Pasar Karbon Diminta Tidak Memonetisasi Paus

* Kredit Karbon Paus

Paus Balin. Foto: Reuters

Kalangan ilmuwan menemukan bahwa paus adalah pejuang iklim. Mamalia bertubuh raksasa yang hidup di lautan ini menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar dan menghasilkan kotoran dalam jumlah besar pula, yang bermanfaat untuk pertumbuhan organisme pemakan CO2 lainnya di samudera.

Hal ini jadi berkah, tapi juga potensi jadi masalah. Pasalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) dan yang lain sangat berminat untuk menciptakan kredit karbon paus atau mekanisme keuangan lainnya yang bisa membiayai perang melawan perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversitas).

Namun, dalam sebuah paper baru, ilmuwan di balik penelitian karbon menyampaikan pesan tegas: Jangan monetisasi paus! Ya, jangan mengubah mamalia raksasa lautan itu bernilai uang.

“Berbagai upaya untuk memonetisasi paus sudah dapat perhatian, di mana seekor paus “secara rata-rata” bernilai 2 juta dolar AS sebagai penyerap karbon dan jasa lingkungan lainnya,” tulis ilmuwan dalam studi peer-review yang dimuat di jurnal Trends in Ecology & Evolution. “Seperti yang dikutip penulis beberapa makalah dasar dalam laporan ini, kami merasa dukungan ilmiah untuk monetisasi atau penilaian ini sangat kurang.”

Paper dirilis ketika delegasi dari 191 negara sedang bersidang di Montreal pekan ini dalam COP15, pertemuan tingkat tinggi yang disponsori PBB guna merundingkan perjanjian untuk melindungi biodiversitas global. Di antara delegasi yang hadir di Konvensi mengenai Diversitas Biologi adalah lembaga-lembaga keuangan yang tertarik dengan “biokredit”, yang seperti kredit karbon bisa digunakan perusahaan untuk memenuhi target ESG mereka dengan membiayai pelestarian keanekaragaman hayati.

Sama seperti kredit karbon, ada kekhawatiran biokredit ini dijadikan greenwash oleh perusahaan atas peran mereka menghancurkan keanekaragaman hayati, kecuali offset yang dilakukan dilandaskan pada pada ilmu pengetahuan dan sains yang baik. Greenwash adalah praktik pencitraan palsu dan pemasaran hijau.

Sejauh ini, sudah ada protokol yang diterima untuk mengukur dan memverifikasi, misalnya, volume CO2 yang diserap oleh sebatang pohon redwood. Tapi, kalau untuk paus, belum ada metode untuk menentukan berapa karbon dioksida yang diserap dari atmosfer dalam siklus hidup paus ketika mamalia ini menjelajahi lautan, kata Heidi Pearson, penulis utama paper yang juga guru besar biologi laut di University of Alaska Southeast.

“Paus punya banyak nilai ekosistem, dan penyerapan karbon hanya salah satunya saja,” ujar Pearson seperti dikutip Bloomberg. “Namun, kondisi sains mengenai masalah itu masih sangat awal dan belum siap membuat lompatan dari karbon paus menuju kebijakan perubahan iklim, dan yang lebih jauh lagi, membahas kredit karbon, yang merupakan lompatan dan patokan.”

Nilai Karbon Paus

Meski demikian, peringatan itu tidak menghalangi berbagai upaya untuk mematok nilai dolar seekor paus. Tujuannya adalah melipatgandakan potensi penyerapan karbon paus dengan mempromosikan pemulihan mamalia laut ini ke tingkatan yanga ada sebelum industri perburuan paus menghancurkan populasi mereka.

Pada tahun 2019, IMF menerbitkan sebuah paper yang mengusulkan penetapan nilai seorang paus masing-masing 2 juta dolar AS atas peranannya menyerap karbon, dan dengan populasi paus saat ini, maka nilai mamalia yang bernafas dengan paru-paru tersebut berharga lebih dari 1 triliun dolar AS.

Dalam sebuah paper susulan yang dirilis Duke University tahun 2020, penulis utama studi IMF, Ralph Chami dan koleganya fokus pada delapan spesies paus di lepas pantai Brasil dan Chile. Di samping kandungan karbon dioksida dalam tubuhnya, penilaian juga termasuk estimasi kontribusi paus-paus terhadap ekowisata dan perikanan tangkap. Nilai terbesar dari paus berasal dari peranan kotoran yang dikeluarkan mamalia ini karena meningkatkan pertumbuhan fitoplankton, makhluk kecil yang jadi rantai makanan paling dasar di lautan dan setiap tahun menyerap sekitar 37 miliar metrik ton CO2.

