Pemerintah Norwegia Akui Masih Evaluasi

Presiden Jokowi dan PM Norwegia Erna Solberg bertemu di sela KTT G20 di Hamburg Messe, Jerman, Agustus 2017. Dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi menyatakan resolusi Parlemen Norwegia soal bahan bakar nabati dari minyak sawit tak sejalan dengan kerjasama REDD+ yang sudah terjalin

Kerajaan Norwegia memberi sinyal untuk mengimplementasikan kebijakan yang melarang penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit. Sawit dinilai sebagai pemicu deforestasi dan perusakan gambut yang berdampak pada meningkatkan emisi gas rumah kaca, penyebab perubahan iklim.

Namun, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan, sudah banyak kemajuan yang dicapai Indonesia untuk memastikan kebun kelapa sawit yang dikelola tidak menjadi penyebab deforestasi dan kerusakan gambut.

“Dari sisi pencegahan deforestasi dan kerusakan gambut, upaya untuk sawit yang sustainable sebenarnya sudah terlihat,” kata dia di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Contoh konkret, ujar Menteri Nurbaya, adalah adanya ratusan perusahaan perkebunan sawit yang telah merencanakan dan melakukan pemulihan gambut. Ini merupakan implementasi dari regulasi perlindungan dan pengelolaan gambut yang secara konsisten diterapkan Pemerintah. Regulasi tersebut diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 yang telah direvisi dengan PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“(Pemulihan) yang dilakukan konkret. Yang penting, yang wajib diperbaiki dilakukan perbaikan,” ujarnya.

Menteri Nurbaya juga menepis tudingan jika seluruh perkebunan kelapa sawit dipukul rata sebagai penyebab deforestasi. Menurut dia, soal ada atau tidaknya deforestasi di perkebunan sawit harus dilihat asal usul kondisi tutupan lahannya ketika perkebunan tersebut pertama kali dibuka. Yang juga harus dilihat adalah status lahannya, apakah kawasan hutan atau justru areal penggunaan lain (APL) ketika perkebunan itu dibuka.

“Soal sawit di hutan, harus di-trace banget. Apakah dulunya hutan atau bukan. Juga tata ruangnya harus di-tracing,” katanya.

Menurut Menteri Nurbaya, pihaknya sedang melakukan inventarisasi terkait hal itu dan dari data awal menunjukan hasil yang tidak terlalu buruk. “Saya sudah minta (Direktorat Jenderal) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan,” katanya.

Menteri Nurbaya sendiri mengaku masih mempelajari kebijakan apa yang akan diambil oleh Pemerintah Kerajaan Norwegia terkait produk minyak sawit. Namun dia menekankan, sebagai negara yang memiliki banyak kerjasama dengan Indonesia terkait lingkungan hidup, kehutanan dan perubahan iklim, seharusnya Pemerintah Norwegia memahami apa saja yang telah dilakukan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Seharusnya Norwegia mengerti apa yang kita lakukan. Karena Norwegia adalah negara yang paling dekat,” katanya.

Desakan Parlemen

Untuk diketahui, kebijakan pelarangan penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit di Norwegia merupakan bagian dari resolusi yang diajukan Parlemen negara itu. Lewat sebuah voting, 2 Juni 2017, Parlemen Norwegia mendesak pemerintah Norwegia menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit dalam pengadaan barang publik seperti dikutip Agro Indonesia dari www.regnskog.no

Salah satu yang dirujuk dari resolusi itu adalah laporan bertajuk “For Peat’s Sake”, yang ditulis oleh ahli kebijakan bahan bakar rendah karbon terkenal, Dr. Chris Malins — yang ditugaskan oleh Rainforest Foundation Norway. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa “Ada banyak bukti bahwa karena perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC) bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit berdampak buruk untuk perubahan iklim. Bahkan mungkin beberapa kali lebih buruk dari bahan bakar fosil.”

Soal Resolusi Parlemen Norwegia tersebut sejatinya pernah ‘disentil’ Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg di sela KTT G20 di Hamburg Messe, Jerman, Sabtu (8/7/2017).

Menurut Presiden Jokowi, resolusi ini tidak sejalan dengan semangat kerja sama REDD+ antara Indonesia dan Norwegia, serta menafikan upaya-upaya Indonesia terkait penanggulangan perubahan iklim, perlindungan lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.

“Saya percaya bahwa Pemerintah Norwegia akan mendukung hubungan perdagangan yang terbuka dan fair,” ungkap Presiden seperti dikutip Agro Indonesia dari laman resmi Sekretariat Kabinet.

