Enggar: Ini Sudah Perang Dagang

Kelapa Sawit

Komoditas kelapa sawit dan produk turunannya saat ini menjadi sasaran empuk dalam perang dagang yang dilakukan negara-negara pasar. Kabar teranyar adalah kebijakan pemerintah Norwegia yang berencana melarang penggunaan biofuel dari minyak sawit mentah (CPO) dalam kegiatan pengadaan publik (public procurement) di negara tersebut.

Alasannya? Klise, memang. Komoditas kelapa sawit dianggap tidak ramah lingkungan dan memicu emisi gas rumah kaca (GRK).

Kebijakan yang diambil pemerintah Oslo itu tentu saja mengagetkan, mengingat selama ini Norwegia ikut berperan besar bagi upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Berita tentang kebijakan pemerintah Norwegia untuk melarang penggunaan biofuel berbasis CPO dilontarkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Rabu (14/3/2018), usai membuka Munas GAPKI X di Jakarta. “Saya mendapatkan kabar rencana pelarangan itu dari duta besar kita di sana. Saya akan segera panggil Duta Besar Norway (Norwegia) untuk mengecek kebenarannya,” kata Enggar.

Dijelaskan, jika pemerintah Norwegia benar melarang pengadaan publik untuk biofuel berbasis CPO, maka pemerintah pun siap untuk perang dagang. “Ini sudah tidak benar kalau begini, dan kita akan sampaikan kepada mereka ‘you start trade war’. Perang dagang dimulai kalau sudah seperti itu karena sangat tidak adil,” ucapnya.

Sebagai balasan dari aksi Noregia itu, Mendag mengancam Indonesia akan melakukan pelarangan terhadap impor ikan dari negara tersebut. “Kita juga bisa melakukan hal serupa dengan melarang impor ikan dan produk turunannya,” katanya.

Enggar mengatakan, kebijakan larangan terhadap komoditas biofuel berbasis CPO merupakan  bentuk persaingan tidak sehat pada industri minyak nabati domestik di Norwegia. Padahal,  standar lingkungan industri sawit Indonesia (ISPO) sudah mendekati standar global The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

“Standar lingkungan industri sawit kita (ISPO) sudah mendekati standar global RSPO. Mereka minta batasnya 80% saya bilang kita sudah 85%-90%. Saya tidak keberatan sawit diperlakukan apapun kalau itu diberlakukan dengan adil,” tegas Enggar.

Dari sisi transaksi perdagangan antarkedua negara, Indonesia selalu mengalami defisit. Di tahun 2014, total perdagangan antara kedua negara mencapai 278,241 juta dolar AS. Dari jumlah itu, impor Indonesia mencapai 65,285 juta dolar AS dan impornya 212,955 juta dolar. Dengan begitu, Indonesia mengalami defisit 147,699 juta dolar AS.

Di tahun 2015, nilai transaksi perdagangan antara kedua negara mencapai 291,903 juta dolar AS dan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar 150,598 juta dolar AS.

Defisit juga dialami Indonesia dalam perdagangan dengan Norwegia di tahun 2016, di mana Indonesia hanya mampu mengekspor senilai 76,449 juta dolar AS, sementara impor dari Norwegia mencapai 333,67 juta dolar AS. Dengan begitu, Indonesia mengalami defisit sekitar  257,258 juta dolar AS.

Sedangkan di tahun 2017, nilai transaksi perdagangan kedua negara mencapai 351,705 juta dolar AS dan Indonesia kembali berada di pihak yang mengalami defisit sebesar 223,607 juta dolar AS.

Dari sisi komoditas, mayoritas ekspor Indonesia ke Norwegia berupa komoditas CPO dan produk turunannya serta komoditas kerajinan dan mebel. Sedangkan Norwegia banyak mengekspor ikan salmon dan migas. Untuk salmon, sekitar 60% pasokan ikan tersebut ke Indonesia berasal dari Norwegia.

Makin banyak

Kebijakan yang akan diambil pemerintah Norwegia itu menambah panjang deretan negara-negara yang memusuhi komoditas CPO dan produk turunannya asal Indonesia.

Selain Norwegia, pemerintah India juga mulai bulan depan berencana menaikkan tarif bea masuk (BM) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari 30% menjadi 44%.

Soal kebijakan India ini, Mendag Enggartiasto Lukita mengaku pihaknya telah melobi menteri perdagangan India agar pemerintahnya meninjau kembali kebijakan tersebut. “Saya sudah memberitahukan kepada menteri perdagangan India kalau kebijakan yang mereka ambil itu nantinya akan merugikan masyarakat India sendiri,” ujarnya.

Namun, terkait sikap India ini, Enggar belum merasa perlu melakukan aksi balasan karena aksi yang diterapkan pemerintah India itu bukan termasuk aksi diskriminatif. “Kebijakan itu diambil karena pemerintah India ingin meningkatkan pendapatan di APBN-nya,” paparnya.

