Implementasi SVLK diyakini bisa terus mendongkrak ekspor produk kayu Indonesia. Menurut catatan Sistem Informasi Legalitas kayu (SILK), Kementerian LHK, ekspor produk kayu pada tahun 2014 lalu mencapai 6,6 miliar dolar AS. Nilainya naik tinggi pada tahun 2015 menjadi 9,8 miliar dolar AS.
Sedikit yang menolak
Sementara itu, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK Putera Parthama menyatakan, kepentingan pemangku pihak (stakeholder) yang lebih besar seharusnya jangan sampai didominasi oleh kelompok kecil mereka yang menolak SVLK. “Yang menolak SVLK ini sebenarnya sedikit saja. Tapi penolakan itu malah merugikan mayoritas pelaku usaha,” katanya.
Mengacu kepada kombinasi data BPS dan SILK, sepanjang tahun 2015 lalu, ekspor furnitur tercatat 1,3 miliar dolar AS. Dari catatan tersebut, sebanyak 81% ternyata telah memanfaatkan dokumen SVLK. Sisanya, sebanyak 19% masih non SVLK.
Menurut Putera, akibat penolakan dari segelintir pihak, ekspor produk kehutanan di Indonesia kini makin sering diperiksa due dilligence oleh importir Eropa, yang berarti ada tambahan cost hingga 2.000-2.500 dolar AS/shipment dan tambahan waktu pemeriksaan.
Putera juga menyatakan, ekspor komoditas andalan lain, seperti sawit juga bisa terganggu. Jika SVLK tidak diimplementasikan secara penuh, maka akan memunculkan pertanyaan tentang komitmen Indonesia tentang pengelolaan hutan berkelanjutan.
“Sekarang kita menghadapi isu pajak progresif CPO (minyak sawit mentah) di Perancis. Kalau ada SVLK, kita tidak perlu membuka banyak front dengan negara-negara konsumen,” katanya.
Menurut Putera, sejatinya antusiasme pelaku usaha termasuk mebel sangat antusias dengan implementasi SVLK. Terbukti dengan terus meningkatnya mereka yang mengikuti audit sistem tersebut. Pada tahun 2015 lalu, jumlah perusahaan yang diaudit mencapai 828 unit, naik jauh dibanding tahun 2014 yang sekitar 500 unit perusahaan.
Antusiasme tersebut dibenarkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) bidang Pengkajian dan Hubungan Antar Lembaga, Hari Basuki. Dia menyatakan, SVLK adalah upaya untuk memastikan kesinambungan bahan baku, yang berarti kesinambungan usaha.
“Kami, para pelaku, sadar bahwa untuk menjamin kesinambungan bisnis tetap maju harus ada perlindungan sumber-sumber bahan baku,” ujar Hari.
Komitmen dukungan SVLK, kata dia, juga dinyatakan oleh asosiasi usaha berbasis kayu lainnya, termasuk IBcA (Asosiasi Barecore Indonesia), ISWA (Asosiasi Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan Indonesia), dan Apkindo (Asosiasi Kayu Lapis Indonesia). Dukungan tersebut sudah disampaikan dalam pertemuan dengan Kementerian Perdagangan 24 Februari lalu.
Hari mengakui, pelaku usaha mebel bukan mulus-mulus saja melalui audit SVLK. Ada kendala yang dihadapi, terutama untuk izin-izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Misalnya, izin gangguan (HO) dan amdal. Untuk itu, dia berharap agar ada kemudahan bagi industri kecil dan menengah (IKM) untuk mendapat izin tersebut. Sugiharto