Ekowisata Berbasis Forest Bathing dan Agroforestry Sebagai Pengembangan Multi Usaha Kehutanan

Hutan ekowisata Cikole, Kabupaten Bandung

Oleh: Fikri Danang Himawan, Apis Melifera Cemara Dewi, Dimas Agil Restu Karunia (Mahasiswa UGM/ Pemenang Favorit 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer APHI tahun 2021). 

Hutan di Indonesia merupakan hutan hujan tropis sehingga memiliki keunggulan dari segi kondisi alamnya berupa iklim tropis yang mempengaruhi intensitas cahaya matahari, curah hujan, suhu, jenis tanahnya serta kesuburannya yang merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan berbagai jenis vegetasi. Tentu saja hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi bangsa ini karena banyak tanaman produksi yang dapat tumbuh dan dibudidayakan di Indonesia.

Potensi hutan Indonesia yang memiliki beragam biodiversitas dan keindahan lanskapnya dapat diambil sumber dayanya untuk kepentingan ekonomi dengan prinsip-prinsip kelestarian. Selain hasil hutan berupa kayu, masih banyak potensi lain yang bisa dioptimalkan seperti, pemanfaatan jasa lingkungan, diambil hasil hutan bukan kayunya, dan pemanfaatan menjadi ekowisata.

Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dapat memaksimalkan potensi hutan di Indonesia agar pendapatan yang diperoleh bisa meningkat. Pembangunan agroforestry sebaiknya lebih banyak dibangun daripada Hutan Tanaman Industri yang cenderung monokultur karena dari segi ekologi kurang baik. Pemegang PBPH dapat mengoptimalkan wilayah pemanfaatan hutan dengan mengembangkan ekowisata berbasis forest bathing dan agroforestry yang mempunyai peluang menjanjikan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial.

Pemegang PBPH yang mengimplementasikan ekowisata berbasis forest bathing dan agroforestry yaitu pemegang PBPH yang memiliki izin mengelola hutan dengan tipe hutan hujan tropis zona hutan hujan bawah atau tengah. Zona hutan hujan bawah berada pada ketinggian 0–1.000 mdpl, sedangkan zona hutan hujan tengah berada pada ketinggian 1.000–3.300 mdpl (Indriyanto, 2019). 

Pada zona tersebut pembuatan ekowisata berbasis forest bathing dan agroforestry mudah untuk dilakukan karena kondisi iklim yang sesuai dengan tempat tumbuh vegetasi dan pengunjung ekowisata tidak terlalu sulit untuk mengakses tempat ekowisata yang terlalu tinggi.

Ekowisata Berbasis Forest Bathing

Forest bathing didasarkan pada istilah Jepang shinrin-yoku yang diciptakan oleh Tomohide Akiyama pada tahun 1982. Shinrin berarti forest dan Yoku berarti bath. Jadi, shinrin yoku berarti menenangkan diri dengan suasana hutan melalui panca indera. Berada di alam serta terhubung dengannya melalui indera penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan penciuman. Forest bathing adalah latihan menghubungkan jiwa ke alam sebagai obat untuk memerangi penyakit yang mengancam kehidupan (Plevin, 2019). Manfaat forest bathing antara lain mengurangi tekanan darah, menurunkan stres dan depresi, meningkatkan kesehatan kardiovaskular dan metabolisme, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan memori dan konsentrasi, dan membantu menurunkan berat badan (Li, 2018).

Diharapkan, pemanfaatan hutan bukan hanya berasal dari HHK-nya saja. Pemegang PBPH dapat memperoleh keuntungan ekonomi yang tinggi dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Pengembang penambahan daya tarik wisata pada ekowisata berupa hutan tersebut perlu dilakukan. Namun, sebelum melakukan pengembangan harus dilakukan penilaian potensi pariwisata menggunakan metode Bureau of Land Management sebagai dasar dari mengembangkan ekowisata.

Kegiatan forest bathing dapat dijadikan daya tarik ekowisata karena masih kurangnya ekowisata yang menawarkan konsep ini. Selama ini, umumnya ekowisata hanya menikmati keindahan lanskapnya saja. Pengelolaan kawasan ekowisata ini perlu dilakukan secara sinergi antara pemegang PBPH, pemerintah daerah, dan masyarakat sekitar hutan. 

