Partisipasi Masyarakat Sebagai Indikasi Keberhasilan Program Perhutanan Sosial

Menteri LHK Siti Nurbaya mengecek lokasi perhutanan sosial di areal Perum Perhutani

Oleh: Setiasih Irawanti (Puskashut Yayasan Sarana Wana Jaya, Peneliti Utama Bidang Ekonomi Kehutanan dan Kebijakan Kehutanan (28.08.05), Pensiunan Pegawai Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim) dan Widya Rahmi Hendita (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)

Masyarakat Indonesia yang tinggal di desa-desa di dalam dan sekitar kawasan hutan yang kehidupannya bergantung pada sumber daya hutan jumlahnya cukup banyak. Bila hutan tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat sekitarnya.

Saat ini akses legal masyarakat setempat terhadap sumber daya hutan di wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa telah diatur dengan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial.

Dalam perhutanan sosial di kawasan hutan Perhutani, masyarakat dapat menjadi mitra sehingga mendapatkan surat keputusan (SK) Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) yang berjangka waktu 35 tahun. Adanya jaminan jangka waktu pemanfaatan lahan hutan yang lebih lama, petani akan merasa lebih tenang dan leluasa dalam memilih jenis tanaman berumur panjang yang dibudidayakan seperti kopi, buah-buahan alpukat, nangka, atau memilih jenis usaha pemanfaatan lahan lainnya seperti wisata alam, sehingga petani dapat lebih produktif.

Salah satu unit perhutanan sosial di Kabupaten Bogor adalah kemitraan antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Puncak Lestari di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua bekerja sama dengan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor yang mempunyai kegiatan usaha wisata alam Citamiang dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) di kawasan hutan lindung.

Wilayah kerja LMDH Puncak Lestari terletak didaerah berbukit-bukit pada ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Anggotanya adalah pekerja perkebunan teh yang tinggal di perumahan pekerja perkebunan yang terpencar-pencar di 5 lokasi yaitu di Citamiang, Rawa Gede, Cisuren, Cikoneng, dan Cibulao. Kawasan hutan yang tersisa tampak seperti gerumbul pohon-pohonan alam yang telah terpisah-pisah oleh adanya hamparan luas areal perkebunan teh.

Pada awal pembentukan LMDH Puncak Lestari, tidak sedikit masyarakat yang menentang karena dianggap akan menghilangkan mata pencaharian sebagai pekerja perkebunan. Di samping itu mereka juga belum terlalu mengetahui tentang manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan mengelola hutan.

Apa motivasi para pekerja perkebunan tersebut sehingga pada akhirnya mereka bersedia dikelompokkan menjadi Kelompok Tani Hutan (KTH) yang digabung menjadi LMDH kemudian mereka berpartisipasi dalam pengelolaan hutan Perhutani? Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan metode analisis jalur (path analysis), dengan variabel independen kondisi sosial ekonomi dan motivasi anggota LMDH, variabel dependen partisipasi anggota LMDH, dan variabel intervening kemanfaatan program perhutanan sosial. Tujuan penggunaan variabel intervening adalah untuk mengetahui pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung variabel independen terhadap variabel dependen, serta apakah variabel intervening dapat memperkuat atau justru memperlemah pengaruh tersebut. Besarnya sampel 50% yaitu 38 orang, analisis data menggunakan SPSS versi 25, dan besarnya pengaruh ditunjukkan oleh koefisien jalur.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Para pekerja perkebunan teh PT Ciliwung Kabupaten Bogor umumnya bekerja setengah hari dengan upah yang rendah. Mereka tinggal di dalam kawasan perkebunan teh, tidak mempunyai lahan milik, sehingga sisa waktu hari-hari kerjanya digunakan untuk mencari tambahan penghasilan dengan cara memanfaatkan lahan hutan negara secara tidak legal. Dengan adanya program perhutanan sosial yang difasilitasi oleh Perum Perhutani KPH Bogor, para pekerja perkebunan yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung terdorong untuk mengikuti kegiatan tersebut baik karena pengaruh dari luar lingkungan maupun dari dalam diri mereka sendiri. Mereka bekerja di kawasan hutan setelah pulang dari bekerja sebagai buruh perkebunan teh. Tidak hanya diberi kesempatan untuk menanami lahan hutan, para petani juga diberi kesempatan untuk berkreasi dan berinovasi dengan kemampuan yang mereka miliki melalui pengembangan wisata alam. Wisata Alam dipandang sebagai usaha pemanfaatan kawasan hutan lindung yang potensial di daerah ini karena kondisi bentang alamnya indah.

Status sosial ekonomi sebagian besar anggota LMDH Puncak Lestari tergolong rendah. Sebagian besar (73,7%) cenderung berhenti sekolah pada tingkat SD dan tidak tamat SMP, serta tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena adanya tuntutan pekerjaan sebagai buruh petik teh di PT Perkebunan. Padahal sebagaimana diketahui bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin perkembangan sosial maupun ekonomi (Todaro, 2000). Di samping itu pendidikan akan memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk memperoleh pekerjaan yang layak, pendidikan kejuruan dan keterampilan juga akan menghasilkan angkatan kerja yang profesional.

