Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) pada awal tahun 2020 meningkat. Tercatat Januari 2020, NTP sebesar 104,27 atau meningkat 0,84 poin (0,81%) dibanding Desember 2019 (103,43). Demikian juga NTUP meningkat 1,17 poin (1,13%), dari 103,65 pada Desember 2019 menjadi 104,82 pada Januari 2020.
Menurut BPS, hal ini terjadi karena peningkatan indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dari indek harga yang dibayar petani, yaitu 1,57% berbanding 0,75%. Daya beli petani pada semua subsektor juga meningkat, kecuali pada subsektor peternakan. Pada subsektor tanaman pangan, NTP dan NTUP pada Januari 2020 meningkat masing-masing 0,13% dan 0,45%. Pada subsektor hortikultura, NTP dan NTUP meningkat masing-masing 2,05% dan 2,15%. Demikian juga pada subsektor perkebunan, NTP dan NTUP meningkat masing-masing 2,45% dan 2,88%.
Merujuk data ini, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi (Pusdatin), I Ketut Kariyasa mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) yang dinahkodai oleh Syahrul Yasin Limpo (SYL) berkomitmen memastikan pembangunan pertanian tidak berhenti pada peningkatan produksi saja, tapi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani. Untuk itu, SYL berkomitmen untuk menjaga agar harga produk pertanian yang diterima petani tetap menarik, sekalipun pada saat panen raya.
“Hal ini dilakukan agar petani terus tertarik untuk meningkatkan produksinya melalui penerapan inovasi teknologi terkini,” ujar Ketut di Jakarta, Jumat (21/02/2020).
Menurut Ketut, keberhasilan pemerintah dalam menjaga agar harga di tingkat petani tetap menarik terlihat dari membaiknya daya beli petani. Oleh karena itu, ke depan Kementan terus berupaya untuk menjaga daya beli petani semakin membaik.
“Terobosan membangun Agriculture War Room (AWR) yang dilakukan Menteri Syahrul Yasin Limpo akan memudahkan untuk memantau perkembangan harga produk pertanian di tingkat petani, khususnya pada saat panen raya yang sering tidak berpihak pada petani. Masalah lonjakan harga dan isu kelangkaan pupuk dan input produksi lainnya bisa terpantau, sehingga petani bisa menggunakan input produksi tepat waktu dengan jenis dan jumlah sesuai kebutuhan tanaman, serta pada tingkat harga yang terjangkau (Harga Eceran Tertinggi).
“Dengan demikian, diharapkan indeks harga yang diterima petani akan semakin menarik, dan di sisi lain indek harga yang dibayarkan petani relatif tetap dan bahkan cenderung menurun,” jelasnya. HMS