Pemerintah Diminta Ciptakan Kebijakan Kondusif

Industri hilir sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat.

Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.

Update perkembangan bisnis hilir sawit ini disampaikan dalam buka puasa bersama antara Forum Wartawan Pertanian dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) di Jakarta, kemarin.

Selain itu, tiga asosiasi hilir sawit ini berkolaborasi dengan Forum Wartawan Pertanian untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan masyarakat kurang mampu melalui yayasan sosial di sekitar Jabodetabek.

“Peranan media sangat luar biasa untuk mendukung berjalannya industri hilir sawit termasuk program biodiesel. Makanya kami harapkan kerjasama ini dapat terus berlanjut,” ujar  Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI.

Ia menjelaskan bahwa program biodiesel telah mencapai bauran 35 persen yang diharapkan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.  Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 juta kiloliter yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.

“Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergy lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit,” ujarnya.

Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN , mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi pandemi karena perlu kehati-hatian dalam penetapan kebijakan.

Indonesia perlu bersyukur dianugerahi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku utama dari produk oleokimia yang membantu daya saing industri.

“Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton di mana lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit,” ujar Rapolo.

Menurutnya Indonesia sangat beruntung memiliki sentra produksi oleokimia di dalam negeri karena sangat bermanfaat di masa pandemic kemarin terutama bagi produk disinfektan dan kebersihan tubuh seperti sabun.

Sejalan dengan  pemulihan ekonomi, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022. Negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa.

“Tahun lalu nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar atau rerata Rp 83 triliun lebih. Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia,” ujarnya.

Kinerja positif oleokimia, diakui Rapolo, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Jadi, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024.

”Semoga kebijakan ini terus bergulir dan kami lihat Kementerian ESDM, Perindustrian sangat mendukung implementasi harga gas 6 dolar per mmbtu bagi oleokimia. Hingga sekarang, tidak ada PHK di sektor oleokimia bahkan terus bertambah penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menjelaskan  di kuartal pertama tahun ini tren masih di bawah tren periode sama tahun lalu. Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati sebesar 2 persen menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitupula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas  1000 dolar AS /ton.

“Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target Domestic Market Obligation sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022 di mana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi. Dampak berikutnya, pasokan minyakita berkurang lantaran dana subsidi minyakita itu dari ekspor,” ujarnya. Jamalzen