Ketika Masyarakat Bukan Lagi Penghuni Kawasan Hutan

Hutan dan Masyarakat

Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado)

“Tanah ini tanah leluhur yang diwariskan secara turun temurun, kami hidup di sini, bekerja juga di sini, kami tidak tau kalau tanah ini adalah tanah negara, sejak Tahun 1978-an tanah ini sudah dikuasai,” tutur Frans Rondonuwu yang memiliki sebidang tanah seluas 428 m2 di Desa Suhuyon dan digunakan untuk tempat tinggal (permukiman).

Hal lain diungkap Aneke S. Wawointana. “Tanah ini kami gunakan untuk bangun Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), sejak Tahun 1978 sudah dikuasai, kemudian dihibahkan untuk bangun gereja.” Hampir 67 anggota masyarakat berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gn. Surat yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 250/Kpts-II/UM/1984 tanggal 20 Desember 1984 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Dati I Sulawesi Utara seluas ±1.877,200 hektare (ha) sebagai kawasan hutan dan kemudian diperbarui dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 734/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Provinsi Sulawesi Utara tetap ditunjuk masih kawasan hutan.  Di sana masyarakat menguasai tanah untuk fasilitas sosial (Gereja), fasilitas umum (jalan permukiman), tempat tinggal (permukiman) dan lahan garapan (kebun dan sawah).

Penggalan beberapa wawancara penulis di atas menegaskan bahwa masyarakat di Desa Suhuyon hanya mengetahui bahwa tanah yang dikuasai saat ini adalah tanah warisan, bukan tanah negara. Akibatnya, tidak pernah terlintas dalam benak mereka untuk mengurus sertifikat hak milik.

Cerita masyarakat di Desa Suhuyon Kecamatan Touluaan Selatan Kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara hampir pasti ditemui di beberapa tempat di Indonesia, yang sampai saat ini belum terselesaikan. Cerita itu juga menegaskan bahwa persoalan kepastian hukum dan legitimasi kawasan hutan negara terkait dengan penyelesaian kepastian kepemilikan menjadi persoalan yang sangat pelik, terutama masyarakat yang secara turun temurun menggantungkan hidupnya pada hutan yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis (Sirait et al. 2004;  Contreras dan Fay 2006), mengandalkan cerita dan sejarah untuk melegitimasi kepemilikan dan penguasaan tanah (Affif 2005), dan pembuka lahan pertama adalah pemilik tanah (Sinabutar 2015).

“Masyarakat perlu diberi ruang dan tempat untuk mengelola, menguasai, bahkan memiliki tanah di dalam kawasan hutan”, itu penggalan kalimat yang biasa disuarakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ketika membagikan sertifikat di beberapa tempat. Indonesia harus membangun dari pinggiran, dengan menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan. Hal itu adalah salah satu operasionalisasi Nawacita Presiden Republik Indonesia Jokowi-JK dalam bidang kehutanan yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu komitmen mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta ha kawasan hutan negara menjadi wilayah kelola masyarakat melalui pola perhutanan sosial dan reforma agraria 9 juta ha, diantaranya reforma agraria dengan pelepasan kawasan hutan yang ditargetkan ±4,1 juta ha dan sisanya dari luar kawasan hutan.

Sejalan dengan Nawacita itu, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan untuk operasionalnya diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 3 Tahun 2018 tentang pedoman pelaksanaan tugas inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan (Inver PTKH) yang disambut baik penggiat reforma agraria pada umumnya, dan masyarakat yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan pada khususnya. Perpres itu diharapkan menjadi jawaban atas banyaknya penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Betapa tidak, Perpres itu memiliki substansi menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan.

Selama ini, kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan memang ada, namun perjalanannya cukup panjang. Misalnya, pengukuhan kawasan hutan melalui tata batas kawasan hutan antara lain diselesaikan melalui kegiatan identifikasi hak-hak pihak ketiga yang berada di dalam dan di sekitar trayek batas; review tata ruang melalui Tim Terpadu; penyelesaian secara parsial antara lain perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan; atau dapat dengan tukar menukar kawasan hutan. Biasanya proses itu bisa bertahun-tahun, bahkan tidak jarang berhenti pada tahap tertentu. Sementara dengan Perpres, penyelesaiannya satu tahun.

