Menangkal Isu Miring tentang Deforestasi

Pembalakan liar yang menyebabkan deforestasi di kawasan Hutan Neger Roho, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, 27 Januari 2020.
Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang dan tanah longsor, belakangan ini terus mendera berbagai wilayah Indonesia. Secara silih berganti wilayah yang terkena dampak bencana diantaranya dapat disebut Kab. Sintang Kalbar, Kota Palangkaraya, Kab. Waringin Timur, Kab. Pulang Pisau Kalteng, Kab. Hulu Sungai Tengah Kalsel dan baru saja  Kab. Lombak Tengah NTB. Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, intesitas curah hujan yang tinggi masih akan terus terjadi. Ini berarti bahwa kita bangsa Indonesia masih akan menyaksikan dan mendengar bencana hidrometeorologi yang skalanya  lebih luas dan masif. Oleh karena itu, BMKG menghimbau kepada masyarakat yang daerahnya rentan terhadap bencana agar selalu waspada dan selalu menjaga lingkungan agar tidak semakin rusak. 

Sudah menjadi rahasia umum, apabila terjadi bencana hidrometeorologi khususnya banjir dan banjir bandang yang dituding pertama adalah kerusakan daerah hulu akibat terjadinya penggundulan hutan (deforestasi) yang masif dan luas. Siapa yang dianggap bertanggung jawab tak lain dan tak bukan adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berserta jajarannya di pusat maupun didaerah. Kenapa?

Sejak kewenangan kehutanan banyak ditarik ke pusat berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah no. 23 tahun 2014 dan sebagain kecil di pemerintahan provinsi, maka pemerintahan kabupaten yang mempunyai wilayah administratif yang langsung berbatasan dengan kawasan hutan sudah tidak mempunyai kewenangan sama sekali tentang pengelolaan hutan di daerahnya. Sehingga apabila terjadi kerusakan hutan di daerahnya maka tanggung jawabnya akan dilemparkan ke pemerintahan provinsi atau ke pemerintahan pusat. Penjagaan dan pengamanan kawasan hutan yang berfungsi lindung (hutan konservasi dan hutan lindung) menjadi longgar, tak terkecuali dalam kawasan lindung yang berada di daerah hulu. Deforestasi di daerah hulu, umumnya terjadi karena illegal logging, illegal mining, perambahan hutan untuk kebun dan sejenisnya. Sementara alih fungsi lahan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung terus terjadi tak terkendali melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan. 

Pemerintah dalam hal ini KLHK, apabila terjadi bencana banjir dan banjir bandang di suatu daerah tertentu belum banyak menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat tentang tudingan deforestasi yang menyebabkan kedua bencana ini. Kalau pun memberikan penjelasan biasanya yang disalahkan adalah karena faktor alam seperti curah hujan yang tinggi, bentuk bentang alam yang cekung, kondisi sungai dengan tebing yang curam dan berkelok kelok (meander), siklus 5 tahunan  dan seterusnya, tanpa masyarakat dapat memahami makna penjelasan tersebut karena faktor alam yang sifat tidak dapat diubah. Lihat saja, bagaimana seorang Dedy Mulyadi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI marah saat mendengar penjelasan seorang pejabat eselon I KLHK tentang banjir yang terjadi belum lama ini di Kabupaten Sintang Kalbar dalam suatu rapat kerja Selasa, (30/11/2021). Penjelasan Dirjen Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan KLHK ini, terlalu akademis dan berbelit-belit dan sulit dipahami oleh sebagian besar anggota Komisi IV DPR RI, apalagi masyarakat awam yang mendengarnya akan lebih  bingung untuk memahaminya.

Dualisme Prestasi

Di satu sisi, pemerintah mengklaim bahwa dalam 20 tahun terakhir angka laju deforestasi dapat ditekan menjadi lebih kecil dan melandai. Puncak deforestasi Indonesia terjadi pada 1996-2000 seluas 3,5 juta hektare. Sementara deforestasi 2018-2019 seluas 462,4 ribu hektare, 2019-2020 seluas 450.000 hektare dan 2020-2021, seperti klaim pemerintah pada Maret 2021, turun menjadi 115.500 hektare. Prestasi pemerintah Indonesia yang mampu menekan angka deforestasi ini yang oleh Presiden Joko Widodo dibanggakan di dunia internasional dalam pidatonya di pertemuan puncak krisis iklim COP 26, Glasgow, Skotlandia belum lama ini. 

