Penggunaan Pestisida Overdosis

Penggunaan pestisida sudah diambang batas berbahaya. Akibatnya, beberapa hama dan penyakit tanaman justru mengalami resistensi. Karena itu, penggunaan pestisida di petani harus terus dipantau.

Hal itu dikatakan Kepala Sub Bidang Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana dan Pertanian (PSP), Endah Susilawati. Menurut dia, penggunaan bahan kimia, terutama pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan menyebabkan kondisi tanah pertanian di Indonesia mulai rusak.

“Memang penggunaan pestisida sangat dibutuhkan karena mencegah meluasnya penyebaran OPT, menjaga produksi tanaman, menjaga kualitas produk di gudang. Tetapi sayangnya, petani kita masih menggunakan pestisida secara berlebihan,” katanya.

Penggunaan pestisida kimia yang overdosis membuat hama dan penyakit tanaman menjadi resisten. Hama juga menjadi lebih pesat perkembangbiakannya. Bahkan, dampak lebih lanjut penggunaan pestisida kimia yang berlebihan juga merusak tanah.

“Permasalahan lainnya adalah terjadinya resurgensi, timbulnya ledakan hama sekunder, terbunuhnya musuh alami, gangguan kesehatan, residu pestisida dan pencemaran lingkungan,” tuturnya.

Endah mengatakan, banyaknya petani menggunakan pestisida kimia karena caranya mudah dan praktis, reaksinya cepat, lebih murah, dan lebih efisien untuk skala luas. Apalagi, petani juga sangat mudah mendapatkan di kios-kios sarana produksi.

Pestisida merupakan bahan beracun dan bisa berdampak negatif jika berlebihan. Itu sebabnya perlu dikelola dengan penuh kehati-hatian. Untuk itu, pestisida yang digunakan petani harus terdaftar dan telah memiliki izin edar.

“Pendaftaraan pestisida bukan hanya sebatas pestisida sintetik saja, pestisida alami pun sebaiknya harus didaftarkan agar dapat dipertanggungjawabkan ketika terjadi suatu masalah,” kata Endah.

Bawang Merah

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Brebes, Yulia Hendrawati juga mengakui, petani bawang merah di Brebes juga merupakan pengguna pestisida yang sangat besar.

Brebes sebagai sentra produksi bawang merah nasional dengan luas tanam rata-rata mencapai 30.000 hektare (ha)/tahun, biaya pestisida merupakan komponen terbesar sekitar 20%-30% dari biaya usaha tani sebesar Rp100-150 juta/ha,

“Jika luas tanam bawang merah di Brebes mencapai 30.000 ha/tahun dan biaya usaha tani per hektare Rp100 juta saja dan biaya pestisida 30%, maka ada berapa miliar rupiah yang dikeluarkan petani untuk beli pestisida?” katanya dengan nada tanya.

Yulia menilai, tingginya penggunaan pestisida dalam budidaya bawang akibat petani tidak tepat dalam menerapkan pestisida. Selama ini, petani menjadikan pestisida sebagai tindakan preventif (pencegahan), bukan pengendalian.

Padahal, fungsi pestisida adalah untuk mengendalikan hama dan penyakit. “Jadi, sebelum tanam, petani sudah menggunakan pestisida, bahkan mnyemprotkan tanah dengan pestisida,” ujarnya.

Selain itu, ungkap Yulia, petani kerap mencampur/mengoplos pestisida. Padahal, oplosan juga berdampak kurang efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit, sehingga merugikan petani. “Petani sering mengeluh ke Pemda, banyak beli pestisida, tetapi OPT tetap hidup,” ujarnya.

Faktor lain yang menyebabkan biaya pestisida tinggi adalah frekwensi penyemprotan pestisida juga sangat tinggi sampai 3-5 hari sekali. Hal ini menyebabkan penggunaan pestisida menjadi  banyak, tapi tidak efektif dan justru merugikan budidaya bawang merah.

Akibatnya, kata Yulia, biaya BEP usaha tani bawang merah di Brebes menjadi sangat tinggi mencapai Rp12.000/kg. Sehingga jika saat panen, harga bawang merah hanya Rp10.000/kg, petani belum untung. Padahal di luar, BEP usaha tani tebu hanya Rp5.000/kg.

Untuk mengurangi penggunaan pestisida, Yulia mengatakan pihaknya sudah bekerja sama dengan baik secara parsial. Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes melalui Dinas Pertanian kini berupaya memberikan bimbingan kepada petani cara penggunaan pestisida yang tepat dan melakukan pengawasan secara rutin.

SL Kurangi Pestisida

Guna menekan penggunaan pestisida, pemerintah daerah juga mulai mengajarkan petani berbudidaya yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) melalui Sekolah Lapang (SL).

Belum lama ini, Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap menyelenggarakan SL-GAP cabai. Pesertanya dari tiga Kelompok Tani (Poktan), yakni Ngudi Lestari (Desa Ciporos, Kecamatan Karangpucung). Kelompok Tani Budi Sari Bumi (Desa Bantar Panjang, Kecamatan Cimanggu) dan Poktan Rukun Tani (Desa Gandrungmanis, Kecamatan Ganrungmangu), Kabupaten Cilacap.

Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap, Toendan Iriani mengatakan, dengan SL GAP ini diharapkan produksi cabai petani terus meningkat dan kualitasnya terjaga baik, tanpa menambah biaya produksi, sehingga keuntungan bisa dinikmati petani.

“Budidaya cabai dengan Good Agriculture Practices dapat mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia, petani nantinya beralih ke pupuk organik dan pestisida nabati,” katanya.

SL-GAP ini, lanjut Iriani, dimaksudkan juga untuk memudahkan petani dalam memahami  cara budidaya cabai yang baik, sehingga dapat menerapkannya di lapangan.

Prinsip SL GAP bersifat partisipatoris. Petani belajar dengan melakukan pengamatan dan analisa dari hasil pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian petani dapat menghasilkan produk yang berkualitas. “Kami harapkan setelah mengikuti sekolah lapang cara budidaya cabai yang baik ini, kualitas cabai petani lebih bagus dan petani tidak terlalu banyak menggunakan pestisida,” katanya.

Sementara itu, Sarno, Penyuluh Swadaya dari Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap menjelaskan, bertani cabai perlu waktu untuk mempelajarinya agar tanaman tumbuh dengan baik.

Karena itu setelah sekolah lapang ini petani diharapkan berbudidaya dengan mandiri. “Petani akan makin termotivasi berbudidaya cabe karena dapat mengetahui analisa usaha tani,” ujarnya.

Sarno berpesan, untuk petani cabai pemula perlu mencacat setiap kegiatan dalam bertani agar mengetahui tantangannya sebagai acuan kedepan. Begitu juga dalam penggunaan pupuk dan pestisida, Sarno mengingatkan diusahakan meminimalkan bahan kimia. PSP