PT Bumi Andalas Permai (BAP) yang dituduh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pelanggaran karena menanami konsesinya yang pernah terbakar adalah salah satu pemasok dari Asia Pulp and Paper (APP) Group. Kelompok industri nasional yang kini termasuk salah satu yang terbesar di dunia itu pun cukup responsif terhadap tuduhan tersebut.
Direktur APP Suhendra Wiriadinata menyatakan, pihaknya telah menerima berita dari salah satu pemasok kayu pulpnya, PT BAP terkait kunjungan dari pejabat KLHK.
“APP secara aktif terus bekerja sama dengan para pemasoknya untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan pemerintah yang ada dan terhadap komitmen perusahaan yang tertuang dalam Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP),” katanya di Jakarta, Senin (13/2/2017).
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto menjelaskan, yang dilakukan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI) sejatinya bertujuan untuk mencegah kebakaran berulang. Apalagi ada sisa-sisa biomassa bekas terbakar, yang jika dibiarkan bisa kembali terbakar.
Tak ada niatan buruk untuk secara sengaja melanggar arahan KLHK.
“Ada kekhawatiran, lahan yang terbuka jika tidak ditanami akan berpotensi menimbulkan kebakaran kembali. Tidak ada maksud untuk melanggar arahan KLHK,” kata Purwadi.
Dalam prosesnya, langkah yang sudah dilakukan ternyata dinilai tidak tepat oleh KLHK. Untuk itu, APHI sudah menginstruksikan perusahaan HTI yang menjadi anggotanya untuk segera menyetop penanaman di areal terbakar.
Pengelolaan lahan eks kebakaran selanjutnya akan mengacu zonasi kawasan hidrologis gambut (KHG) yang saat ini masih disusun KLHK.
Tidak pro investasi
Ketika para pelaku usaha menyuarakan kepatuhannya, pakar kehutanan IPB justru bersuara lebih berani. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Yanto Santosa mengkritik langkah KLHK mencabuti tanaman yang ditanam pada lahan eks kebakaran.
Langkah tersebut dinilai tidak pro pada investasi yang memberi kehidupan bagi sekitar 50 juta masyarakat Indonesia di sektor HTI dan perkebunan kelapa sawit.
“Kalau bicara pada pencabutan pada tanaman yang sudah ditanam, dalam terminologi kehutanan kurang tepat. Tanaman itu kan makhluk hidup,” katanya, Kamis (16/2/2017).
Yanto melanjutkan, aksi KLHK juga tidak tepat jika melihat fungsi lahan hutan, lokasi tempat tanaman dicabuti. Dia mengingatkan, lahan tersebut berstatus hutan produksi. Jika lahan tersebut akan diubah fungsinya sebagai hutan lindung atau hutan konservasi maka maka dibutuhkan proses review yang sangat panjang.
“Saya mempertanyakan jika alasannya lahan tersebut akan direstorasi. Ini berarti akan ada perubahan fungsi lahan, perubahan RTRW (rencana tata ruang dan wilayah),” katanya.
Menurut Yanto, restorasi berarti mengembalikan kondisi lahan seperti semula. Langkah ini bukan perkara mudah. Apalagi, lahan yang terbakar belum tentu rusak.
“Lahan yang terbakar itu belum tentu rusak. Jangan mentang-mentang dunia lagi gandrung dengan konservasi, semua harus dikonservasi. Kalau menurut saya selama lahan itu masih bisa digunakan untuk berproduksi ya ditanami saja,” katanya.
Argumen Yanto cukup beralasan. Dari dokumentasi foto dan video milik KLHK, akasia yang ditanam di lahan bekas terbakar memang masih mampu tumbuh subur. Meski belum genap setahun ditanam, ada yang sudah setinggi dada orang dewasa.
Yanto menyatakan, banyak yang gagal paham soal kebakaran hutan dan lahan. Dia memberi contoh soal denda terhadap perusahaan yang dinilai membakar lahan. Denda yang dijatuhkan bisa mencapai Rp7 triliun, sementara aset perusahaan tersebut tidak sampai Rp1 triliun.
