Oleh: Ali Djajono (Perencana Madya, Pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian LHK)
Pembangunan sektor kehutanan yang didanai APBN melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya sekitar Rp8,1 triliun dan tidak termasuk dalam 10 besar anggaran pembangunan Kementerian dan Lembaga yang disediakan APBN. Padahal sektor kehutanan menangani dan diberi tanggung jawab pengelolaan kehutanan di wilayah kawasan hutan yang meliputi hampir 120 juta Ha (sekitar 60% wilayah daratan Indonesia). Di sisi lain sektor kehutanan menghadapi tantangan penanganan isu-isu krusial yang sangat berpengaruh secara tindak langsung kepada keberlanjutan pembangunan sektor lainnya, isu kebakaran hutan merugikan sektor kesehatan/pariwisata/transportasi dll, isu banjir merugikan sektor infrastruktur/transportasi/pertanian/ekonomi masyarakat dll, isu penguasaan aset/akses ke sumber daya hutan merugikan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan penganggaran melalui APBN yang tidak sebanding dengan tugas dan tanggung jawabnya mengharuskan sektor kehutanan menggali sumber-sumber pendanaan lain untuk bisa membantu atau mendukung penanganan isu-isu tersebut.
Hibah Luar Negeri (HLN) menjadi salah satu sumber dukungan pendanaan untuk membantu mengisi gap tersebut. Namun perencanaan dan pemilihan terhadap HLN dan fokus kegiatan serta struktur masing-masing HLN perlu diantisipasi dengan baik. Jika tidak ditangani akan menjadi donor driven. Artinya alih-alih mengisi gap pembangunan tetapi malah melenceng ke arah lain sesuai kemauan donor dan tidak tepat sasaran.
Berdasarkan evaluasi ditemui beberapa praktik kegiatan yang dibiayai HLN menuju ke arah yang salah tersebut. Pemahaman yang utuh terhadap HLN menjadi penting bagi setiap sektor untuk dapat mengoptimalkan potensi pendanaan yang bersumber dari dana HLN.
Jenis HLN
Akses HLN untuk kepentingan mendukung pembangunan harus sesuai dengan tata kelola administrasi pemerintahan. Dalam konteks ini Instansi Pemerintah harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.99/PMK.05/2017 tentang Administrasi Pengelolaan Hibah.
Dalam peraturan tersebut salah satu yang terpenting adalah mengenal jenis hibah, cara memperoleh, dan cara pengelolaannya. Hibah menurut jenisnya terdiri atas: a) Hibah yang direncanakan, dan b) Hibah langsung. Sedangkan cara memperoleh dan pengelolaannya sangat berbeda diantara keduanya. Masing-masing punya plus dan minusnya.
Hibah yang direncanakan merupakan hibah yang dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan, sedangkan Hibah Langsung merupakan Hibah yang dilaksanakan tidak melalui mekanisme perencanaan. Yang dimaksud dengan mekanisme perencanaan disini adalah mekanisme perencanaan penganggaran sebagaimana lazimnya proses-proses perencanaan pembangunan yang akan masuk melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), termasuk tata cara pengelolaannya.
Hibah yang direncanakan, mempunyai nilai plus, antara lain: 1) Masuk dalam struktur APBN, sehingga proses perencanaan dan pengelolaannya terkontrol; 2) Akuntabilitasnya terjamin, karena mengikuti standar pertanjungjawaban Pemerintah; 3) Terkendali melalui Audit berkala dari Itjen (internal) dan Badan Pemeriksa Keuangan (eksternal).
Sedangkan nilai minusnya, antara lain: 1) Apabila perencanaan dan kebijakan berubah, memerlukan proses perubahan perencanaan yang tidak mudah dan cepat, karena melalui tahapan persetujuan pemberi hibah dan proses revisi yang cukup panjang sebagaimana proses-proses revisi APBN; 2) Tidak bisa fleksibel dan cenderung kaku dalam implementasi kegiatannya; 3) Sangat tergantung pada ketersediaan dan kecukupan SDM pengelola Hibah, karena pengelolaannya memerlukan jumlah SDM pengelola yang cukup banyak, apabila SDM terbatas akan sangat mempengaruhi kelancaran implementasi Hibah.
Sedangkan Hibah langsung mempunyai nilai plus, antara lain: 1) Bersifat fleksibel, sehingga bisa dilakukan penyesuaian apabila terjadi kebijakan atau arahan yang berubah, karena cukup dilakukan oleh Pemberi Hibah; 2) Tidak memerlukan SDM dari unsur penerima hibah (Pemerintah), karena semua pertanggungjawaban pengelolaan administrasi dan pertanggungjawabannya diatur oleh pemberi hibah.
Sedangkan nilai minusnya, antara lain: 1) Cenderung donor driven, apabila penerima hibah tidak mengawal dengan ketat setiap kegatan yang direncanakan dan diimlementasikan; 2) Rasa memiliki proyek (Self of Belonging) yang rendah dari penerima hibah, karena penerima hibah cenderung hanya menerima kegiatan proyek tanpa ikut mempertangungjawabkannya; 3) Perbedaan interest pemberi dan penerima hibah, cenderung ditemui sehingga seringkali kegiatan yang dirancang tidak sesuai dengan output yang diinginkan; 4) Sering terjadi perbedaan standar keuangan antara pemberi dan penerima hibah, sehingga implementasi kegiatan tidak bisa berjalan optimal.