Perusahaan kehutanan berkolaborasi dengan pemerintah daerah mengembangkan spot ekowisata untuk forest bathing. Masyarakat setempat juga dapat diajak untuk ikut andil mengelola maupun sebagai karyawan di kawasan ekowisata itu. Hubungan sosial akan terjalin dengan baik antara masyarakat dengan pemegang PBPH.

Agroforestry Sebagai Penganekaragaman Produk HHBK

Agroforestry merupakan salah satu strategi multi usaha kehutanan berkelanjutan, baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi. Pemilihan jenis tanaman yang tepat akan memberikan profit yang maksimal dengan mempertimbangkan permintaan pasar dan sisi ekologinya. 

Agroforestry merupakan pilihan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan dalam konteks ekonomi dengan menjaga kelestarian alam. Agroforestry ini dikelola oleh pemegang PBPH dan bekerja sama dengan masyarakat desa hutan untuk menanam sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) sebagai tumbuhan berkayu, bambu ater [Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz] sebagai tumbuhan pengisi, kemang (Mangifera kemanga Blume) sebagai tumbuhan penghasil buah, dan porang (Amorphophallus spp.) sebagai pengisi lantai hutan.

Tentunya pengelolaan bersama masyarakat sekitar hutan perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan terlebih dahulu. Dengan kerja sama ini, diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru dan menyejahterakan masyarakat sekitar hutan.

Model agroforestry ini dapat diimplementasikan di dataran rendah dengan ketinggian ≤ 600 mdpl, beriklim tropis yang suhunya berkisar antara 25 °C dan rata-rata kelembaban 80% serta bercurah hujan 750-5000 mm/tahun. Jenis tanaman yang ditanam yaitu sonokeling, porang, bambu, dan kemang. Jarak tanam pohon sonokeling yang disarankan untuk agroforestry yaitu 3 x 3 m (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 2005). 

Tanaman kemang dapat ditanam dengan jarak tanaman rapat 2 x 3 m dengan sebutan Ultra High Density Plantation (UHDP) (Direktorat Buah dan Florikultura, 2021). Jarak tanam untuk bambu ater yaitu 8 x 8 m (Charomaini Z, 2014). Sedangkan, jarak tanam untuk porang yaitu 0,9 x 0,9 m (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2015). Dengan jarak tanam begitu, persaingan dalam mencari air dan unsur hara antar tumbuhan pada komunitas agroforestry tidak terlalu tinggi.

Pohon sonokeling memiliki tajuk berbentuk bulat dan berdaun jarang sehingga cocok untuk digunakan sebagai tumbuhan di lahan agroforestry. Kayunya memiliki serat dan tekstur yang indah dan dekoratif, termasuk dalam kelompok fancy wood (kayu mewah). Kayu sonokeling termasuk kelas awet I dan tahan akan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 2005). Pohon sonokeling nantinya ditanam dengan pola tanam jalur. Daur pemanenan pohon ini selama 20─30 tahun. Kayu sonokeling dengan ukuran 1 m3 memiliki harga jual Rp35 juta (Safitri, 2019). Namun, untuk memasarkan kayu sonokeling harus mengikuti kebijakan perdagangan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia.

Tanaman porang ditanam di bawah tegakan pohon sonokeling tepatnya berada di lantai hutan untuk memaksimalkan produktivitas lahan (Priyanto, 2016). Tanaman porang umumnya diusahakan sebagai tanaman sekunder dan mempunyai sifat khusus yaitu toleran terhadap naungan antara 40%-60%, sehingga ditanam dengan sistem tumpangsari di bawah tegakan hutan atau di bawah naungan di pinggir hutan rakyat dan belukar. Porang adalah salah satu jenis umbi-umbian yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sekarang banyak dicari oleh importir. Porang mempunyai kegunaan yang multifungsi dan dapat diolah menjadi beras konnyaku, pasta porang, mi shirataki, dan boba.

Novriyanti, (2005) dalam Arsad, E (2014) mengemukakan bahwa bambu sangat potensial sebagai bahan substitusi kayu karena rumpunan bambu dapat terus berproduksi selama pemanenannya terkendali dan terencana. Bambu berpotensi menjadi salah satu produk ekspor yang memiliki nilai jual tinggi, seperti data yang dikemukakan oleh Garland pada 2004 bahwa kondisi hutan bambu di China telah mencapai 3% dari total hutan dan telah berhasil memberi kontribusi sekitar 25% dari total ekspor sebesar US$ 2.8 miliar. 