Perjalanan Perpres sejak diterbitkan 6 November 2017 hingga saat ini tidak mudah. Sama dengan kebijakan lainnya, kebijakan inipun jika tidak dipahami semua pihak dengan baik dan jelas, manfaatnya tidak dirasakan. Perpres mensyaratkan bahwa apabila ada pihak (misalnya masyarakat) “merasa” menguasai bahkan memiliki sebidang tanah di dalam kawasan hutan, pihak itu harus mendaftar ke kepala desa, untuk dikumpul secara kolektif dan diketahui oleh camat, kemudian diusulkan kepada bupati/walikota. Seterusnya, bupati/walikota melanjutkan permohonan ke Ketua Tim Inver PTKH untuk ditelaah, diverifikasi, dibahas sampai akhirnya gubernur menetapkan rekomendasi. Kemudian, gubernur menyampaikan rekomendasi itu ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mempertimbangkan apakah dikeluarkan dari kawasan hutan, atau diberikan perhutanan sosial. Bahkan, Perpres itu memungkinkan resettlement maupun tukar menukar kawasan hutan.  Nampaknya, dua hal yang disebutkan terakhir agak sulit, karena pembiayaan dibebankan kepada pemohon. Berdasarkan pertimbangan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memerintahkan pelaksanaan tata batas terhadap rekomendasi yang dipertimbangkan untuk dirubah batasnya. Hasil tata batas akan digunakan menteri untuk menerbitkan keputusan perubahan batas kawasan hutan. Liku-liku penyelesaian ini harus tuntas dalam satu tahun.

Sayangnya, banyak pihak yang tidak sadar bahwa bidang tanah yang dikuasai selama ini berada di dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, tidak jarang juga beberapa pihak tidak mendaftar tanahnya. Selain itu, ada juga yang berpikiran ‘’untuk apa didaftar, ini kan tanah saya, saya sudah lama menguasainya, bahkan turun temurun dari kakek nenek, jadi untuk apa diurus sertifikatnya?”. Disinilah pentingnya sosialisasi. Namun, sosialisasi yang dimaksud dalam Perpres hanya dilakukan di kabupaten/kota, harusnya dilakukan di tapak (lokasi tanah masyarakat). Seperti halnya masyarakat di Minahasa Tenggara (Mitra) Provinsi Sulawesi Utara, BPKH Wilayah VI Manado harus berkali-kali menginformasikan kepada masyarakat, bahkan sampai dilakukan pendampingan agar masyarakat mau mendaftar. Pada akhirnya, masyarakat mendaftar dan memberikan informasi seperti yang disebutkan dalam Perpres.

Masyarakat Mitra berkampung di tengah hutan, bahkan sering disebut penghuni hutan. Tahun 2014, mereka kecewa hasil Tim Terpadu (Timdu) yang menyelesaikan persoalan mereka dengan review tata ruang. Hasilnya saat itu, sebagian saja dari masyarakat di desa itu yang berhasil diselesaikan, sedangkan sebagian lagi masih tetap menjadi kawasan hutan, terutama permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.  Penunjukan kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Sulawesi Utara, termasuk Kabupaten Mitra sesuai keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 734/Menhut-II/2014 menegaskan bahwa sebagian masyarakat masih berstatus “penghuni hutan”. Oleh karena itu, terbitnya Perpres musti dimanfaatkan, dengan harapan mereka bukan lagi penghuni hutan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa klaim masyarakat sulit dibuktikan dengan hukum positif. Seperti halnya yang berlaku di wilayah lain, bukti hak penguasaan tanah dalam kawasan hutan didominasi bukti hak tidak tertulis antara lain sejarah penguasaan dan pemilikan secara turun temurun; siapa yang lebih dulu membuka lahan dialah pemiliknya; kesepakatan ganti rugi sebidang tanah tidak ada bukti; dokumen pengalihan hak juga tidak ada misalnya Surat Keterangan Tanah (SKT), surat girik, petuk dan lainnya. Padahal, bukti-bukti tidak tertulis tersebut justru lebih diakui lembaga lokal (local institution). Dengan begitu, masyarakat tidak berusaha mendapatkan bukti hak sesuai hukum positif.

Dalam Perpres, pihak yang menguasai bidang tanah dalam kawasan hutan dengan kriteria permukiman dapat diselesaikan tanpa bukti hak sesuai hukum positif. Demikian juga kriteria fasilitas umum dan fasilitas sosial. Bahkan lahan garapan, apabila dapat dibuktikan penguasaannya secara berturut-turut dengan itikad baik dan telah lebih dari 20 tahun dengan fakta-fakta lapangan misalnya ada kebun kelapa, pala dan cengkeh yang sudah ditanam lebih dari 20 tahun, dapat diselesaikan dengan Perpres tersebut. Namun demikian, alokasi lahan garapan harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan yang dituangkan dalam peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan tanah obyek reforma agraria. Selain itu, fungsi hutan antara lain hutan lindung berdasarkan kriteria yang ditetapkan tidak memenuhi kriteria hutan lindung. Berdasarkan hal tersebut, persyaratan yang ditetapkan dalam Perpres maupun Permenko tentunya lebih memadai dipenuhi masyarakat, apabila dibandingkan dengan mekanisme lain.

Masyarakat Mitra menangkap peluang tersebut, dan hampir 67 orang mengusulkan permohonan. Mereka berharap penyelesaiannya segera dilakukan supaya masyarakat tidak lagi menjadi penghuni hutan.

Perpres dengan tahapan yang rumit, sesungguhnya implementatif. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) harus segera merealisasikan niat masyarakat agar masyarakat memperoleh ruang kelola dan tempat tinggal yang selama ini berada di dalam kawasan hutan.