Pengenalan jenis hibah ini penting sebagai pengetahuan/pemahaman dalam menentukan jenis hibah yang dipilih. Faktor-faktor yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan jenis hibah antara lain: 1) ketersediaan SDM pengelola hibah; 2) Beban tugas pembangunan yang menjadi tanggung jawab calon penerima hibah yang didanai tanpa hibah; 3) Jenis kegiatan pembangunan yang ditawarkan atau menjadi interest pemberi hibah; 4) Kebijakan para pimpinan pengambil kebijakan terhadap jenis hibah yang akan dipilih.
Pemberi hibah sektor kehutanan dari Badan-badan kerjasama multilateral (antara lain World Bank, Asian Development Bank (ADB), International Timber Trade Organization (ITTO)) cenderung menyalurkan hibahnya melalui mekanisme hibah yang direncanakan. Sedangkan hibah dari Badan kerjasama Bilateral (aantara lain Jepang, Korea Selatan, Jerman) cenderung menyalurkan hibahnya melalui hibah langsung.
Pengalaman penulis mendampingi dan ikut terlibat dalam proses Proyek Forest Invesment Program (FIP) II “Promoting Sustainable Community Based Natural Resource Management and Institutional Development Project”, yang merupakan Hibah Yang Direncanakan, memberi gambaran berlikunya proses hibah tersebut. Tahapan tersebut secara ringkas sebagai berikut:
- Penentuan Instansi yang akan menjadi pelaksana Proyek.
- Penyiapan Dokumen pendukung disetujuinya Hibah (memerlukan waktu hampir 2 tahun lebih).
- Penetapan Perjanjian Kerjasama antara Pemberi Hibah dengan Pemerintah Indonesia (cq. Kementerian Keuangan) dalam bentuk Grant Agreement.
- Registrasi Hibah ke dalam sistem keuangan Negara dan Penyiapan Rekening Khusus untuk penyaluran Dana Hibah.
- Pengintegrasian Program dan Kegiatan dalam struktur Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian dan/atau Lembaga (RKAKL) dan APBN.
- Koordinasi dengan Pemerintah Daerah dimana KPH-KPH terpilih berada.
Optimalisasi HLN
Sektor kehutanan mempunyai interest dan daya tarik cukup besar bagi para calon pemberi hibah, dan itu dapat dioptimakan untuk mendukung dan mengisi gap pendanaan pembangunan yang dibutuhkan sektor kehutanan. Yang terpenting adalah bagaimana menyinkronkan dan mensinergikan kebutuhan mengisi gap pembangunan dengan interest masing-masing calon pemberi hibah. Keputusan menerima atau tidaknya hibah oleh para pengambil kebijakan menjadi titik awal usaha untuk sinkronisasi dan sinergi kegiatan proyek serta menjadi bahan pertimbangan pemilihan jenis hibah.
Sektor kehutanan yang sangat menarik banyak pemberi hibah saat ini (karena sangat sesuai dengan karakter pendanaannya) antara lain isu konservasi, isu permasalahan tenurial dan sosial kawasan hutan serta hutan adat, isu perubahan iklim termasuk didalamnya kebakaran hutan dan lahan, serta fokus di wilayah tertentu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sedangkan isu-isu yang tidak menarik, antara lain isu penguatan kelembagaan pemerintah (Pusat atau Daerah), isu implementasi pemanfaatan hutan, isu implementasi perlindungan hutan, serta wilayah provinsi di luar 4 provinsi tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana sektor kehutanan melakukan identifikasi detail terhadap jenis kegiatan pembangunan dan lokusnya yang terdapat gap, serta menjadikan hasil identifikasi tersebut sebagai bahan negosiasi agar bisa diisi oleh HLN.
Ketiadaan data identifikasi dikhawatirkan menjadikan potensi HLN menjadi salah sasaran dan salah fokus, karena faktor kecenderungan interest lokus dan kegiatan dari pemberi hibah. Sektor kehutanan harus benar-benar memastikan bahwa yang akan diusulkan untuk mendapat dukungan hibah adalah suatu program yang benar-benar dibutuhkan, dan in line dengan kebijakan dan target program yang telah ditentukan. Selain itu menentukan jenis hibah juga menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan secara matang.
Secara ringkas beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan HLN di sektor Kehutanan, antara lain: 1) Tipe Calon pemberi Hibah, apakah Multilateral atau Bilateral; 2) Jenis Hibah yang akan dipilih, apakah Hibah direncanakan atau Hibah langsung (hal ini penting untuk diketahui dan dipastikan sejak proyek diinisiasi; 3) Penentuan tipe rencana kegiatan yang akan diimplementasikan, apakah hanya fasilitasi pendampingan, atau utuh sampai suatu kegiatan secara penuh atau saling isi dengan kegiatan lain yang dirancang dalam APBN; 4) Kepastian bahwa rencana kegiatan yang akan dipilih benar-benar merupakan “kebutuhan” sektor kahutanan; 5) Kepastian calon Implementing Agency (Pelaksana Proyek) benar-benar terlibat dari awal untuk menciptakan sense of belonging (rasa memiliki) dari calon penerima hibah; 6) Dukungan kuat dari Pengambil Kebijakan dimana Pelaksana Proyek bernaung.
HLN pada dasarnya mempunyai peran yang sangat penting untuk mengisi gap atas kebutuhan sumberdaya dalam membangun sektor kehutanan, namun apabila tidak dikenali, dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, maka potensi HLN menjadi tidak optimal dan bahkan cenderung tidak ada manfaatnya serta sia-sia.