Sementara itu, Penasihat kehutanan dan perubahan iklim Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta,  Christoffer Grønstad menjelaskan belum ada larangan terhadap masuknya  produk minyak sawit impor ke Norwegia saat ini.  Meski demikian, dia mengakui pada 2 Juni 2017 lalu  Parlemen Norwegia mengeluarkan mosi terkait bahan bakar nabati berbasis minyak sawit.

Berdasarkan mosi tersebut, Parlemen mendesak Pemerintah Norwegia untuk tidak menggunakan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit pada pengadaan barang publik. Desakan tersebut dikaitkan dengan dampak negatif terhadap perubahan iklim yang diakibatkan dari produksi minyak sawit yang berasal dari konversi lahan gambut dan hutan.

Merespons desakan tersebut, ujar  Christoffer, Kementerian Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia saat ini sedang dalam proses mengevaluasi dasar hukum kebijakan terkait isu tersebut. Sebagai bagian dari proses evaluasi, pemerintah sudah melakukan tender publik untuk mendapat pertimbangan dari pakar yudisial. “Saat ini laporan itu belum selesai,”  kata Christoffer dalam surel yang diterima Agro Indonesia, Sabtu (17/3/2018). Sugiharto

Ternyata, Janji Norwegia Sulit Ditagih

Indonesia dan Norwegia sejatinya memiliki kedekatan terkait aksi mencegah pelepasan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, termasuk dari pengelolaan perkebunan. Salah satu bukti yang paling fenomenal adalah Surat Niat (Letter of Intent/LoI) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kawasan hutan (REDD+) yang diteken 26 Mei 2010.

Namun, Pelaksana Tugas Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Justianto mengingatkan jika Norwegia mengimplementasikan kebijakan yang mendiskriminasi produk kelapa sawit, maka hal itu bisa saja mempengaruhi berbagai kerjasama yang sudah terjalin dengan Indonesia. Termasuk LoI untuk pengurangan emisi GRK dari kawasan hutan.

“Bisa saja (LoI) dievaluasi,” tegasnya di Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Sekadar mengingatkan, berdasarkan kesepakatan tersebut Indonesia akan mengurangi pelepasan emisi GRK dari pembukaan hutan alam primer dan gambut. Sebagai kompensasi, Norwegia akan memberikan kontribusi dana yang nilainya bisa mencapai 1 miliar dolar AS.

Namun Agus menyatakan, dievaluasi atau tidaknya sebuah kerjasama bergantung pada kebijakan resmi yang telah diambil oleh Negara mitra. Dia menuturkan, seringkali sebuah isu digoreng oleh kelompok tertentu di Negara mitra untuk tujuan politis. “Kalau sudah ada kebijakan resmi, pemerintah Indonesia juga pasti akan merespons,” katanya.

Agus menegaskan, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah nyata untuk mengurangi pelepasan emisi GRK dari perkebunan kelapa sawit. Menurut dia, kebijakan moratorium hutan primer dan moratorium pemanfaatan gambut adalah salah satunya. “Sudah ada corrective action yang dilakukan untuk perbaikan pengelolaan perkebunan,” katanya.

Dia melanjutkan, Presiden Joko Widodo punya posisi yang tegas soal produk sawit. Terbaru, Presiden mengirimkan surat protes kepada Presiden Uni Eropa yang menghambat masuknya bahan bakar nabati berbasis minyak sawit.

Soal jalannya LoI, Agus sampai saat ini belum ada sepeserpun pembayaran kompensasi yang dijanjikan oleh Norwegia, meski Indonesia telah banyak melakukan upaya nyata untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan.

Jika mengacu kepada LoI, maka Indonesia seharusnya mulai menerima kompensasi mulai tahun 2014. Itu berarti sudah 4 tahun berlalu. Menurut Agus, tak mudah menagih kompensasi kepada Pemerintah Norwegia karena Negara itu selalu meminta persyaratan teknis yang rumit dan butuh waktu untuk dipenuhi.

“Padahal upaya Indonesia Indonesia sudah jelas. Pencegahan kebakaran misalnya, kita sudah buktikan berhasil menekan kebakaran tahun 2016-2017 jauh di bawah yang terjadi di tahun 2015. Tapi ketika hal ini diajukan sebagai bukti penurunan emisi GRK dari hutan, pemerintah Norwegia meminta perhitungan pengurangan emisi GRK-nya secara detil dan rumit,” katanya.

Untuk menagih kompensasi yang dijanjikan Norwegia, Agus menyatakan saat ini pihaknya sudah menggandeng Bappenas sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Sugiharto

Baca juga:

Enggar: Ini Sudah Perang Dagang

Indonesia Ancam Balik Norwegia