Kenyataan di lapangan diketahui bahwa anggota LMDH Puncak Lestari tinggal di pemukiman pekerja di dalam kawasan perkebunan teh yang secara geografis relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi kawasan Puncak. Mereka menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana sekolah, jalan di perbukitan yang berbatu, serta akses kendaraan yang sulit yang semuanya berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anggota LMDH Puncak Lestari.

 

Motivasi

Motivasi anggota LMDH Puncak Lestari untuk bergabung pada kegiatan perhutanan sosial tergolong tinggi (89,47%), karena mereka memiliki dorongan untuk memperoleh manfaat sosial dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mendapatkan legalitas hak garap hutan. Ada manfaat sosial yang dirasakan oleh sebagian besar anggota LMDH terutama kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha dalam pengelolaan wisata alam serta hubungan antar sesama anggota LMDH yang semakin erat.

Hutan Wisata Alam dibangun oleh para anggota LMDH Puncak Lestari berdasarkan ide dan gagasan yang mereka miliki. Anggota LMDH diberikan kebebasan membangun tempat penginapan, tempat perkemahan, jalur sepeda gunung, dan jenis-jenis obyek wisata lainnya selama tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakati seperti bukan bangunan permanen dan tidak melakukan pembakaran lahan hutan.

Mereka memperoleh manfaat ekonomi berupa tambahan pendapatan berupa gaji dan upah dari bekerja pada kegiatan mengelola wisata alam, serta keuntungan dari penjualan hasil lahan garapan. Setiap anggota LMDH memperoleh lahan garapan antara 1-3 ha per KK yang diusahakan budidaya tanaman kopi, buah-buahan (alpukat, nangka), tanaman pangan, hijauan pakan ternak, atau budidaya lebah madu. Mereka sangat mendukung adanya kebebasan untuk berinovasi dalam pemanfaatan lahan hutan tersebut.

Edward Jones dalam Massiri (2016) mengelompokkan motivasi menjadi tiga kelompok kebutuhan yakni kebutuhan material, kebutuhan sosial, dan kebutuhan moral. Berdasarkan deskripsi tersebut, motivasi anggota LMDH yang sangat tinggi adalah motivasi atas kebutuhan material dengan dasar kebutuhan keamanan, keselamatan, dan perlindungan. Dalam hal ini, legalitas atas lahan garapan hutan merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat diperlukan oleh para anggota LMDH untuk mendapatkan rasa aman sebagaimana tertulis dalam perjanjian KulinKK. Selain itu para anggota diberikan pengakuan dan perlindungan atas hak kelola hutan selama 35 tahun. Legalitas yang jelas membuat anggota LMDH terdorong untuk ikut serta dalam kegiatan pengelolaan Wisata Alam. Setiap anggota diberi hak untuk mengelola hutan menjadi kawasan wisata alam sehingga mendapatkan insentif berupa tambahan penghasilan dari pengelolaan wisata alam. Kompensasi bagi hasil yang ditawarkan oleh Perhutani juga dinilai telah memadai untuk memenuhi segala kebutuhan pokok, meskipun ada pula sebagian anggota yang masih berharap agar kompensasi bagi hasil yang ditetapkan dalam dalam perjanjian KulinKK dapat ditingkatkan lagi.

Mereka juga termotivasi mengelola lahan hutan karena diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Perhutani memberikan pelatihan serta pembekalan kepada para anggota LMDH Puncak Lestari berupa keterampilan dalam bercocok tanam, pemberian pengetahuan mengenai rehabilitasi hutan, penggunaan teknologi dalam bidang pemetaan dan penggunaan GPS, bidang dokumentasi, serta pemanfaatan sosial media. Motivasi ini dapat menciptakan semangat kerja sehingga produktivitas anggota LMDH meningkat karena memiliki dorongan untuk menghasilkan suatu target sesuai apa yang telah mereka tetapkan (Arep & Tanjung, 2004).

 

Kemanfaatan Perhutanan Sosial

Program perhutanan sosial dapat memberikan tiga manfaat yaitu manfaat sosial, manfaat ekonomi, dan manfaat ekologi. Bagi Perhutani kemitraan dengan LMDH Puncak Lestari memberi manfaat terutama makin berkurangnya kerusakan hutan, berkurangnya intensitas konflik sosial dengan masyarakat, makin terbukanya kesempatan bekerja dan berusaha, serta adanya tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Anggota LMDH memiliki empat jenis sumber pendapatan yaitu yang berasal dari (1) bekerja di wisata alam, (2) menanam tanaman kopi, tanaman buah-buahan, tanaman pangan/semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak di bawah tegakan hutan (PLDT), (3) bekerja sebagai buruh perkebunan teh, dan (4) bekerja lainnya seperti buruh bangunan, ojek, jaga vila, dan lain-lain. Pemanfaatan lahan diarahkan untuk menanam produk-produk unggulan yang harganya mahal yang dapat diekspor seperti kopi dan buah-buahan.

