Uni Eropa Terapkan Aturan Baru Perang Karbon

Uni Eropa mempercepat upayanya untuk menjadi benua pertama yang netral iklim. Apalagi, tahap pertama Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan (CBAM) — kebijakan baru yang diharapkan akan mendorong negara-negara lain melakukan hal serupa — mulai berlaku sejak Minggu (1/10).

CBAM akan menerapkan pajak untuk barang impor yang padat karbon, sehingga perusahaan-perusahaan Eropa — yang harus mematuhi aturan ketat UU iklim — tidak akan menghadapi persaingan tak adil dari produsen sejenis di luar Uni Eropa (UE). Mulai 1 Oktober 2023, importir dari industri yang padat karbon wajib untuk mulai melaporkan emisi mereka.

“Aturan ini akan memiliki implikasi strategis dan finansial buat bisnis di seluruh dunia,” ujar Tim Figures, pakas senior Boston Consulting Group. “Minggu hanyalah awal dari proses panjang. Namun, meski perusahaan tidak terkena langsung dampaknya, kemungkinan hal itu baru terjadi di tahap berikutnya, ketika UE punya opsi memasukkan industri-industri lainnya.”

CBAM sendiri sudah mendapat perlawanan dari mitra dagang utama UE, antara lain Rusia dan China, yang berpendapat aturan itu melemahkan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Disebutkan pula, CBAM menambah tegang hubungan perdagangan antara UE dan AS, di mana pemerintah Presiden Joe Biden telah meminta pengecualian untuk ekspor besi baja dan aluminium AS awal tahun ini.

Namun, begitu aturan ini berlaku, CBAM akan jadi ujian penting apakah harga karbon bisa diberlakukan di seluruh dunia sebagai bagian dari upaya membatasi pemanasan global. Berdasarkan tahap dua CBAM, yang akan diberlakukan pada Januari 2026, perusahaan diwajibkan membayar retribusi secara bertahap sesuai dengan harga karbon di bursa karbon UE. Harga kontrak emisi UE pada Jumat (29/9) adalah sekitar 82 euro/ton.

Gagasan untuk mengenakan harga terhadap emisi karbon di perbatasan Eropa telah disuarakan selama dua dasawarsa terakhir, tapi hal itu tak pernah dilakukan sampai awal tahun 2023 ini, di mana UE mengadopsi UU yang memandatkan adanya pungutan sebagai bagian dari paket hijau mereka yang ambisius. UE memiliki target yang mengikat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sedikitnya 55% selama dasawarsa ini dari level 1990 dan mencapai iklim netral pada pertengahan abad ini.

Siap Bersengketa di WTO

Menurut Figures, meski masih dalam tahapan transisi CBAM, sebelum ada pungutan pajak yang berlaku, namun ini tetap akan memaksa produsen di negara-negara eksportir untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap jejak karbon mereka.

Pertama, produk mereka bakal kurang kompetitif jika mereka tidak mengurangi emisi. Kedua, prospek membayar harga karbon di UE akan berlaku sebagai insentif untuk berinvestasi pada dekarbonisasi,” papar Figures. “Itu juga bisa berarti perubahan dalam pola perdagangan: produk-produk padat karbon akan makin sulit dijual di pasar UE sehingga mereka kemungkinan dialihkan ke negara ketiga yang tidak punya tarif karbon.”

Retribusi karbon perbatasan itu paling tidak bisa dikecualikan jika pajak karbon sudah dibayar di negara tempat barang itu diproduksi, yang menambah insentif ektra buat negara ketiga menerapkan kebijakan ramah lingkungan mereka sendiri. Rancangan ini juga bisa menghindari rencana tersebut dinilai sebagai tarif ilegal beradasarkan aturan WTO.

UE sendiri masih punya bunyak PR yang harus dikerjakan agar mekanisme ini beroperasi secara lancar, mulai dari memastikan pengawasan kepatuhan negara-negara anggotanya sampai memperkenalkan aturan-aturan teknis yang lebih detil. UE juga telah siap menghadapi tuntutan di WTO dan pertikaian dengan mitra dagangnya.

Menurut Els Brouwers, direktur Masalah Energi, Iklim dan Ekonomi di Essenscia — kelompok lobi untuk industri kimia Belgia — menggambarkan CBAM sebagai “beban adminsratif yang sangat besar buat importir UE.” Perusahaan punya “banyak pertanyaan” mengenai bagaimana ekspor mereka akan dilindungi, kata Brouwers.

Pakar lingkungan hidup dan ekonomi, termasuk peraih Nobel William Nordhaus, sudah lama menganjurkan adanya harga karbon karena hal itu akan menjadikan negara-negara bersatu dalam sebuah “klub karbon” untuk menghapus masalah “penumpang bebas” pada upaya-upaya bangsa lain. Jerman telah mengajukan gagasan mengenai sebuah persatuan bersama negara-negara G-7.

Hal ini juga dapat memberi momentum buat pasar karbon di negara lain, seperti pasar emisi China, dan menarik negara-negara lain untuk mengikuti, kata Antoine Vagneur-Jones, kepala perdagangan dan rantai pasok BloombergNEF.

“Dalam waktu dekat, hal ini tidak akan menyebabkan penetapan harga karbon mendekati apa yang dilakukan UE,” tulis Vagneur-Jones. Namun di negara-negara yang penetapan harga karbonnya menguntungkan secara politis, “hal ini pasti bisa menjadi pendorong,” ujarnya. AI