Perusahaan perkebunan PT. Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) divonis Pengadilan Tinggi Jambi bersalah dan harus membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan ekologis sebesar Rp191,8 miliar untuk kebakaran yang terjadi di areal kebun perusahaan itu seluas 591 hektare pada tahun 2015.
Gugatan perdata kepada PT RKK diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Gugatan sempat sempat ditolak Pengadilan Negeri Jambi, pada tanggal 12 Juni 2017. Namun Menteri LHK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jambi Hingga akhirnya divonis tanggal 21 Desember 2017.
Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa penegakan hukum bagi korporasi yang terlibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), baik secara administrasi, pidana, maupun perdata, merupakan wujud komitmen nyata pemerintah menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan.
“Ini bentuk komitmen dan konsistensi Menteri LHK Siti Nurbaya, terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk yang dilakukan oleh korporasi,” ujar Rasio Ridho dalam rilis pada media, Jumat (22/12/2017).
Ia berharap keputusan PT Jambi ini dapat memberikan efek jera bagi perusak lingkungan dan kawasan hutan, khususnya pembakar hutan dan lahan. Rasio Ridho juga optimis semua pihak bisa saling bekerjasama untuk menjaga alam, dan mewujudkan Indonesia bebas bencana asap.
Sampai saat ini ada beberapa putusan pengadilan yang telah dimenangkan KLHK melawan korporasi pelaku karhutla. Diantaranya seperti PT. Kallista Alam, PT. Jatim Jaya Perkasa, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. National Sago Prima, PT. Waringin Agro Jaya, dan PT. Way Musi Agroindah.
Adapun gugatan Menteri LHK yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) terkait dengan perusakan lingkungan, total nilai ganti rugi dan biaya pemulihan, mencapai Rp16,6 Triliun. Ini menjadi nilai terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Untuk mempercepat proses eksekusi ini, Menteri LHK telah membentuk Satuan Tugas Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan terhadap perkara perdata Lingkungan Hidup, yang telah mempunyai kekuatan hukum.
Upaya ini melibatkan Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KATR) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sugiharto