Pemerintah diminta tidak menerapkan hambatan ekspor dari dalam negeri terhadap komoditas minyak sawit mentah (CPO) karena akan merugikan petani kelapa sawit nasional.
“Kita tidak mungkin tidak mengekspor CPO karena yang paling terdampak adalah petani,” ujar Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, di Jakarta, Senin (02/10/2023).
Piter mengingatkan tindakan blunder yang pernah pemerintah lakukan dengan melarang ekspor CPO, walaupun dalam tempo singkat, di tahun 2022 lalu. Kebijakan itu, sangat merugikan petani karena harga tandan buah segar (TBS) merosot ke harga terendah . “Akibat kebijakan blunder itu, negara lain yang bisa menikmati harga CPO di pasar internasional yang saat itu sedang tinggi,” ucapnya.
Piter juga mengingatkan kalau rencana pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) guna mengatur lebih lanjut ekspor CPO dan produk-produk turunannya perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Menurutnya, pengaturan ekspor CPO dan produk-produk turunannya yang terlalu ketat bisa menjadi boomerang, merugikan industri sawit, sementara disisi lain tidak akan mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari pengaturan ekspor itu sendiri.
“Membatasi ekspor CPO dan produk-produk turunannya tidak otomatis akan meningkatkan ketersediaan minyak goreng sebagai salah satu barang kebutuhan pokok masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Dijelaskannya, hambatan ekspor secara langsung akan mengurangi ekspor dan pendapatan pemerintah, mengganggu rantai pasok industri sawit dalam negeri, yang pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Yang paling buruk, adalah dampaknya kepada para petani sawit yang akan menjadi korban pertama ketika ekspor CPO dan produk turunannya terganggu,” paparnya.
Piter juga menegaskan kalau kebijakan mewajibkan ekspor melalui bursa berjangka dalam negeri tidak akan serta merta menghilangkan peran bursa Rotterdam dan Malaysia sebagai rujukan harga CPO dunia.
“ Perlu dipahami bahwa untuk menjadi rujukan harga global, pembentukan harga di sebuah bursa harus teruji kredibel melalui sebuah mekanisme pasar yang berjalan sempurna, tanpa ada sedikitpun intervensi pasar,” katanya.
Bentuk-bantuk intervensi pasar yang harus dihindari, misalnya adalah: memaksa pelaku pasar untuk melakukan transaksi perdagangan hanya di bursa CPO tertentu, mengkaitkan transaksi CPO di bursa dengan berbagai kebijakan dan kepentingan dari pemerintah.
“ Bursa CPO di Rotterdam dan Malaysia, bisa berkembang karena sudah melalui proses pengujian yang begitu panjang dan telah mendapatkan pengakuan secara global,” papar Piter.
Seperti diketahui, produksi CPO Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Pada tahun 2022 Produksi CPO Indonesia mencapai 46,73 juta ton. Di tengah kemampuan produksi yang begitu besar, meskipun industri hilir sawit di Indonesia sudah cukup berkembang daya serap domestik dapat dikatakan masih sangat kecil.
Total konsumsi CPO nasional pada tahun 2022 hanya sebesar 20,97 juta ton. Ini artinya pada tahun 2022 terjadi ekses supply sebesar kurang lebih 26 juta ton. “Hal ini tentu perlu diberikan jalan keluar oleh pemerintah,” pungkas Piter. Buyung N