Chami, asisten profesor di Institute for Capacity Development IMF, beserta rekan-rekan penulis lainnya menentukan nilai paus dari kisaran 691.634 dolar AS untuk paus Sei sampai 4 juta dolar AS untuk paus biru Chile — satwa terbesar di dunia. Nilai rata-rata dari seluruh delapan paus itu sekitar 2 juta dolar AS.

Valuasi semacam itu akan menciptakan insentif untuk menghindari ancaman bahaya buat paus-paus sehingga potensi populasi serta penyerapan karbon mereka bisa ditingkatkan, demikian menurut para penulis paper Duke University. “Misalnya saja, satu kapal yang menyerang dan membunuh seekor paus biru di lepas pantai Brasil akan didenda penuh senilai paus yang dibunuh tersebut atau sekitar 3,6 juta dolar AS,” tulis mereka.

Pearson mengatakan, sains secara umum tuntas ketika mereka menghitung jumlah karbon yang diserap oleh paus dan kemudian tersimpan di dasar laut saat mereka mati dan tenggelam ke dasar laut. Paper baru itu menghitung bahwa populasi paus Balin di dunia saat ini menyimpan sekitar 2 juta ton karbon, sementara “paus yang jatuh” tenggelam menyimpan 60.000 ton. Volume 2 juta ton CO2 itu setara dengan emisi karbon 435.000 mobil.

“Ini adalah jumlah yang sangat kecil berdasarkan populasi yang ada saat ini,” papar Pearson. “Sekarang, jika kita bisa memulihkan populasi paus ke tingkatan populasi pra-eksploitasi yang melimpah, maka kita punya potensi untuk meningkatkan jumlah serapan karbon.”

Hanya saja, dia juga mencatat bahwa peran hewan raksasa ini dalam produksi fitoplankton dan siklus karbon lautan yang lebih besar sangatlah rumit, bervariasi menurut kawaan dan masih harus dihitung. “Kemampuan paus untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton dan menyerap CO2 sesungguhnya memang berpotensi punya manfaat yang besar, hanya saja kami tidak yakin dengan cara itu,” ujar Pearson.

Chami mengaku bisa memahami kekhawatiran ilmuwan, tapi krisis iklim yang terjadi menuntut adanya aksi. “Kita ada di titik bersejarah ketika kita perlu beralih dari fokus pada dampak lokal ke kebijakan iklim/alam dan keuangan yang lebih luas,” ujarnya melalui surel. “Dalam kasus paus, kita bisa menggunakan estimasi minimal, seperti yang sudah kami lakukan, dan memberikan rentang ketidakpastian — sama seperti yang kita lakukan pada setiap produk investasi.”

“Kita sudah tidak punya waktu untuk memperoleh kebenaran 100%, kecuali kita mau menyaksikan secara bisu kematian, yang bukan hanya paus, tapi juga risiko eksistensi kita semua,” tambah Chami.

Andrew Pershing, rekan penulis paper baru ini, merupakan ilmuwan kelautan yang meneliti selama 10 tahun untuk mengkalkulasi potensi paus menyerap karbon. Dia yang pertama kali menyerukan penciptaan kredit karbon paus tahun 2010. Namun, dia juga yang memperingatkan bahwa langkah itu tidak boleh dilakukan terburu-buru.

“Sudah lama sekali itu, dan saya akan mengatakan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus Anda lakukan untuk mendapatkan sesuatu pada tingkatan verifikasi yang Anda butuhkan untuk kredit karbon paus,” papar Pershing, direktur sains iklim di lembaga riset nirlaba Climate Centre. “Kita perlu memastikan bahwa saat kita melakukan hal-hal ini harus didasarkan pada sains yang masuk akal dan terukur.”

Meski demikian, paper ini mencatat bahwa memulihkan populasi paus bisa jadi strategi iklim “rendah penyesalan”, yang sedikit berisiko dan lebih tahan lama ketimbang solusi geoengineering yang diusulkan, seperti menghapus CO2 dari atmosfer dan memendamnya ke dasar lautan.

“Karena tingkat keparahannya, dan sifat krisis iklim yang meningkat, kita perlu melakukan segalanya yang kita bisa,” ujar Pearson. “Bahkan, jika paus-paus itu pada akhirnya memainkan peranan yang relatif kecil dalam bujet karbon global, namun tetap saja dia membantu.” AI