Moratorium Sawit Sasar Pelepasan Hutan

Di tengah kerasnya tekanan pasar internasional terhadap minyak sawit dan produk turunannya, terutama biodiesel, di dalam negeri produsen kelapa sawit juga menghadapi tekanan tak kalah berat. Demi tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, izin perkebunan sawit dihentikan sementara (moratorium), termasuk mengevaluasi perizinan kebun yang sudah dilepas. Jutaan hektare kebun eks hutan disisir kembali.

Inilah perkembangan terbaru dari rencana Presiden Joko Widodo menghentikan sementara pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, melalui instruksi presiden (Inpres) yang telah digarap sejak tahun 2016. Draft Inpres bertajuk “Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit” kini sudah nyaris rampung dan telah memperoleh paraf persetujuan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution pada akhir Desember 2017.

Jika draft ini tuntas dan diteken Presiden Jokowi, maka dalam tiga tahun ke depan (maksimal), tak ada izin kebun sawit baru. Namun, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, kebijakan itu kemungkinan hanya dua tahun. “Saya sih bilang dua tahun sebenarnya bisa. Tapi, supaya lebih longgar, oke lah 3 tahun,” kata Menteri usai membuka Workshop Hutan dan Deforestasi, Senin (29/1/2018).

Hanya saja, Menteri Nurbaya enggan menjelaskan secara detil isi Inpres moratorium sawit tersebut. Namun, dari draft yang diperoleh AgroIndonesia, penundaan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk kebun tak hanya berlaku untuk permohonan baru, tapi juga permohonan lama yang belum lengkap atau sudah memenuhi syarat tapi ada di kawasan hutan yang masih punya tutupan. Permohonan yang sudah memegang persetujuan prinsip tapi belum tata batas dan berada di hutan yang masih produktif, juga kena ganjal.

Tapi itu belum seberapa. Menteri LHK juga diinstruksikan menetapkan kebun — yang asalnya dari kawasan hutan dan telah dilepas atau diproses tukar-menukar kawasan hutannya — menjadi  kawasan hutan kembali. Menurut Menteri, izin pelepasan kawasan hutan bisa ditinjau ulang selama untuk kebutuhan konservasi lingkungan. “Itu konteksnya kebutuhan lingkungan. Jadi, kalau sangat prinsip, ya enggak bisa diterabas lah,” katanya.

Lalu, berapa banyak hutan yang sudah dilepas? Dari data Kementerian LHK, selama 2004-2016 ada 183 izin pelepasan kawasan hutan untuk kebun seluas 2,3 juta hektare (ha). Nah, luasan ini, jika disisir ulang, tentu menarik dicermati. Akankah dengan Inpres ini kebun yang sudah punya alas hak berupa Hak Guna Usaha (HGU) sekalipun harus hengkang? Jika itu terjadi, bagaimana dengan kepastian hukum yang justru jadi alasan lahirnya Inpres tersebut?

Tidak aneh jika pengusaha sawit pun kebingungan. Ketua bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengaku, draft Inpres itu bisa mengancam produksi sawit nasional, yang tahun silam menyumbang devisa ekspor 22,97 miliar dolar AS. Apalagi, beragam peraturan yang ada kerap tumpang tindih. AI