Penggunaan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi lahan mengemuka untuk memfasilitasi pembangunan infrastuktur sumber daya air di Jawa. Meski demikian, Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan Jawa punya pemikiran berbeda.
Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar menyatakan lahan pengganti tetap diperlukan untuk mempertahankan luas kawasan hutan di Jawa. Satu-satunya BUMN kehutanan itu juga siap menjadi penyedia lahan pengganti agar pembangunan infrastruktur tetap bisa berjalan.
“Sebanyak 70% konflik tenurial yang terjadi diakibatkan tidak tuntasnya lahan pengganti pada proyek-proyek infrastuktur,” kata dia di Jakarta, Selasa (23/6/2015).
Langkah Perhutani yang tetap meminta lahan kompensasi tak lepas dari arahan yang diberikan Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno. Menteri Rini, bahkan kabarnya sudah melayangkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terkait hal itu. Mustoha membenarkan, bahwa ada arahan dari Menteri BUMN agar Perhutani bisa menjaga aset kawasan hutannya.
Jika melihat ke belakang, Perhutani bukan satu-dua kali harus merelakan kawasan hutan yang dikelolanya untuk pembangunan strategis dan infrastruktur sumber daya air. Pembangunan Waduk Cirata dan sejumlah infrastruktur lainnya, termasuk waduk Jatigede yang segera diresmikan ternyata masih menyisakan persoalan lahan kompensasi. “Sampai saat ini masih ada beberapa lahan kompensasi yang belum diselesaikan,” kata Mustoha.
Salah kasus lahan pengganti yang tidak tuntas dan menyisakan masalah adalah tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan tebu negara seluas 12.000 hektare di Majalengka, Jawa Barat. Proses tukar menukar yang sudah disepakati sejak tahun 1978 itu hingga kini belum juga tuntas. Saat ini masyarakat sedang mengajukan gugatan class action agar lahan tersebut dikembalikan sebagi kawasan hutan.
Landbanking
Lambannya penyediaan lahan kompensasi untuk pembangunan infrastruktur proyek pemerintah, adalah mekanismenya yang harus mengikuti proses APBN. Padahal, situasi di lapangan berkembang sangat cepat dengan harga tanah yang terus melambung.
Ajaibnya, sebuah perusahan tambang bisa menyediakan lahan dengan mudah seluas seribuan hektare, sebagai kompensasi kegiatan eksploitasi di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Berkaca pada kasus ini, Mustoha yakin, persoalan lahan kompensasi bisa diselesaikan lebih mudah jika dilakukan dengan pendekatan bisnis. “Kalau ada perusahaan yang bisa, kami juga bisa,” katanya.
Itu sebabnya, Perhutani pun akan mengajukan diri untuk menjadi penyedia lahan dan membentuk land banking pada proyek infrastruktur strategis. Hal itu memastikan proyek-proyek penting tetap bisa berjalan.
Dengan membangun landbanking, maka Perhutani akan mencari dan membeli lahan yang akan dijadikan kompensasi proyek infrastruktur. Mustoha menjelaskan, untuk pembelian lahan tersebut bisa merogoh kocek sendiri. “Bisa juga kami tawarkan kepada Dana Pensiun jika berminat, ini kan investasi juga,” katanya
Nantinya APBN akan mengganti investasi yang sudah dikucurkan untuk menyediakan lahan pengganti. Proses demikian akan lebih ringkas dan efektif, meski sama-sama memanfaatkan dana APBN.
Mustoha juga yakin, pihaknya tak kesulitan mecari lahan pengganti. Menurut dia jika memang serius diinventarisasi, mencari lahan kosong seluas 1.000-2.000 hektare di Jawa masih dimungkinkan. “Kalau untuk pengganti pembangunan waduk, masih ada di Jawa,” katanya.
Prosedur yang ditawarkan Perhutani pun lebih mudah diimplementasikan. Hal ini dikarenakan dasar hukum yang mesti dibongkar tidak rumit. Revisi cukup dilakukan pada Peraturan pemerintah (PP) No. 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), yang memberi ruang bagi Perhutani untuk membentuk landbanking.
Sementara jika rencana mekanisme pinjam pakai tanpa kompensasi coba diwujudkan, berarti itu harus mengamandemen Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab dalam Pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan tersebut, luas kawasan hutan pada satu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran yang proporsional. Saat ini saja, luas kawasan hutan Jawa sudah pas-pasan.
“Proses pembahasan revisi PP 72 tahun 2010 sudah kami lakukan. Dalam waktu dekat kami harap bisa selesai,” kata Mustoha. Sugiharto