Di sisi lain, pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah deforestasi laten yang masih menjadi ganjalan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Luas deforestasi laten angkanya masih terlalu tinggi. Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.  Dengan demikian total angka deforestasi hingga bulan Maret 2021 di Indonesia adalah angka Renstra PDASHL + laju deforestasi 2018- 2021, menjadi 14,028 juta hektare. 

Meskipun telah dilakukan puluhan tahun sejak 1976, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang diharapkan mampu memulihkan lahan kritis dalam kawasan hutan akibat deforestasi ini, belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Kemampuan pemerintah dalam melaksanakan RHL setiap tahunnya yakni rata-rata 200.000 hektare tidak sebanding dengan luasan lahan kritis yang ada saat ini. Sampai kapan lahan kritis dalam kawasan hutan ini selesai direhabilitasi atau mendapat perlakuan reforestasi?. 

Skala Prioritas

Untuk menepis isu miring tentang deforestasi laten yang sudah terlanjur terjadi selama ini, pemerintah harus melakukan aksi nyata di lapangan yang dapat dilihat oleh masyarakat luas. Mengingat bahwa anggaran pemerintah untuk kegiatan RHL ini jumlahnya terbatas, maka prinsip skala prioritas penanganan harus diberlakukan secara ketat. 

Daerah-daerah yang selama ini menjadi langganan bencana hidrometeorologi harus mendapatkan prioritas yang paling utama dalam kegiatan RHL, khususnya daerah hulu yang merupakan kawasan lindung. 

Kesalahan utama selama ini dalam kegiatan RHL adalah lokasinya tidak fokus dalam satu tempat dan menyatu dalam satu kesatuan ekosistem dan tersebar di mana-mana. Pengalaman membuktikan bahwa KLHK hanya mengejar angka-angka luas lahan hutan yang ditanam. Tanpa adanya jaminan keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa. Padahal, rehabilitasi bertujuan menjadikan lahan terbuka menjadi hutan kembali. Kita tahu, definisi hutan adalah menciptakan iklim mikro hingga pohon berperan menyerap emisi karbon.

Kita ingat pernyataan Presiden Joko Widodo dalam silaturahmi alumni dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Desember 2017. Ia mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mampu membangun hutan asal dikerjakan secara detail dari hulu ke hilir. 

Presiden Jokowi lalu menyitir pengalaman negara-negara Skandinavia seperti Norwegia yang kaya dan makmur dengan mengandalkan hasil hutan. Presiden menyajikan satu fakta yang sulit dibantah bahwa sudah puluhan tahun pemerintah menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan biaya triliunan tapi tak menghasilkan peninggalan hutan yang luas. Sebagai alumni UGM, Jokowi teringat hutan Wanagama di Gunung Kidul seluas 112 hektare. Menurut Jokowi, pemerintah sebenarnya mampu dan bisa membangun hutan jika pengerjaan dari perencanaan hingga pemeliharaannya mirip yang dilakukan UGM untuk Wanagama. Jokowi menyarankan agar kita meninggalkan paradigma lama melalui program menanam satu miliar pohon atau satu juta pohon karena, kata dia, faktanya slogan-slogan itu tidak ada yang berhasil. Cukuplah, kata Jokowi, fokus berapa hektare yang penting terjamin berhasil menjadi hutan yang sebenarnya setelah beberapa tahun kemudian. 

Jika kita asumsikan setiap tahun pemerintah bisa membangun hutan mirip Wanagama melalui rehabilitasi hutan dan lahan seluas 3.000 hektare saja, selama 41 tahun (1976-2017) akan terbangun 123.000 hektare hutan di seluruh Indonesia.

Sudah saatnya pemerintah dalam kegiatan RHL mengubah paradigma lama dari mengejar target angka-angka penanaman menjadi paradigma baru mengejar target keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa dan membangun hutan yang baru, dengan fokus pada luasan tertentu dengan menggunakan prinsip skala prioritas. Dan hasilnya dapat dibuktikan di lapangan setelah 15-20 tahun kemudian. Dengan demikian, masyarakat awam menjadi paham bahwa pemerintah secara nyata dan sungguh-sungguh mampu membangun hutan baru sebagai ganti dari hilangnya jutaan hektare kawasan hutan akibat deforestasi. Secara perlahan tetapi pasti, kepercayaan (trust) masyarakat akan pulih kembali terhadap pemerintah dalam menangani kelestarian hutan dan lingkungan. ***