Revisi Segera Permendag 89/2015

Peluang ekspor produk kayu Indonesia di pasar Uni Eropa (UE) tanpa pemeriksaan (due dilligence), yang akan mendongkrak tinggi daya saing melawan negara pesaing, kembali terbuka. Syaratnya, sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) harus berlaku untuk seluruh produk kayu, yang berarti sekadar merevisi Permendag No. 89/2015. Apalagi, rencananya pada April ini Presiden Joko Widodo akan berkunjung ke UE membahas kerjasama perdagangan bebas dengan UE (CEPA).

Inilah peluang emas Indonesia untuk kompak menjadikan dokumen v-legal yang dihasilkan SVLK disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh UE. Jika itu terjadi, maka seluruh produk kayu yang masuk ke pasar UE tidak perlu mengalami pemeriksaan (due dilligence). Dengan demikian, Indonesia bakal jadi negara pertama dan satu-satunya yang masuk dalam jalur hijau untuk seluruh produk kayu yang dijual di pasar UE.

Persoalannya, kebijakan SVLK yang sudah lama digarap itu mendadak dimentahkan di ujung pelaksanaannya tahun lalu. Dengan berbagai alasan, kewajiban SVLK tidak berlaku untuk 15 golongan produk dalam kelompok furnitur dan kerajinan, yang dimotori oleh Asosiasi Mebel dan Kerajinan Republik Indonesia (AMKRI). Ketidakkompakkan ini yang akhirnya dimanfaatkan pasar untuk mengulur kewajiban mereka mengakui dokumen v-legal setara dengan lisensi FLEGT.

Padahal, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), dari total ekspor furnitur tahun 2015 sebesar 1,3 miliar dolar AS, sebanyak 81% sudah memanfaatkan dokumen SVLK, dan hanya 19% yang masih non-SVLK. “Yang menolak SVLK ini sebenarnya sedikit saja. Tapi penolakan itu malah merugikan mayoritas pelaku usaha,” kata Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK, Putera Parthama.

Akibatnya fatal. Menurut Putera, gara-gara penolakan kelompok kecil tadi, ekspor produk kehutanan di Indonesia kini makin sering diperiksa due dilligence oleh importir Eropa, yang berarti ada tambahan cost hingga 2.000-2.500 dolar AS/shipment dan tambahan waktu pemeriksaan. Apalagi, kasus ini juga bisa berimbas pada ekspor andalan Indonesia lainnya, minyak sawit. “Sekarang kita menghadapi isu pajak progresif CPO di Perancis. Kalau ada SVLK, kita tidak perlu membuka banyak front dengan negara-negara konsumen,” katanya.

Sayangnya, AMKRI tetap ngotot dan meminta semua pihak tidak lagi mengutak-atik Permendag 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang membebaskan industri mebel dan kerajinan dari kewajiban SVLK. “AMKRI menentang keras wacana pemberlakuan SVLK untuk industri mebel dan kerajinan,” ujar Sekjen AMKRI, Abdul Sobur.

Sikap ngotot ini tentu tidak elok karena membuat Indonesia terus dipermainkan pasar UE. “Saya terus memberi pengertian kepada Pak Thomas Lembong,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Jakarta, Kamis (24/3/2016). Menurutnya, implementasi total SVLK segera dibahas di level Menteri Koordinator bidang Perekonomian agar ada keputusan mengikat. Jika tidak, maka peluang emas disetarakannya v-legal dalam kunjungan Presiden Jokowi ke UE pada April ini pun menguap. AI