Penyakit Ternak LSD Ditemukan di Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan?

Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi dan kerbau/foto: Kementan
drh Ida Lestari

Oleh: drh Ida Lestari. S (Bekerja di Direktorat Kesehatan Hewan – DITJEN PKH Kementerian Pertanian)

Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh capripox virus yang termasuk family poxviridae yang juga dikenal dengan nama Neethling Virus. Penyakit ini pertama kali ditemukan tahun 1929 di Zambia yaitu negara yang terkurung daratan di benua Afrika bagian Selatan. Sampai saat ini penyakit LSD ini hanya menyerang ternak sapi dan kerbau yang sering dihubungkan dengan wabah penyakit cacar pada ternak domba (Sheep pox) serta bukan merupakan penyakit zoonosis (dapat menular ke manusia). 

Afrika sebagai benua dengan sumber satwa liarnya juga telah menemukan kasus LSD ini pada hewan Jerapah dan Impala (sejenis Antelope). Selanjutnya penyakit ini diketahui sudah menyebar ke Benua Afrika, Eropa dan Asia. Bahkan tahun 2019 penyakit ini ternyata sudah ditemukan juga di Negara China, Bangladesh dan India. Penyakit yang termasuk eksotik (belum pernah ada) di Indonesia ini terus ekspansi keberadaannya di tahun 2020 di beberapa negara Asia seperti Bhutan; Hongkong, Nepal, Myanmar, Taiwan, Vietnam dan Sri Lanka. Yang sangat mengkhawatirkan, ketika tahun 2021 LSD ini juga dilaporkan di negara tetangga terdekat kita yaitu Thailand, Cambodia dan Malaysia. 

Pemerintah Indonesia sudah melakukan pencegahan dini terhadap penyakit LSD ini khususnya di daerah perbatasan dengan Negara tetangga kita. Namun pertahanan NKRI di wilayah perbatasan negara tetangga yang terjangkit penyakit LSD ini jebol juga akhirnya yaitu dengan adanya pemberitahuan melalui Informasi Sistem Kesehatan Hewan Nasional (i-SIKHNAS) bahwa telah terdeteksi adanya gejala penyakit mirip LSD pada ternak sapi khususnya di provinsi Riau.

Beberapa informasi mengatakan sebenarnya penyakit LSD ini dapat disembuhkan, dimana gejala klinis utama yang ditimbulkan adalah adanya lesi (kerusakan berupa keropeng) pada kulit yang kerap ditemukan didaerah leher, kepala, kaki, ekor dan ambing. Bahkan pada kasus berat lesi ini dapat ditemukan di seluruh tubuh hewan sehingga hewan mengalami demam atau kenaikan suhu sampai 40.50C.

Virus penyebab LSD dapat ditemukan pada darah hewan terkena dalam kurun waktu 3 minggu paska infeksi bahkan juga dapat ditemui pada semen hewan jantan 6 minggu paska infeksi. Pada kasus LSD di lapangan walaupun tingkat kematian (mortalitas) dibawah 10%, namun sering dilaporkan tingkat kesakitan (morbiditas) dapat mencapai 45%.

Tidak banyak yang tahu bagaimana penyakit LSD ini menyebar antar hewan namun diperkirakan penyebaran penyakit dapat terjadi karena kontak lansung hewan yang sakit, atau lewat makanan/minuman yang tercemar penyakit bahkan dipercaya bahwa kondisi penyebaran penyakit diperparah dengan hadirnya transmisi dari vektor pembawa penyakit seperti nyamuk (Culicoides), lalat (Stomoxys sp), dan caplak (Riphicephalus sp).

Di lapangan, diagnosa banding penyakit LSD dapat dikelirukan dengan beberapa penyakit kulit lain yang menyerang hewan ternak ruminansia seperti jamur pada kulit (dermatophilosis dan ringworm), parasit kulit (oncocercosis) maupun penyakit virus lainnya seperti Rinderpest dan Bovine Herpes Virus (BHV-2). 

Penyakit LSD ini kerap diobati dengan pengobatan symptomatik (sesuai gejala klinis yang ditimbulkan) seperti pemberian penyuntikan obat anti parasit di bawah kulit (sub-cutan) atau pengobatan supportif lainnya guna memperbaiki kerusakan kulit hewan yang terkena. Beberapa Negara telah melakukan pencegahan spesifik penyakit ini dengan melakukan vaksinasi, dimana sebagian besar vaksin LSD yang tersedia di dunia saat ini adalah dalam bentuk live attenuated (active vaccine) dan juga bentuk inaktif (inactive vaccine).

Dari kasus lapangan pada pertengahan Februari 2022, dilaporkan oleh Pemprov Riau adanya dugaan penyakit yang terdeteksi mirip LSD pada 2 kabupaten, dimana dari uji Laboratorium Veteriner yang telah terakreditasi KAN, sampel uji memberikan hasil positif LSD dengan metoda uji PCR. Konfirmasi hasil positif ini mau tidak mau memaksa kita menetapkan ring wilayah terkena dan pengawasan ketat lalu lintas ternak di wilayah terkena dan sekitarnya agar penyakit tidak meluas ke wilayah lain.

