Wisata Edukasi Burung Unta di Mahasvin Farm

Langgoso Aswin Putra, Pendiri Mahasvin Farm

Langgoso Aswin Putra, Pendiri Mahasvin Farm

Dengar nama Burung Unta orang akan membayangkan burung yang besar di benua Afrika. Itu memang benar karena Burung Unta (Struthio camelus) atau biasa disebut dengan Ostrich habitat aslinya adalah di gurun pasir Afrika dan sebagian di Timur Tengah yang mempunyai sabana dan gurun. Burung terbesar yang masih tersisa di dunia ini suka berlari-lari. burung alam, hidup di alam, dibentang luas sabana. 

Di luar habitat aslinya, Ostrich bisa dilihat dan dikembangkan di kebun binatang atau taman safari, bukan di dekat rumah umumnya unggas. Karena butuh tempat yang luas dan modal yang besar untuk memelihara Burung Unta.

Tetapi tidak demikian dengan Langgoso Aswin Putra, pria yang mengaku hanya lulusan STM dan tidak punya modal ini justru memilih Burung Unta untuk ditangkarkan dan menjadi bisnisnya. Ini tidak main-main, selama bertahun-tahun menggeluti burung mahal dengan harga puluhan juta, mengantar Aswin menjadi penangkar burung yang sukses dan punya nama. Dengan bendera Mahasvin Farm, yang bertempat di Candi Gebang, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY, Aswin mengembangkan sayapnya dan mulai mengarah ke wisata edukasi dengan prospek pasar yang lebih luas lagi.

Bagaimana Aswin merintis semua ini dan trik-triknya yang membuatnya sukses, Agro Indonesia berkesempatan mewancarainya, disela-sela aktivitasnya.

Kenapa milih Burung Unta? 

Karena Burung Unta sangat prospek. Awalnya saya memulai dari ayam hias jenis Polandia. Itupun tanpa modal, karena waktu itu saya tidak punya modal. Saya perantau, awal datang ke Yogya saya tidak punya teman, saudara, link dan hanya lulusan STM, mencari kerja sulit. Karena kepepet, saya usaha nyari apa yang bisa untuk bertahan hidup di Yogya.  Ketemulah ayam hias jenis Polandia. Saat itu ayamnya harga Rp250 ribu. Saya mulai jadi broker karena modal tidak ada. Saya pasarkan melalui foto (reseller). Setiap dapat untung saya kumpulkan, sampai satu momentum saya melihat pasar bisnis yang jauh lebih luas. 

Di tahun 2014 Pak Jokowi naik (jadi Presiden), saya suka nonton pidato kenegaraan di situ ada program-program pemerintah yang mengarah ke pariwisata. Saya mulai memberanikan diri untuk lebih meluaskan pasar.  Karena saya melihat selama ini wisata hewan itu hanya taman safari dan kebun binatang. Itu peluang untuk UKM atau usaha-usaha non wisata yang bisa bikin minizoo, resto, hotel dan lain sebagainya. 

Tahun 2015 sudah ada modal, berani untuk beli Merak dan menangkarkannya. Saya sampai dikatakan penangkar atau pemain Merak terbesar di Indonesia.  

Saat mengembangkan Merak, di tahun 2017, saya mulai melirik Burung Unta, masih broker, melayani sesuai pesanan.  Karena permintaan semakin banyak, di tahun 2019 saya memutuskan konsentrasi ke Burung Unta karena saya melihat potensi bisnisnya jauh lebih luas lagi. Penangkarnya belum banyak. Hasil dari Burung Unta, daging bisa dijual, daging premium, kulit premium. Saat ini kebutuhan pasar kita masih di segmen hias. Untuk anakan saja, kita masih keteteran menyediakan atau mensuplai di segmen hias. Dan masih menanti segmen berikutnya yaitu pedaging dan kulit. Pasarnya masih terbentang luas.

Kalau daging, kulit sudah ada yang pesan ke mas Aswin? 