Rata-rata kontribusi pendapatan dari bekerja di perkebunan teh hanya 18,5%, sedangkan dari kegiatan perhutanan sosial sebesar 47,3% (yaitu dari wisata alam 34,6% dan PLDT 12,7%), serta jenis pekerjaan lain sebesar 34,2%. Artinya kegiatan perhutanan sosial menyumbangkan pendapatan tertinggi bagi rumah tangga anggota LMDH, sebaliknya pekerjaan di perkebunan teh yang semula merupakan pekerjaan utama justru menyumbangkan pendapatan yang terkecil.

Sesuai Keputusan Gubernur Jawa Barat No.561/Kep1220-yanbangsos/2018, besarnya UMK Kabupaten Bogor tahun 2019 adalah Rp3.763.405,88/bulan, sebagian besar pendapatan anggota LMDH masih lebih kecil dari UMK (Rp 1.724.666,67/ bulan). Ada sebagian kecil anggota LMDH yang mempunyai pendapatan lebih besar dari UMK terutama yang bekerja di wisata alam serta memiliki pekerjaan lain, atau sudah berhasil melakukan usaha tanaman kopi di bawah tegakan hutan dengan sistem agroforestri. Rata-rata 58,76% anggota LMDH memperoleh manfaat sosial dan ekonomi dari perhutanan sosial, dimana variabel kemanfaatan memperkuat pengaruh status sosial ekonomi dan motivasi terhadap partisipasi.

Partisipasi Dalam Perhutanan Sosial

Masyarakat tergerak untuk berpartisipasi apabila dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal, memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dan memenuhi kepentingan mereka, serta partisipasi mereka akan berkurang jika mereka tidak/kurang berperan dalam proses pengambilan keputusan (Goldsmith dan Blustain dalam Ndraha, 1990). Partisipasi anggota LMDH dilakukan pada semua kegiatan mulai dari perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan wisata alam serta pemanfaatan lahan hutan.

Variabel status sosial ekonomi berpengaruh langsung secara signifikan terhadap partisipasi sebesar 0,253, sedangkan pengaruh status sosial ekonomi yang tidak langsung tercermin oleh variabel kemanfaatan yang juga signifikan terhadap partisipasi, yaitu sebesar 0,182. Total pengaruhnya adalah 0,435, artinya variabel intervening kemanfaatan memperkuat pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap partisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa variabel status sosial ekonomi berperan penting dalam mendorong partisipasi anggota LMDH pada kegiatan perhutanan sosial terutama wisata alam.

Menurut Mandasari & Maesaroh (2015) partisipasi seseorang dapat dipengaruhi oleh motivasi, apabila motivasinya tinggi maka partisipasinya juga tinggi, dan sebaliknya. Variabel motivasi tidak berpengaruh langsung terhadap partisipasi dengan koefisien jalur hanya 0,094, sedangkan pengaruh tidak langsungnya melalui variabel kemanfaatan adalah signifikan terhadap partisipasi sebesar 0,206, artinya variabel intervening kemanfaatan berhasil memperkuat pengaruh variabel motivasi terhadap partisipasi. Hal ini menunjukan bahwa peranan kemanfaatan perhutanan sosial sangat penting dalam mendorong motivasi anggota LMDH untuk berpartisipasi dalam perhutanan sosial terutama wisata alam.

Anggota LMDH termotivasi untuk berpartisipasi aktif pada kegiatan perhutanan sosial mengingat sebagai anggota, mereka memperoleh lahan garapan secara legal, tambahan pekerjaan, tambahan penghasilan dari wisata alam dan menjual hasil lahan untuk memenuhi kebutuhan layak yang sangat mereka butuhkan.

Dilihat dari besaran nilainya, terlihat bahwa pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap partisipasi (0,435) adalah lebih besar daripada pengaruh variabel motivasi terhadap partisipasi (0,206), artinya variabel sosial ekonomi mempunyai peranan lebih penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka memajukan program perhutanan sosial terutama kegiatan wisata alam. Dalam perhutanan sosial, intervensi yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan hak garap yang syah berupa SK Kulin KK yang berjangka waktu 35 tahun, dengan demikian untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam pengelolaan hutan diharapkan pemerintah lebih intensif melakukan intervensi tersebut.

Penutup

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat sangat bergantung kepada peranan pemerintah dan masyarakat, keduanya mampu menciptakan sinergi. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan secara optimal. Selain memerlukan keterlibatan masyarakat, pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Jangka waktu hak garap yang sah dan berjangka panjang mendatangkan rasa tenang serta dapat memberi kebebasan kepada anggota LMDH untuk berkreasi dan berinovasi dalam pemanfaatan lahan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai ketentuan yang berlaku.

Untuk meningkatkan keberhasilan program perhutanan sosial terutama pada kegiatan wisata alam, pemerintah diharapkan berperan sebagai motivator seperti menyediakan pendamping bagi anggota LMDH di bidang pemanfaatan lahan dan peningkatan keterampilan, serta sebagai mediator terutama dalam mengembangkan kerjasama dengan mitra-mitra di bidang permodalan, teknologi, dan pemasaran.