Sebanyak 31 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 46 perusahaan perkebunan telah mendapat pengesahan dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sisi lain, kekhawatiran akan masa depan bisnis HTI dan perkebunan masih mengemuka.
Dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut perusahaan HTI dan perkebunan yang telah disetujui KLHK diserahkan oleh Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah, 11-12 Januari 2018 di Gedung Manggala Wanabakti.
“Saya menyampaikan apresiasi kepada perusahaan karena telah bersama-sama menyelesaikan dokumen pemulihan ekosistem gambut. Mudah-mudahan bisa diikuti oleh teman-teman yang lain,” kata Karliansayah pada acara itu.
Untuk diketahui, pasca terbitnya paket kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, ada 87 perusahaan HTI yang diperintahkan melakukan pemulihan ekosistem gambut. Prosesnya dimulai dengan melakukan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) masing-masing perusahaan. Revisi RKU terutama untuk penataan ulang tata ruang usaha mengacu pada Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.130/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut dengan mempertimbangkan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut di area konsesi.
Hingga Akhir Desember, ada 31 perusahaan HTI yang telah menuntaskan revisi RKU. Proses selanjutnya adalah penyusunan Rencana Pemulihan dan Penetapan Titik Penaatan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT). Luas konsesi 31 perusahaan tersebut mencapai 1,1 juta hektare (ha) yang terdiri dari 717.583 ha fungsi lindung dan 387.542 ha fungsi budidaya.
Selain itu, sudah ada 14 perusahaan lainnya yang telah mendapat penetapan titik penaatan melalui mekanisme Proper. Luas lahan gambut 14 perusahaan itu adalah 679.962 ha yang terdiri dari 388.159 ha fungsi lindung dan 291.803 ha fungsi budidaya.
Total jumlah titik TMAT yang telah ditetapkan mencapai 3.934 titik. Untuk pemulihan juga dibangun perangkat data logger sejumlah 397 unit dan stasiun curah hujan sebanyak 169 unit.
Sementara pada 31 perusahaan yang dokumen pemulihannya telah disetujui akan dibangun 3.943 sekat kanal dan dilakukan revegetasi dan suksesi alami seluas 518.418 ha pada peridoe 2017-2026.
Karliansyah mengungkapkan, masih ada 43 perusahan HTI yang belum mengajukan dokumen rencana pemulihan dan usulan titik penaatan TMAT karena sedang menjalani proses revisi RKU. Luas lahan gambut 43 perusahaan itu adalah 455.417 ha yang terdiri dari fungsi lindung 177.138 ha dan 278.279 ha fungsi budidaya.
Untuk perusahaan perkebunan, dari 229 perusahaan yang diperintahkan untuk menyusun dokumen rencana pemulihan telah ada 46 perusahaan yang telah mendapat pengesahan. Sebanyak 3 perusahaan lainnya sedang dalam proses pengesahan. Selain itu ada 31 perusahaan lain yang belum dilakukan pembahasan dokumen rencana pemulihan namun telah ditetapkan titik penaatan TMAT melalui mekanisme Proper.
Total titik penaatan yang telah ditetapkan di perusahaan perkebunan mencapai 3.115 titik, dengan data logger 279 unit, dan stasiun curah hujan 244 unit. Selain itu juga ditetapkan pembangunan 7.376 unit sekat kanal dimana 6.339 unit diantaranya telah eksis, pintu air 659 pintu air (636 unit telah eksis) dan 277 unit embung (226 unit telah eksis).
Karliansyah menturkan, dengan kebijakan perlindungan ekosistem gambut, telah terjadi perbaikan tata kelola air gambut di perusahaan perkebunan seluas 652.295,27 ha.
Tak Ada Kebakaran
Sementara itu Hendri Tanjung, Direktur PT Satria Perkasa Agung (SPA), perusahaan HTI yang berlokasi di Riau di bawah kelompok Sinar Mas menuturkan langkah pengelolaan air sejatinya sudah dilakukan perusahaan jauh sebelum ada mekanisme Proper maupun terbitnya ketentuan tentang pengelolaan gambut dari pemerintah. “Hanya saja dulu data sepihak dari perusahaan. Sekarang berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah,” katanya.
Dia menuturkan, perencanaan dilakukan dengan penetapan zona tata tata air mengikuti topografi. Kanal yang ada tidak ditujukan untuk mengeringkan gambut, melainkan untuk menjaga sirkulasi air dengan memanfaatkan pintu-pintu air. Hendri menyatakan, pihaknya mulai melakukan pemulihan gambut pada tahun ini dengan menutup kanal pada blok pengelolaan yang sudah dipanen.