Belum Itu masih 10-20 tahun lagi. Harus menciptakan pasar dulu. Artinya apa, pasar masih terbuka. Ini sangat prospek, karena kalau sudah ada yang menyediakan, berarti sudah tidak begitu prospek, dan kita menjadi pengikut. Bukan pioner yang membuka. Sebagai info, daging Burung Unta kalau di Qatar saja masih jadi makanan Sultan. Aku melihat prospek Burung Unta 20-30 tahun kedepan masih sangat potensial. 

Prediksi saya sampai 5 tahun kedepan segmen pasarnya masih hias, jual anakan hias untuk taman safari, kebun binatang atau obyek-obyek wisata yang lain

Awal usaha ada masalah? 

Kalau masalah atau trouble saya pastikan terjadi karena tidak ada literasi tidak ada artikel pada saat itu. Waktu saya mengembangkan Merak, sama sekali tidak ada literasi bahkan orang bilang mustahil mengembangkan Merak. Begitu juga dengan Burung Unta. Akhirnya kita otodidak. Tapi sebenarnya mengembangkan Burung Unta tidak ada perbedaan jauh dengan Merak. Karena kita sudah punya jam terbang yang banyak di ayam-ayam hias yang sebelumnya, kita tinggal copy paste dan sedikit mempelajari Ostrich, tidak terlalu berat. Kecuali untuk orang yang bener-bener awam dan baru nyemplung, saya pastikan banyak kematian. 

Kalau yang awam baru nyemplung, kemungkinan mati banyak, lalu bagaimana dengan yang mau beli? 

Itu sudah masuk dalam SOP kita, jadi setiap pembeli adalah mitra, kita memposisikan diri ketika ada yang beli adalah mitra. Jadi kita punya kewajiban mendampingi bagaimana mitra kita sukses. Karena kalau mereka bisa sukses, imbasnya ke kita lagi. Misal dia tidak jual, hanya mau pelihara atau menangkar. Bisa pelihara kapasitas 10 ekor, kalau menetas 100 ekor mau dipelihara semua tidak mungkin. Nah kita bantu jual. 

Berapa dana yang dibutuhkan untuk usaha awal? 

Kurang lebih Rp30 juta, bisa untuk burung, kandangnya dan lain sebagainya. Kalau lahan sudah ada tinggal pagari saja, tidak perlu dana besar. Setidak-tidaknya Rp20 juta-Rp30 juta sudah termasuk pakan.

Saya tidak pernah merekomendasikan orang yang awam, yang hidup di kota, untuk ternak Burung Unta di kota. Karena ternak di kota akan makan banyak biaya. Kalau di kota, ada beberapa hal yang harus diperhatikan; 1. Kebersihanya harus benar-benar jelas, di kota kan padat, Burung Unta baunya lebih ke mamalia, anatomi tubuhnya lebih ke mamalia daripada unggas, dari kotorannya, juga kencing, unggas tidak ada yang kencing tapi Burung Unta kencing, karena ada kencing itulah bikin bau, mirip-mirip bau kotoran sapi. 2. Kota terbatas lahan, Burung Unta perlu lahan luas untuk bergerak. 3. Pakan juga terbatas. Sedangkan kalau di desa seperti ini, kita masih bisa ngarit, debog pisang dicacah buat makan, bekatul buat menambah serat, banyak tumbuh tumbuhan. Di kota akhirnya untuk makan harus beli. 

Dari awal pelihara Burung Unta sudah berapa banyak? 

Beli bibit umur seminggu 10 ekor, kita besarkan dulu supaya harga lebih bagus. Niatnya membesarkan lalu jual, tapi ternyata malah produksi, berubah dari niat jual saja jadi ternak. Akhirnya diternakkan 3 ekor, 1 jantan, 2 betina.  Kalau ditanya sudah produksi berapa, sudah banyak, puluhan tapi memang tidak hitung detail, karena ada yang mati, ada yang jual, keluar masuk.

Yang dijual, telur, anakan, indukan

Kita kalau sudah niat jual itu umur seminggu sampai 3 bulan, itu batas maksimal harus dijual. Kenapa, karena semakin besar Burung Unta, semakin sedikit punya opsi untuk pengiriman. 3 bulan itu besarnya sekitar 150 cm. 5 bulan bisa lebih tinggi lagi. Kemarin ada permintaan ke Bangka, ke Sulawesi umur 3 bulanan, pakai pesawat masih aman. Tapi kalau sudah 5 bulan, sudah tidak mungkin pakai pesawat, karena sudah terlalu besar dan ongkosnya mahal. Hanya bisa Jawa dan sekitarnya via jalur darat.