India sendiri merupakan salah satu pasar utama komoditas kelapa sawit dan produk turunannya asal Indonesia. Berdasarkan data BPS, India merupakan pasar terbesar ekspor CPO RI dengan nilai 4,9 miliar dolar AS atau sebanyak 7,32 juta ton di tahun lalu.

Selain Norwegia dan India, komoditas kelapa sawit dan produk turunannya telah mendapatkan perlakuan tidak adil dari negara Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Pada akhir Februari 2018, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (United States Department of Commerce/USDOC) telah menetapkan besaran bea masuk antidumping (BMAD) untuk produk biodiesel Indonesia dan Argentina dengan kisaran antara 92,52% hingga 276,65%. Kebijakan ini memang belum final karena masih ada proses penyelidikan yang dilakukan United States Internasional Trade Comission (USITC) dan akan diumumkan pada 6 April 2018.

Tindakan pengenaan bea masuk anti dumping itu dilakukan pihak AS karena produsen biodiesel Indonesia dituduh melakukan dumping dan mendapatkan subsidi dari pemerintah Indonesia.

Terkait hal ini, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, pemerintah Indonesia siap membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika pemerintah AS benar-benar menerapkan bea masuk antidumping terhadap biodiesel asal Indonesia. “Pemerintah Indonesia telah menyiapkan langkah dan siap menggugat AS ke World Trade Organization (WTO),” jelasnya.

Indonesia sebelumnya juga memenangkan gugatan atas aksi tak adil dari negara-negara Uni Eropa (UE) yang menerapkan kebijakan bea masuk antidumping terhadap komodits biodiesel asal Indonesia.

Namun, kekalahan di WTO itu tidak membuat jera UE untuk menyingkirkan komoditas biodiesel berbasis CPO dari kawasan negara-negara tersebut. Parlemen Uni Eropa telah   menerbitkan kebijakan kontroversial, di mana minyak sawit dikeluarkan dari biodiesel berkelanjutan tahun 2021. Diskriminasi terhadap CPO semakin kental dalam kebijakan itu karena minyak nabati lainnya baru dilarang pada 2030.

Dampak serius

Aksi-aksi diskriminatif dan perang dagang terhadap komoditas CPO dan produk turunannya, walaupun pada akhirnya bisa digagalkan, namun dampaknya sangat serius terhadap ekspor komoditas itu.

Sebagai contoh, sebelum BMAD diterapkan secara sepihak oleh Amerika Serikat, ekspor biodiesel Indonesia ke negeri Paman Sam itu menunjukkan tren kenaikan. Di tahun 2016, ekspor biodiesel Indonesia ke AS mencapai 268,2 juta dolar AS atau naik 74,35% dari tahun sebelumnya.

Namun, ketika tuduhan antidumping dilontarkan pengusaha AS dan pemerintah Washington menerapkan BMAD  secara sepihak pada tahun 2017, ekspor biodiesel Indonesia langsung terjun bebas. Ekspor Indonesia turun menjadi tinggal 71.000 dolar AS per kuartal ketiga tahun 2017 atau mengalami penurunan sebesar 99,97% dibandingkan tahun 2016. B. Wibowo

Satu Sikap Pemerintah dan Pengusaha: Lawan!

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kelapa sawit saat ini menjadi komoditas penting yang mempengaruhi perekonomian Indonesia. Jika kelapa sawit berhasil baik, maka ekonomi rakyat dan negara akan baik. Karena itu, apapun tantangannya, semua masalah terkait sawit harus  dihadapi.

“Kita semua harus mampu memberikan penjelasan, perlawan atau apapun itu dalam upaya menghadapi bukan hanya kampanye negatif, tetapi juga propaganda yang tidak fair,” kata Darmin, pekan lalu.

Untuk itu, paparnya, pemerintah bersama dunia usaha harus  bekerjasama untuk melakukan perlawanan dalam menghadapi kampanye negatif itu.

“Di dalam negeri, kita punya BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan) dan di luar negeri kita punya CPO Fund untuk membela kepentingan sawit Indonesia. Artinya, melalui keberadaan kedua lembaga itu serta dukungan pemangku kepentingan sawit lain, hal ini menunjukkan kelapa sawit merupakan komoditas yang perlu kita kembangkan dan bela bersama, apapun itu tantangannya,” ucapnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono menjelaskan, di tahun 2017, produksi CPO Indonesia mencapai 38 juta ton dari luas lahan kelapa sawit sekitar 11,9 juta hektare.

Dari jumlah itu, sekitar 31 juta ton diekspor ke 51 negara dan sisanya sekitar 7 juta ton digunakan untuk keperluan di dalam negeri. Kegiatan ekspor dan penggunaan di dalam negeri itu dilakukan baik dalam bentuk CPO maupun produk olahan.

“Ini menunjukkan kalau program hilirisasi di kelapa sawit telah berjalan lancar,” paparnya.

Adapun nilai ekspor kelapa sawit dan dan produk turunannya selama 2017 mencapai sekitar 18,5 miliar dolar AS, tertinggi di antara ekspor komoditas lainnya. B Wibowo

Baca juga:

Pemerintah Norwegia Akui Masih Evaluasi

Indonesia Ancam Balik Norwegia