Nilai Tukar Petani Hutan (NTPH)

Ilustrasi petani hutan
Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis buku Seputar Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi)

Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai lembaga pemerintah yang berwenang untuk merilis data dan angka secara nasional, mengukur tingkat kesejahteraan petani dengan parameter yang disebut dengan Nilai Tukar Petani (NTP). Apa itu NTP?  

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani karena mengukur kemampuan produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani. 

Indeks harga yang dibayar petani (IB) disusun berdasarkan data hasil survei bulanan statistik harga konsumen di pasar pedesaan yang dilaksanakan setiap bulan. Indeks harga yang diterima petani (IT) bersumber dari hasil survei harga di tingkat produsen (farm gate) yang dilaksanakan setiap bulan. 

IT dan IB tersebut dihitung dengan menggunakan formula Laspeyres yang dikembangkan. NTP merupakan rasio antara IT dengan IB yang dinyatakan dalam persentase.

NTP dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut  NTP = IT/IB X 100 %. Indikator NTP dinyatakan dalam tiga pengertian yaitu a) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya; b) NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya; c) NTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya. 

Cakupan komoditas yang biasa digunakan BPS dalam menghitung NTP adalah a) sub sektor tanaman pangan seperti: padi, palawija; b) sub sektor hortikultura seperti: sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias & tanaman obat-obatan; c) sub sektor tanaman perkebunan rakyat (TPR) seperti: kelapa, kopi robusta, cengkeh, tembakau, dan kapuk odolan. Jumlah komoditas ini juga bervariasi antara daerah; d) sub sektor peternakan seperti : ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (kambing, domba, babi, dll), unggas (ayam, itik, dll), hasil-hasil ternak (susu sapi, telur, dll); e). sub sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. 

Keberadaan Petani Hutan

Kelompok Tani Hutan (KTH) menampakkan sosoknya setelah Undang-undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan, memuat kegiatan perhutanan sosial dalam pasal 29 A dan 29 B. Dalam pasal 29 A ayat (2) disebutkan bahwa kegiatan perhutanan sosial dapat diberikan kepada kelompok tani hutan (KTH) selain perorangan dan koperasi. 

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.89/2018 tentang pedoman kelompok tani hutan, pengertian kelompok tani hutan dideskripsikan sebagai kumpulan petani warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan. 

Meski kelompok tani hutan yang mengelola usaha kehutanan di luar kawasan hutan jumlahnya sulit diindentifikasi, namun nampaknya KTH model seperti ini lebih maju dan cepat berkembang dibandingkan dengan KTH yang berada didalam dan disekitar hutan. Biasanya KTH di luar kawasan hutan, usahanya banyak bergerak di kegiatan pembibitan tanaman kehutanan, hutan rakyat (HR), budidaya lebah madu, agroforestry/agro-silvopasture/agrosilvofishery, kegiatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti budidaya penanaman rotan, budidaya empon empon  termasuk yang lagi ngetren budidaya porang, dan sebagainya. 

Sementara itu, KTH yang berusaha didalam dan disekitar kawasan hutan pada umumnya bergerak dalam kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan sejenisnya. Dalam perkembangannya, KTH yang berusaha didalam dan di sekitar hutan, kegiatannya diakomodasi dan dilegalkan melalui program reforma agraria yang di kehutanan disebut dengan kegiatan perhutanan sosial.

Berdasarkan statistik Pusat Penyuluhan KLHK yang terakhir, jumlah KTH di seluruh Indonesia sebanyak 30.536 KTH. Lebih dari 6.000 KTH diantaranya adalah KTH yang berada di dalam dan di sekitar  kawasan hutan, sedangkan selebihnya adalah KTH yang berusaha di bidang kehutanan yang di luar kawasan hutan.

Untuk memudahkan mengidentifikasi KTH ini, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengelompokkan KTH menjadi dua bagian yakni a) KTH yang berada dan berusaha di bidang kehutanan di luar kawasan hutan; b) KTH yang berada dan berusaha di bidang kehutanan di dalam kawasan hutan. 

Dengan adanya UU Cipta Kerja di bidang kehutanan, KTH yang berada di dalam kawasan hutan di akomodasi secara legal dan sah dalam kegiatan Perhutanan Sosial. Sementara KTH nya sering disebut dengan Kelompok Tani Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). 