Kalau telur untuk tetaskan, tidak dijual. Kalau telur mau jual berapa rumit, juga ada kendala di pengiriman. Waktu diperjalanan, terguncang-guncang telur bisa rusak, atau pecah, malah nanti jadi konflik. Telur tidak bisa menetas karena terguncang-guncang, akhirnya mati.  Disini bisa ditetaskan, disana tidak bisa ditetaskan. Berbahaya main disitu. Jadi telur tidak kita jual. Kalau tidak menetas biar disini saja. Anakan saja yang kita jual. 

Perbulan, pertahun keluar berapa ekor

Kalau hewan seperti ini tidak bisa prediksi karena ada moment dimana saya pernah merasakan 8 bulan tidak jualan. Ada moment dimana saya bisa jual 5 x dengan jumlah yang bervariasi ada yang beli sepasang, ada yang sepuluh pasang. Jadi kita tidak tahu. Tapi saya ada management dimana 1 kali transaksi itu untuk menutup biaya hidup setahun, sisanya baru untuk muter. 

Kalau pas covid?

Kalau kita bicara pasarnya waktu covid peningkatannya bisa sampai 200%. Cuma sayangnya saya tidak ikut merasakan 200% nya itu, saya hanya merasakan mungkin 10% nya. Karena saya tidak ikut banting harga. Sampai saat ini mungkin saya jual dengan harga paling mahal di Indonesia. Itu yang menyebabkan saya tidak ikut panen. Tapi Alhamdulillah selalu habis stoknya. Harga saya mungkin paling mahal tapi saya sudah bangun nama, bangun mati-matian lebih ke kepercayaan.  Jika sudah ada nama, ada kepercayaan, brandednya sudah bagus, orang akan yakin dan bangga beli disini. Meski harga lebih mahal ada garansi dan kepastian. 

Inikan burung ekslusif, boleh dibilang di Indonesia tidak ada, keluar pakai pesawat ada perijinan? 

Lebih ke surat jalan, bukan perijinan. Jadi memang ada mekanisme regulasi, setiap hewan atau tumbuhan yang otw ada mekanismenya. Kita harus bikin surat kesehatan, surat jalan dari BKSDA, surat keterangan bukan hewan dilindungi, surat karantina dan sebagainya, itu sudah wajib. Jadi pasti itu kita bikin. Dipastikan surat legal dan resmi, sesuai aturan. Ini bukan perijinan hewan dilindungi atau tidak dilindungi, tapi ini peraturan bisa otw, kita sudah siapkan semua. 

Visi misi dan harapan kedepan?

Pertama saya ingin memperkenalkan ke masyarakat ada hewan-hewan eksklusif seperti ini. Ini hewan yang seharusnya bisa lestari, bisa berkembang, bisa kita tangkarkan, dan juga bisa sebagai usaha.  Hewan ini memiliki nilai jual yang luar biasa. Kalau kita tidak bisniskan, orang tidak tahu, tidak peduli dan pemburulah yang akan peduli. Akhirnya bisa punah dan anak cucu kita tidak tahu hewan-hewan seperti ini. 

Kedua dengan menangkarkan hewan-hewan seperti ini kita dapat menciptakan ekonomi kreatif, jadi masyarakat itu bisa ikut merasakan efek dengan banyaknya pengunjung yang ingin melihat yang ingin tahu, masyarakat bisa jualan makanan, minuman dan sebagainya pada pengunjung. 

Jadi kedepannya memang secara pribadi akan menjadikan Mahasvin Farm sebagai wisata edukasi untuk mengedukasi masyarakat, bahwa pentingnya masyarakat untuk menangkarkan hewan-hewan yang sudah terancam punah, secara luasnya ke masayarkat, masyarakat bisa merasakan efek positifnya.***Anna Zulfiyah