Petambak garam di dalam negeri belum mampu memasok garam industri karena minimnya lahan yang dimiliki serta cuaca sehingga mempengaruhi hasil produksi garam lokal.
“Petambak garam kita itu punya lahannya cuma 1 sampai 2 hektar. Sehingga dia tidak mungkin memproses melalui pentahapan penyaringan, pengendapan. Jadi satu ladang garam ya dipakai pengendapan, ya dipakai pengkristalan,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, Selasa (20/03/2018).
Selain itu, ungkapnya, faktor cuaca seperti kelembaban udara juga mempengaruhi kualitas dan kandungan garam. Menurut Sigit, Humidity (kelembaban udara) di Indonesia cukup tinggi yakni sekitar 80 %. Sementara Australia cuma 30 % sehingga tingkat kekeringan kristal maupun kemurnian kristalnya lebih baik .
“Akibat kualitas yang tidak sesuai itu, pemerintah terpaksa melakukan importasi garam industri untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna garam di dalam negeri,” ujarnya.
Dia menjelaskan, Kemenperin baru saja menerbitkan rekomendasi izin impor garam industri kepada 27 perusahaan. Rekomendasi ini dikeluarkan menyusul diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang tata cara pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman sebagai bahan baku dan bahan penolong industri yang diteken oleh Presiden Joko Widodo Jumat pekana lalu.
“Rekomendasi dikeluarkan sudah 676.000 ton untuk 27 perusahaan,” ucap Sigit.
Sementara itu Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Industri (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan walaupun tidak memenuhi persyaratan, pihaknya tetap komitmen untuk membeli garam petambak rakyat.
“Kami tetap komitmen untuk membeli garam rakyat. Tahun ini saja kami berencana membeli garam rakyat sebanyak 1,2 juta ton,” jelasnya.
Garam rakyat tersebut, ungkapnya, akan dibeli melalui program ‘Gudang Garam Nasional’ yang diluncurkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Kita akan beli garam rakyat melalui Gudang Garam Nasional yang katanya akan memiliki mutu yang standar dan harga yang sesuai,: kata Tony.
Menurutnya, garam rakyat yang dibeli itu nantinya akan diolah lagi menjadi garam yang layak pakai untuk bahan baku industri, dari pengolahan itu, akan terjadi penyusutan sekitar 20 % dari bobot semula.
Tony mengakui kalau harga pembelian garam impor masih lebih murah dibandingkan dengan garam lokal. berdasarkan data AIPGI, harga garam impor saat ini mencapai sekitar Rp 600 per kilogram. Sedangkan garam lokal harganya bisa mencapai Rp 1.200 per kilogram atau bisa juga mencapai Rp3.000 per kilogram.
Sementara itu Ketua Gabungan Asosiasi Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman meminta dibuatkannya road map (peta jaalan) yang konkrit agar kasus kelangkaan garam industri tidak terjadi lagi dan perlu adanya data tunggal sebagai dasar kebijakan.
“Belajar dari kasus kelangkaan garam industri saat ini diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di Indonesia. Upaya bersama ini perlu didukung untuk Indonesia lebih baik,” ujar Adhi. Buyung N