Pembalakan Ramah Lingkungan Tingkatkan Efisiensi HPH

Dirjen PHPL Kementerian LHK IB Putera Parthama (tengah) mendengar penjelasan tentang RIL didampingi Direktur Utama PT Dwimajaya Utama Eko Pratomo (berkacamata hitam)

Penerapan praktik pembalakan berdampak rendah (Reduce Impact Logging/RIL) bukan saja bisa meminimalkan kerusakan hutan tapi juga terbukti meningkatkan efisiensi pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau HPH.

“Dulu kami juga bertanya-tanya, tapi ternyata terjadi efisiensi dalam pembalakan,” kata Direktur Utama PT Dwimajaya Utama Eko Pratomo saat peninjauan areal HPH Dwimajaya Utama di Katingan, Kalimantan Tengah, Senin (7/8/2017).

Hadir dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) IB Putera Parthama dan Kepala Pusat Keteknikan Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Gatot Soebiantoro.

Dwimajaya Utama mengelola HPH seluas 127.000 hektare. Perusahaan tersebut pertama kali memperoleh izin HPH pada tahun 1971. Pengelolaan hutan di areal HPH Dwimajaya Utama sudah mencapai rotasi ketiga.

Dwimajaya Utama mulai mengimplementasikan RIL sejak tahun 2012. Saat ini, praktik RIL belum diimplementasikan secara luas oleh pemegang izin HPH karena kekhawatiran kenaikan ongkos produksi.

Wakil Area Manager PT Dwimajaya Utama  Lasmari mengungkapkan kenaikan biaya dalam implementasi RIL sejatinya hanya terjadi pada saat survey blok rencana kerja tahunan (RKT). Pasalnya, survey harus dilakukan 100%. Biaya survey pun naik dari sebelumnya sekitar Rp300.000/hektare menjadi sekitar Rp690.000/hektare.

“Survey 100% diperlukan agar perencanaan kegiatan produksi akurat,” katanya.

Berbekal dengan perencanaan yang akurat, efisiensi produksi justru bisa meningkat. Lasmari mengungkapkan, sejak implementasi RIL produktivitas Dwimajaya Utama bisa meningkat. Hal itu terlihat dari produktivitas setiap traktor yang naik dari sebelumnya 3,9-7,7 batang/hari menjadi 11,7 batang/hari. “Atau mencapai 5,97 batang/hari,” katanya.

Dihitung volumenya, maka produksi kayu bisa meningkat dari  22-39,6 m3/hari menjadi 61,52 m3/hari atau naik hingga 30,7 m3/hari.

Lasmari juga mengungkapkan, efisiensi terjadi pada sarana produksi. Penggunaan BBM misalnya. Dulu  pemanfaatan BBM mencapai 4,22 liter/m3. Pasca implementasi RIL penggunaan BBM hanya 3,26 liter/m3 atau hemat hingga 1,08 liter/m3.

Demikian juga untuk penggunaan oli. Dulu penggunaan oli mencapai 0,12 liter/m3 maka pasca implementasi RIL, penggunaan oli hemat hingga 0,11 liter/m3 atau hanya sebanyak 0,01 liter/m3.

Sementara itu untuk pemanfaatan sling baja, dari 0,0086 pieces/m3 menjadi 0,0014 pieces/m3 atau hemat 0,0072 pieces/m3. “Jadi sarana produksi lebih awet dan irit,” kata Lasmari.

Sementara itu, Nana Suparna, penasihat Lestari, sebuah proyek yang didanai lembaga hibah Amerika Serikat USAID untuk  mendorong aksi mitigasi perubahan iklim, menyatakan hasil kajian yang dilakukan di 2 HPH yang dikelola Alas Kusuma Grup, implementasi RIL bukan saja meningkatkan produktivitas tapi juga meminimalkan kerusakan areal produksi. “Kerusakan tegakan tinggal di lokasi pembalakan berkurang 18%-32%. Limbah kayu juga berhasil ditekan hingga 10%-12%,” katanya.

Nana juga mengungkapkan, hasil kajian yang dilakukan oleh The Nature Conservancy, praktik RIL mampu menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan pembalakan hingga 40%.

Sayangnya, lanjut Nana, jumlah pemegang izin HPH yang sudah mengimplementasikan RIL masih sedikit. Saat ini jumlahnya hanya sekitar 22 dari sekitar 265 unit manajemen hutan.

“Perlu dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah agar implementasi RIL semakin luas,” katanya.

Sugiharto