Menurut Yanto, pemerintah seharusnya tak bisa meminta menuntut ganti rugi kepada perusahan jika kebakaran terjadi di areal konsesi. Pasalnya, jika mengacu kepada penjelasan pasal 90 ayat 1 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7 tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup pada ketentuan umum, dijelaskan kerugian lingkungan hidup adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.
Yanto menyayangkan, aksi pencabutan tanaman. Menurut dia, aksi tersebut akan memberi dampak psikologis kurang baik bagi pelaku usaha karena tiadanya kepastian hukum.
Dampak lainnya adalah adanya jeda waktu anatar kelas umur tanaman. Padahal, perusahaan HTI pasti sudah mempersiapkan produksi secara berkesinambungan dalam beberapa tahun ke depan. Adanya jeda antar umur tanaman ini akan mengurangi pasokan bahan kayu ke industri bubur kayu dan kertas di hilir. “Kalau supply-nya kurang, berapa kerugiannya? Jangan terlalu simpel dalam melihatnya. Pemerintah harus bijaksana,” katanya.
Untuk diketahui, PT BAP, merupakan salah satu perusahaan yang dipersiapkan sebagai pemasok bahan baku kayu untuk PT OKI Pulp and Paper yang sedang bersiap untuk beroperasi penuh. Pabrik itu menelan investasi Rp40 triliun dan akan memiliki kapasitas produksi 2,8 juta ton pulp dan 500.000 ton tisu. Akan ada 3.500 karyawan dan lebih dari 30.000 orang tenaga kerja tidak langsung yang terlibat. Nantinya sekitar 15%-20% produksi bubur kayu akan diolah sebagai bahan baku tisu, dan 80% sisanya akan diekspor ke manca negara. Sebesar 95% tisu yang diproduksi pun nantinya akan di ekspor ke luar negeri.
Itu sebabnya, Yanto mengingatkan, bahwa aksi pencabutan tanaman akan membuat daya saing perusahan itu turun di pasar internasional.
“Pemerintah tidak pernah mempertimbangkan soal ini. Ini beda dengan Malaysia yang seluruh komponennya, selain LSM, bersatu padu membela sawit. Saya tidak memahami pemerintah kita. Kalau devisanya mau, tapi tidak mau membela komoditas yang menghasilkan devisa itu. Dan ini tidak hanya akan terjadi pada HTI, tapi juga pada sawit,” katanya.
Suram
Sementara itu, pakar gambut IPB Dr Basuki Sumawinata juga tak sependapat dengan aksi KLHK. Menurutnya, lahan bekas kebakaran sewajarnya ditanami kembali. Apalagi status lahan tersebut merupakan lahan konsesi untuk produksi.“Kalau lahan itu berizin, mestinya kan tugasnya kan memproduksi kembali,” katanya.
Basuki mempertanyakan, jika lahan yang sudah diberikan izin usaha tak boleh ditanami kembali. “Kalau tidak boleh ditanami, itu tujuannya apa? Ini kan aneh. Disuruh berusaha, tapi tidak boleh ditanami,” kata dia.
Basuki juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang melarang melakukan penanaman di lahan bekas kebakaran. Sebab di negara-negara lain, lahan bekas kebakaran juga dilakukan penanaman. “Kalau solusinya lahan habis kebakaran tidak boleh ditanami kembali, lantas solusinya apa? Apakah pemerintah yang akan menanami lahan tersebut? Saya yakin mereka tidak mampu menanami lahan seluas itu,” katanya.
Menurut Basuki, kalau solusi yang diambil pemerintah terhadap lahan bekas kebakaran tidak boleh ditanami, maka dipastikan dunia usaha di sektor HTI dan perkebunan sawit akan suram. “Padahal sektor HTI dan perkebunan kelapa sawit terbukti telah menggerakan perekonomian Indonesia, menyerap banyak tenaga kerja, dan penghasil devisa yang besar,” tandas Basuki. Sugiharto