Suhu panas ekstrem yang memanggang Asia dalam beberapa minggu terakhir menghasilkan satu pemenang yang menikmati keuntungan: Rusia!
Ketika seluruh negara di kawasan Asia berebut untuk memastikan pasok batubara, gas dan bahan bakar fosil dalam negeri cukup untuk membuat listrik tetap menyala, sektor energi Rusia yang digencet dan dijauhi oleh negara-negara Barat makin terlihat menarik.
Jika semula Kremlin harus mendorong dana guna membiayai invasinya ke Ukraina, kini hal itu berubah menjadi tarikan dari perekonomian Asia yang cemas guna memastikan generator listrik mereka memperoleh bahan bakar yang cukup untuk menghadapi tahun terpanas yang pernah tercatat.
“Tempat terburuk di tengah suhu yang membakar saat ini adalah Asia Selatan, terutama di negara miskin seperti Pakistan dan Bangladesh,” ujar Direktur JTD Energy Services Pte di Singapura, John Driscoll, seperti dikutip Bloomberg.
“Ketika Anda tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat Anda, maka sangat sulit untuk peduli dengan masalah-masalah internasional.”
Ekspor batubara termal dan gas alam Rusia ke Asia, dua bahan bakar yang paling banyak dipakai untuk pembangkit listrik, telah meningkat pesat tahun ini, demikian data dari firma intelijen data Kpler.
Volume ekspor batubara Rusia melonjak tajam sebesar 7,46 juta ton pada April, atau lebih besar 30% ketimbang angka tahun lalu. Pengapalan gas alam cair (LNG) ke Asia juga meningkat dalam beberapa bulan belakangan setelah harga menurun dari rekor tinggi — yang membuat bahan bakar fosil ini tak terjangkau buat banyak negara miskin.
Sementara itu, impor bahan bakar minyak Asia dari Rusia — alternatif bahan bakar yang lebih kotor dan murah untuk pembangkit listrik — mencetak rekor angka tertinggi dalam dua bulan pada Maret dan April, kata Kpler.
Dorongan buat Asia membeli lebih banyak energi dari Rusia kemungkinan bakal meningkat karena munculnya fenomena cuaca El Nino tahun ini, yang sudah membuat suhu di sebagian Asia melonjak tajam. Perdana Menteri Vietnam sudah mengingatkan bakal terjadinya kekurangan pasok aliran listrik selama Mei ini, sedangkan Myanmar sedang berjuang keras mengatasi pemadaman listrik yang makin memburuk.
Di India, permintaan listrik untuk mengatasi cuaca panas kemungkinan sebagian besar bakal dipenuhi dari batubara, kata Aniket Autade, analis fundamental energi Rystad Energy.
China dan India, dua pembeli paling antusias minyak dari Rusia yang didiskon, juga membeli banyak batubara, gas dan BBM. Mereka menyerap lebih dari dua-pertiga batubara Rusia yang dikirim ke Asia bulan lalu, demikian menurut hitungan Bloomberg dari data Kpler. Sementara Korea Selatan menyedot 15% pasokan Rusia itu, dan Vietnam, Malaysia dan Srilanka juga muncul sebagai pembeli signifikan.
Untuk BBM, China dan India lagi-lagi tercatat sebagai pembeli terbesar dari Rusia, sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga tercatat sebagai importir besar, demikian data Kpler.
Bangladesh, Pakistan dan Srilanka kemungkina juga akan mengimpor lebih banyak BBM dari Rusia untuk menjalankan pembangkit listrik mereka, kata analis Vortexa, Emma Li. Timur Tengah baru-baru ini juga meningkatkan volume impornya, dan kemungkinan akan terus berlanjut sampai musim panas ini, katanya.
Pakistan sendiri mengatakan pada Mei ini, mereka berkeinginan membayar BBM eks Rusia dengan mata uang yuan China. Negeri ini telah memesan satu kargo minyak mentah, tapi menyatakan keinginannya untuk menggunakan yuan dalam jangka panjang, kata kementerian energi Pakistan.
Bahkan Jepang saja, sekutu dekat AS dan oleh karenanya enggan meningkatkan impor dari Rusia, kemungkinan bakal meningkatkan pembelian dalam batas kontrak, kata analis senior energi terbarukan Rystad, Chris Wilkinson.
“Jepang mungkin mempertimbangkan pembelian lebih banyak LNG dari Rusia berdasarkan kontrak jangka panjang yang ada saat ini, mengingat pembelian itu jauh lebih murah ketimbang membeli di pasar spot,” ujarnya.
Menurut John Driscoll, meningkatnya pembelian energi Rusia oleh banyak negara Asia menunjukkan makin pudarnya pengaruh Gedung Putih serta situasi berbahaya yang sedang dialami banyak negara.
“Mereka bertanya pada diri sendiri: Apakah saya lebih suka ambil risiko berselisih dengan AS atau melupakan adanya harga energi dengan diskon yang besar?” katanya. “Ketika ada tawaran yang bagus muncul di atas meja, bagaimana negara-negara miskin bisa menolak?” AI