Berdasarkan data BPS tahun 2014─2017, rata-rata produksi bambu (batang) di Indonesia berada pada nilai 11.308.735 batang/tahun yang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %. Bambu lebih banyak menyerap CO2 daripada tanaman lain. Studi menunjukkan bahwa satu hektar tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 12 ton karbon dioksida di udara. Dengan melestarikan hutan bambu, berarti telah dimiliki mesin penyedot karbon dioksida dalam kapasitas yang besar (Raka et al, 2018).

Kemang merupakan salah satu pohon lokal Indonesia yang cukup langka. Harapannya, dengan ditanam di agroforestry pohon kemang dapat dikonservasi dan dibudidayakan. Hasil hutan bukan kayu berupa buah kemang dapat diolah menjadi minuman segar yang dapat menambah nilai jual.

Untuk meragamkan hasil usaha, dapat dilakukan pengolahan produk HHBK dari agroforestry. Misalnya, mengolah tanaman porang menjadi boba dan membuat minuman sehat berbahan baku buah kemang. Boba dari porang nantinya bisa ditambahkan ke dalam minuman kemang. Produk tersebut merupakan suatu terobosan baru di Indonesia yang nantinya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi dari tanaman porang dan kemang itu sendiri.

Mekanisme pemasaran hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dapat dilakukan penuh oleh pemegang PBPH atau bekerja sama dengan masyarakat. Pemegang PBPH bisa bekerja sama dengan supermarket dan para pedagang di pasar untuk memasarkan hasil dari agroforestry. Selain itu, hasil hutan bisa dipasarkan melalui media sosial, e-commerce, dan diekspor ke luar negeri.

Agroforestry juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisata. Penerapan konsep agroforesttourism pada lahan tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti perkebunan apel di Malang, atau kebun teh di daerah Puncak. Pengunjung diberi kesempatan untuk memanen buah kemang dan porang dan melihat pohon-pohon agar tumbuh rasa mencintai pohon dan menyadari bagaimana pohon dapat bermanfaat bagi aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.

Pihak-Pihak yang Dipertimbangkan untuk Terlibat

  1. Pemegang PBPH

Dalam langkah mewujudkan gagasan tersebut diperlukan beberapa pihak untuk berkontribusi dalam pelaksanaannya, yang pertama adalah PBPH terkait yang perannya sebagai penyedia sumber daya manusia dan pengelola sumber daya. Dalam hal ini kemungkinan perlu dibutuhkan kerja sama antara 2 perusahaan atau lebih sesuai dengan bentuk pengelolaan serta tujuan dari rencana yang diajukan.

  1. KLHK

KLHK berperan sebagai badan pengawas dan pemberi izin terhadap rencana kegiatan dan pengelolaan sumber daya, agar seluruh kegiatan yang dilakukan tetap mengutamakan pengelolaan sumber daya secara lestari dan tetap berprinsip pada perundang-undangan yang berlaku. KLHK harus tegas dalam menegakkan aturan kepada pemegang PBPH. 

  1. Masyarakat sekitar hutan Masyarakat sekitar hutan bisa diberdayakan untuk membantu pemegang PBPH dalam melakukan pengelolaan hutan yang dikelola oleh PBPH.
  1. Akademisi

Peran dari pihak akademisi dari perguruan tinggi seperti kerja sama bersama dosen dan/atau mahasiswa yang dapat dilakukan dalam bentuk penelitian ataupun magang.

Kesimpulan

Ekowisata berbasis forest bathing dan agroforestry dapat menjadi jawaban untuk memaksimalkan manfaat lahan hutan yang dikelola oleh pemegang PBPH. Tentu, manfaat yang dirasakan yaitu manfaat yang berkelanjutan. Peran serta KLHK dan akademisi dalam membantu pemegang PBPH sangat penting untuk dilakukan. Dengan terealisasinya gagasan ini, diharapkan lahan hutan yang dikelola oleh pemegang PBPH dapat memperoleh manfaat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial yang maksimal dan produktivitas lahan hutan dapat meningkat.

Saran

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manajemen perusahaan kehutanan yang melakukan konsep multi usaha kehutanan karena manajemennya sangat kompleks. Selain itu, dibutuhkan strategi yang bagus dan tepat untuk mendorong masyarakat agar berwisata di hutan. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama dan hubungan yang harmonis antara pemegang PBPH, pemerintah, dan masyarakat sekitar hutan. ***