Langkah-langkah pengelolaan air yang selama telah dilakukan menjaga konsesi SPA bebas dari kebakaran pada periode 2010-2017. “Memang ada hot spot, tapi ketika diverifikasi bukan fire spot. Bukan kebakaran,” katanya.
Taat dengan regulasi pengelolaan yang ditetapkan pemerintah, Hendri menyatakan masih ragu dengan masa depan perusahaan HTI yang dikelola. Menurut dia, situasi saat ini telah memberi dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitar.
Hendri menyatakan, banyak masyarakat yang kini tak bisa bekerja lagi karena kegiatan pembibitan dan penanaman tak lagi diperkenankan pada areal yang ditetapkan sebagai fungsi lindung. “Terus terang saya tidak tahu tahu apakah tahun 2025 saya masih ada. Mudah-mudahan saya berumur panjang. Pak Dirjen (Karliasnysah) juga berumur panjang. Namun yang jelas di lapangan dampak sosial dan ekonomi sudah mulai terasa,” katanya lirih.
Fungsi Ekonomi dan Lingkungan
Kekhawatiran akan masa depan perusahaan juga diungkapkan Kamarudin, perwakilan manajemen PT Riau Sakti United Plantations (RSUP), perusahaan perkebunan kelapa di bawah kelompok Sambu Grup.
Dia menyatakan pengembalian lahan perkebunan yang selama ini dibudidayakan menjadi fungsi lindung akan berdampak pada perekonomian dan masyarakat sekitar. “Saya tidak tahu bagaimana nantinya. Tapi saat ini lokasi sekitar perusahaan telah berkembang menjadi desa, bahkan Kecamatan,” katanya.
RSUP merupakan produsen produk kelapa terintegrasi yang memproduksi sejumlah produk seperti santan dalam kemasan dan air kelapa siap minum dalam kemasan. Mulai beroperasi sekitar 30 tahun lalu, RSUP termasuk pionir pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan. Saat ini luas kebun RSUP sekitar 22.000 hektare yang terdiri atas dua izin Hak Guna Usaha (HGU). Satu izin HGU seluas sekitar 8.000 ha baru saja mendapat perpanjangan selama 25 tahun pada tahun lalu. Sementara satu izin HGU lagi akan habis masa berlakunya pada 2023 mendatang.
Kamaruddin menuturkan langkah pengelolaan air sejatinya sudah dilakukan perusahaan sejak awal beroperasi. Infrastruktur pengelolaan air sudah disiapkan sejak awal, termasuk sekat kanal dan pintu air. Pengelolaan air ditujukan agar lahan ketersediaan air bagi tanaman tersedia namun tidak sampai menggenang. Pengelolaan air yang dilakukan menjaga tinggi muka air di kisaran 0,8 meter dari permukaan.
Dengan adanya perintah untuk pemulihan lahan gambut, maka perusahaan melengkapi dan menambah infrastruktur pengelolaan air, pembuatan titik penaatan TMAT, juga melakukan penimbunan kanal. Penambahan infrastruktur ini diharapkan menaikan tinggi muka air gambut sesuai ketentuan pemerintah yang ditetapkan 0,4 meter dari permukaan.
Kamaruddin menyatakan, langkah pengelolaan gambut yang dilakukan yang dilengkapi data empiris diharapkan mengugah pemerintah untuk kembali duduk bersama soal pemanfaatan gambut untuk budidaya. “Dengan data yang ada nantinya kami bisa sampaikan bahwa masih ada cara lain untuk menyelamatkan lahan gambut tanpa menggangu fungsi ekonomi dan sosial. Sebab kalau semua dikembalikan sebagai fungsi lindung, semua fungsi malah terganggu,” katanya.
Belum lagi soal risiko perambahan kawasan lindung yang tanpa pengelola. Menurut dia, lahan yang sudah jelas pengelolanya saja seringkali diserobot oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “kalau ada perusahaan pengelola kan lebih jelas siapa yang bertanggung jawab. Lagipula tidak ada pimpinan perusahaan yang mau dikenai sanksi atau denda,” katanya.
Menghadapi kekhawatiran tersebut, Karliansyah tegas menyatakan larangan budidaya di lahan gambut yang ditetapkan sebagai fungsi lindung adalah amanat peraturan perundang-undangan. “Kita ikuti saja amanat undang-undang,” katanya. Sugiharto