Produksi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) terus bertambah besar tidak hanya di negara maju namun juga di negara berkembang termasuk di Indonesia. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi, salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Dalam kenyataannya, pelanggaran akan peraturan tersebut masih banyak terjadi. Pelanggaran terjadi di setiap jenis aktivitas pengelolaan limbah B3. Pemerintah berwenang dalam memberikan sanksi administratif. Namun pengelola limbah B3 tidak secara langsung mendapatkan sanksi administratif. Prinsip yang dipegang oleh pemerintah yakni pengawasan dilakukan dengan mengutamakan aspek pembinaan. Minimnya pengetahuan masyarakat serta banyaknya pengelola limbah B3 yang tidak berizin, dan jenis instrumen kebijakan Command and Control masih memiliki kelemahan-kelemahan.
Nah, bagaimana pengelolaan limbah B3 yang tepat dan ramah lingkungan? berikut perbincangan Agro Indonesia dengan Eddy Soentjahjo, pakar pencemaran limbah industri dan limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kerusakan lingkungan salah satunya disebabkan oleh limbah industri dan limbah B3, menurut anda bagaimana mengatasi hal tersebut?
Ada dua istilah popular dalam kaitan turunnya kualitas lingkungan, yakni kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan diukur menggunakan Kriteria baku Kerusakan Lingkungan Hidup (KBKLH). Setidaknya ada 7 KBKLH.
Sedangkan pencemaran lingkungan hidup setidaknya ada 47 baku mutu industri. Apabila membahas tentang dampak kegiatan industri misalnya limbah pabrik, biasanya kita membahas kasus pencemaran. Meskipun bisa saja pencemaran tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan atau sebaliknya.
Untuk mengatasinya, pertama, pada tahap kemajuan teknologi dan informasi saat ini, potensi adanya pencemaran oleh industri atau pabrik-pabrik jenis tertentu sesungguhnya sudah bisa diprediksi sejak awal. Sehingga, upaya paling awal adalah menggunakan tool AMDAL atau UKL-UPL. AMDAL atau UKL-UPL seharusnya sudah bisa menjawab jenis-jenis limbah apa saja yang akan dikeluarkan oleh pabrik tertentu (padat, cair, gas) termasuk limbah B3 atau non B3, seberapa besar jumlah atau volumenya semestinya bisa diprediksi dan dikalkulasi.
Sehingga, jenis teknologi untuk pengelolaan limbah-limbah tersebut pun bisa dipilih, dimensi alat pemroses pun bisa dihitung. Karena itu, bila terjadi ketidaksesuaian antara teknologi dan dimensi berbagai instalasi pengolah yang terbangun dengan data atau informasi awal pada AMDAL/UKL-UP, misalnya dimensi alat proses pengolah limbah ternyata kekecilan, maka terjadi peristiwa pencemaran hanya soal menunggu waktu.
Meskipun teknologi yang dipilih beserta dimensi-dimensi alatnya sudah benar sesuai AMDAL/UKL UPL, pada awal uji coba bahkan sudah terbukti hasilnya bagus , seharusnya tetap diawasi dengan rutin, berkala dan benar, karena peralatan itu suatu saat bisa mengalami kerusakan. Banyak sekali contoh IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) yang semula kinerjanya baik, setelah sekian lama jadi memburuk, sehingga hasil olahannya buruk dan mencemari lingkungan.
Sejauh ini masih banyak industri tidak melakukan penangan limbah dengan tepat, bagaimana pengamatan anda?
Oh ya, banyak dijumpai pengusaha nakal yang melakukan by-pass pipa air limbah atau sengaja tidak mengaktifkan IPAL yang dimilikinya, sehingga mencemari lingkungan. Sejauh ini cukup banyak pabrik penghasil limbah sengaja tidak menangkap konsentrat limbah berupa sludge IPAL atau ash emisi, dan/atau mengelola lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan.
Mereka hanya fokus pada kualitas effluent atau emisi udara. Pada malam hari atau saat hujan padatan konsentrat limbah tersebut dibuang di sungai yang sama. Celakanya, masih banyak petugas pengawas lingkungan di daerah tidak memahami itu.
Bagaimana cara mengatasi pencemaran?
Ya harus memahami hal-hal tersebut diatas dan konsisten dalam menegakkan hukum.
Sebagai pakar di bidang kimia, apa yang sudah anda lakukan dalam mengurai limbah industri agar ramah lingkungan?
Perlu diingat, limbah industri bermacam-macam, tergantung antara lain jenis industri, jenis teknologi proses yang dipakai, jenis bahan baku dan penunjang dan sebagainya. Tentu segala sesuatunya dimulai dari Identifikasi Limbah yang akan diolah atau dikelola.
Pada prinsipnya berbagai jenis limbah baik yang Non-B3 maupun B3 bisa dikelola sesuai aturan. Namun, secara pribadi saya ingin mengatakan bahwa berbagai limbah yang sudah diolah serta memenuhi Baku Mutu (BM) pun sesungguhnya belum memberi jaminan aman bagi lingkungan hidup. Karena faktanya, sering dijumpai adanya akumulasi tepatnya bioakumulasi berbagai zat pencemar pada media lingkungan hidup. BM adalah salah satu upaya sadar untuk mengendalikan DAMPAK, yang di beberapa negara maju parameter BM tertentu sering ditinjau ulang dan semakin diperketat.
Saat ini kira-kira ada berapa persen pabrik yang nakal?
Setiap kali mendatangi pabrik yang dilaporkan masyarakat karena diduga mencemari saya mendapatkan angka secara rule of thumb berdasar pengalaman, probabilitas laporan itu 90% benar. Seandainya saya mendapat tugas dari negara untuk mendatangi pabrik-pabrik yang tidak dilaporkan masyarakat, maka saya (tetap secara prediktif), bisa mengatakan 90% kemungkinan pabrik-pabrik di Indonesia tidak mengelola limbah dengan baik dan benar.
Dampak apa yang ditimbulkan dan sangat merugikan masyarakat dari limbah industri yang tidak dikelola dengan baik dan ramah lingkungan?
Dampak jangka pendek bila limbah-limbah tersebut dijumpai dalam kondisi konsentrasi tinggi, akan berakibat fatal pada lingkungan hidup. Mulai dari berkurangnya populasi dan kematian sejumlah makhluk hidup, pusing, mual, pingsan akibat keracunan akut, sehingga menimbulkan kematian pada manusia.
Sementara akibat jangka panjang, juga sangat berbahaya, karena memunculkan berbagai penyakit degeneratif, akibat bioakumulasi kronis berbagai zat pencemar dalam tubuh makhluk hidup dalam jangka panjang karena bersifat, antara lain, carcinogenic, terratogenic, mutagenic.
Bagaimana orang awam bisa mengenali limbah B3?
Limbah B3 tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang ke lingkungan, karena mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3.
Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun kimia.sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko terjadi pencemaran. Orang awam yang bisa baca tulis, pasti bisa mengenali dengan mudah Limbah B3 tersebut, karena daftar limbah B3 sudah tercantum dalam PP 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 atau penggantinya PP 22 tahun 2021.
Shanty