Pencabutan 3,1 Juta Hektare Konsesi Kehutanan Berpotensi Maladministrasi

Webinar yang diadakan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) bersama Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH-2K), Kamis (7/4/2022).

Ombudsman Republik Indonesia menilai ada potensi pelanggaran administrasi dari terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 01 tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Namun hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Demikian terungkap saat webinar yang diadakan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) bersama Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH-2K), Kamis (7/4/2022).

Hadir pada webinar tersebut sejumlah narasumber seperti Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yeka Hendra Fatika, Direktur eksekutif BKH-2K Dr. Sadino, serta Ketua Umum RJR Suhariyanto.

SK MenLHK No 01/2022 mencabut sekitar 3,1 juta hektare konsesi kehutanan. Diantara konsesi yang dicabut ada yang berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK – kini Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) ada juga yang berupa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Izin Pelepasan Kawasan Hutan.

Komisioner ORI Yeka Hendra Fatika mengungkapkan ada dua dugaan atau potensi maladministrasi dari SK MenLHK 01/2022 itu.

Pertama adalah perizinan. Menurut Yeka, setiap izin memuat kewajiban pemegang izin dan evaluasi oleh pemberi izin dalam hal ini KLHK. Bila fungsi evaluasi tersebut berjalan, maka bisa terdeteksi bila ada pelanggaran yang dilakukan pemegang izin.

“Apabila hasil evaluasi telah ditemukan adanya pelanggaran namun tidak diambil tindakan atau pemberian sanksi, maka sesungguhnya tidak hanya pemegang izin yang melakukan pelanggaran, tetapi tindakan tersebut dapat mengarah pada tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara,” terang Yeka.

Potensi maladministrasi yang kedua adalah dalam konteks pertanahan. Pasalnya, setelah izin pelepasan kawasan hutan terbit, maka lahan tersebut sudah bukan lagi menjadi kewenangan KLHK melainkan Kementerian ATR/BPN. Apalagi jika kemudian telah terbit hak Guna Usaha di atas lahan itu.

Yeka menjelaskan, HGU adalah hak atas tanah sesuai UU Pokok Agraria. Maka, instansi yang berwenang mengatur adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Bila tanah tersebut ditelantarkan, HGU-nya bisa dicabut. Namun, kewenangan mencabutnya ada pada Kementerian ATR/BPN, bukan KLHK. “Jika pembatalan dilakukan oleh bukan yang berwenang, maka hal tersebut dapat mengarah pada terjadinya maladministrasi,” lanjut Yeka.

Karena itu, Yeka mempersilakan pihak-pihak yang terdampak oleh keluarnya SK tersebut kepada Ombudsman. Ombudsman memiliki 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia. “Kami wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat,” tuturnya.

Yeka mengatakan, masyarakat yang terdampak tidak mesti harus mereka pemilik usaha yang terkena secara langsung dari kebijakan tersebut. Tapi juga bisa dari elemen masyarakat lain yang terdampak dari maladministrasi yang terjadi.

Sebenarnya, ujar Yeka, Ombudsman punya wewenang untuk melakukan inisiatif pemeriksaan tanpa pengaduan. Informasi awal sudah cukup sebagai bahan pemeriksaan, namun, proses yang lebih rumit akan muncul saat inisiatif itu dibawa ke rapat pleno. Karena semua pimpinan harus sepakat dengan inisiatif tersebut. Lain halnya bila berangkat dari pengaduan masyarakat, di mana Ombudsman wajib menindaklanjuti.

Namun, Yeka menggaris bawahi bahwa pihaknya tidak mendorong masyarakat untuk melapor. Melainkan membuka ruang bila ada pihak yang melaporkan dugaan maladministrasi tersebut. Bila terbukti, instansi yang bersangkutan akan diberi waktu untuk melakukan tindakan korektif sesuai rekomendasi Ombudsman. Bila diabaikan, maka akan berlanjut pada tahap evaluasi monitoring.

“Kami berwenang mengumumkan ke publik kalau ada maladministrasi. Ombudsman memberi saran tindakan korektif kepada Presiden terhadap kementerian yang bersangkutan untuk melaksanakan,” jelas Yeka.

Menurut Yeka, selama dirinya menjadi komisioner Ombudsman, dia belum pernah melihat presiden mengabaikan saran dari Ombudsman. “Presiden mendengarkan masukan dari Ombudsman dan mengadopsinya meski tidak 100 persen,” katanya. ***AI