Kerugian ekonomi akibat LSD bukan saja dikarenakan kulit ternak menjadi sangat rusak karena lesi / lepuh, tetapi juga secara tidak langsung merembet ke penurunan produksi susu karena adanya peningkatan suhu tubuh yang tinggi dan adanya mastitis karena merusak kulit ambing. Selain itu diketahui agen penyebab penyakit LSD pada sapi (virus capripox) dapat merangsang munculnya sheeppox dan goat pox (cacar pada domba dan kambing)

Kerjasama / koordinasi Pemerintah Daerah (Otoritas Veteriner) dengan stake holder (khususnya penjual ternak) sangat diperlukan. Juga edukasi kepada stakeholder terkait untuk memusnahkan kulit / produk hewan yang terkontaminasi, sterilisasi peralatan dengan membersihkan tempat makan dan minum hewan secara teratur dan benar harus diterapkan.

Pengontrolan LSD menjadi sedikit sulit dan kurang praktis bila vektor pembawa/penular penyakit tidak kita perhatikan. Umumnya penyebaran penyakit ada sangkut pautnya dengan iklim yang hangat dan kelembaban tinggi setelah berakhirnya musim hujan. Kondisi tersebut mendukung berkembangbiaknya populasi vektor, makanya hal lain yang juga tidak boleh luput dari pengendalian kita adalah pengendalian vektor pembawa penyakit dengan melakukan penyemprotan obat serangga (nyamuk dan lalat) secara teratur guna mengurangi populasi vektor, khususnya di musim tersebut.

Mengingat penyakit LSD ini sudah masuk ke Indonesia, pemberantasan penyakit dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu culling (stamping out) pada hewan yang terinfeksi positif LSD atau dengan penerapan vaksinasi. 

Indonesia saat ini memilih untuk menerapkan vaksinasi LSD kepada hewan/ternak target yang belum sakit namun hidup berdekatan dengan ternak sapi yang positif LSD, dengan menggunakan live attenuated vaccines seperti meniru keberhasilan Eropa. Vaksinasi harus dilakukan terhadap seluruh populasi di wilayah berisiko untuk meminimalkan jumlah wabah (cakupan vaksinasi harus tinggi). 

Pemetaan jumlah ternak sapi/kerbau dalam satu populasi di lapangan dalam jumlah keseluruhan maupun jumlah ternak yang sedang sakit, dan yang masih sehat namun hidup berdampingan/ berdekatan dengan ternak yang sedang sakit LSD harus diketahui jumlahnya dengan pasti. Hal ini untuk mengantisipasi dalam penggunaan dana Pemerintah yang dikeluarkan untuk mendatangkan vaksin, menyimpan stok vaksin dalam kondisi cold chain, biaya operasional melaksanakan vaksinasi dilapangan, re-vaksinasi (vaksinasi ulang) serta penandaan pada ternak sapi yang telah divaksinasi. 

Mengetahui adanya peningkatan titer antibodi dari ternak sapi paska vaksinasi merupakan hal yang penting untuk mengetahui efektivitas vaksin yang kita gunakan. Pengujian titer antibodi dapat dilakukan dengan metoda sederhana seperti ELISA (Enzyme Link Immuno Sorbent Assay) atau SNT (Serum Netralisation Test). Hal ini selaras dengan pengerjaan isolasi virus LSD yang dapat kita peroleh dengan mudah dengan cara mengisolasinya dari lesio (keropeng) kulit ternak sapi yang positif LSD yang mudah ditumbuhkan pada sel biakan jaringan (Tissue Culture) seperti halnya sel primer FBT (Fetal Bovine Testis), sel lestari (Madin-Darby Bovine Kidney/MDBK, dan Baby Hamster Kidney/BHK). Malahan mengetahui adanya/hadirnya antibodi LSD pada ternak sapi sebelum divaksin sangat menguntungkan karena kita dapat mengetahui peningkatan antibodi setelah imunisasi dilakukan.

Mengingat penyakit LSD merupakan penyakit eksotik (Penyakit yang baru pertama kali dikenal di Indonesia), maka pengujian mutu vaksin harus juga kita ketahui khususnya uji keamanan dan beberapa uji pendukung mutu lainnya, seperti uji potensi dan uji kontaminasi virus. Untuk vaksin LSD ternak sapi yang telah di vaksin diharapkan tidak menimbulkan adanya kenaikan suhu tubuh (melebihi 40,50C) serta tidak adanya kemerahan atau abses/nanah pasca vaksinasi.

Kedepannya kita mengharapkan peningkatan peran otoritas veteriner dalam pengurangan area yang terkena wabah LSD khususnya Provinsi Riau. Oleh sebab itu kerja sama/kolaborasi antar instansi pemerintah dengan stakeholder khususnya penjual ternak sapi dan karantina hewan sangat diperlukan sekali komitmennya, agar penyebaran penyakit dapat dikurangi sedikit demi sedikit sebelum akhirnya kita semua berhasil dapat membebaskan penyakit LSD ini dari Provinsi Riau dan dari bumi Indonesia. ***