NTP Kehutanan

Meskipun BPS belum memasukkan cakupan komoditas sub sektor/bidang kehutanan dalam menghitung NTP, seharusnya NTP untuk komoditas sub sektor/bidang kehutanan sudah dapat dihitung khususnya untuk petani hutan rakyat yang tergabung dalam KTH di luar kawasan hutan di Jawa. 

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan berkurangnya potensi hutan alam primer yang ada di Sumatera maupun Kalimantan awal tahun 2000, maka potensi hutan rakyat khususnya yang berada di Jawa merupakan kekuatan pengganti (substitusi) bagi kebutuhan kayu yang selama ini dipasok dari luar Jawa. Jenis seperti kayu sengon   yang nama ilmiahnya disebut Paraserianthes falcataria (dulu namanya Albizia falcataria) merupakan kayu dari hutan rakyat yang biasa diperdagangkan di Jawa. Bahkan karena nilai ekonomisnya cukup menjanjikan, banyak petani sawah marginal mengalih fungsikan sawahnya menjadi budidaya sengon seperti yang terjadi di kabupaten Wonosobo dan Temanggung Jawa Tengah.

Menurut data, potensi hutan rakyat di Indonesia mencapai 34,8 juta dengan komposisi dan luas di Jawa sebesar 2,7 juta ha dengan potensi 78,7 juta meter kubik, sedangkan di luar Jawa luasnya  sebesar 32,1 juta ha dengan potensi 912 juta meter kubik. Hutan rakyat memasok 46,9 persen dari kebutuhan kayu log nasional.  Jenis jenis kayu yang ditanam khususnya di Jawa adalah sengon, mahoni, jati, jabon,sonokeling dan sebagainya. 

Sebagai ilustrasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul melaporkan dalam setiap tahun kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat di wilayahnya berkisar antara 80.000-100.000 m3/tahun. Sementara itu menurut survey di Kabupaten Gunungkidul diperkirakan luas hutan hutan rakyat berkisar antara 30 ribu-40 ribu ha. Rata-rata realisasi penjualan kayu hasil hutan rakyat untuk seluruh ukuran (kelas) kayu Kabupaten Gunungkidul adalah sebesar 80.000 m3 dengan tujuan pemasaran luar daerah dan 45.000 m3 untuk pemasaran dalam daerah. Dari angka tersebut perkiraan pendapatan petani pengelolaan hutan rakyat di seluruh Kabupaten Gunungkidul berkisar antara Rp80-85 miliar. 

Besar keuntungan yang diterima oleh seluruh pedagang kayu yang ada di kabupaten Gunungkidul dengan total volume kayu sebesar 80.000 m3 mencapai Rp34 miliar. Sedangkan total pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja yang terlibat sebagai tenaga dan pesaran loging yang meliputi tukang tebang, buruh tebang, buruh muat dan lain sebagainya mencapai Rp13,8 miliar. Melihat data angka di atas tersebut, seharusnya BPS sudah dapat menghitung NTP petani hutan rakyat di Jawa.  Bagaimana dengan NTP KUPS? 

Meskipun penguasaan lahan perhutanan sosial hingga saat ini sudah cukup besar luasannya yakni 4,7 juta hektare dan diharapkan akan bertambah menjadi 12,7 juta hektare pada akhir tahun 2024 nanti, namun kenyataannya KTH yang berada di dalam kawasan hutan belum dapat berbicara banyak mengenai NTP KUPS. 

Data dan fakta KUPS yang telah melakukan kegiatan usaha, jumlahnya masih dibawah 10% dari total jumlah KUPS yang ada sekarang. Dari pengelompokkan KUPS yang telah melakukan kegiatan usaha, hanya KUPS platinum dan gold dengan jumlah 536 unit KUPS (7,33%) yang dapat dihitung NTP-nya, sementara KUPS yang belum melakukan kegiatan usaha (silver dan blue) sejumlah 6.868 unit KUPS. NTP KUPS belum dapat dihitung dengan benar karena dari jumlah total KUPS 7.305 unit KUPS baru 7.33 % yang bisa melakukan kegiatan usahanya. Jelas ini tidak dapat menggambarkan kegiatan usaha KUPS secara keseluruhan.

Kesimpulannya adalah NTP bidang kehutanan (NTPH) pada saat ini yang dapat dihitung dan diukur adalah KTH hutan rakyat khususnya di Jawa. Sedangkan NTP KUPS baru dapat dihitung dan diukur apabila KUPS yang masuk dalam katagori platinium maupun gold telah mencapai paling sedikit 60 % dari jumlah total KUPS yang ada. ***