Petani Karet Terancam UU Deforestasi Uni Eropa

Foto: Antara

Undang-undang anti-deforestasi Uni Eropa (EUDR) mengancam terganggunya produksi karet alam di Asia Tenggara, yang akan memukul 30.000 petani kecil di Kamboja sampai eksportir besar di Thailand dan Malaysia.

Pasalnya, EUDR melarang tujuh komoditi, yakni ternak, kakao, kopi, minyak sawit, karet, kedele dan kayu, diimpor masuk jika berasal dari lahan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian sejak 31 Desember 2020.

Perusahaan yang melakukan importasi komoditi tersebut harus memberikan “informasi yang meyakinkan dan dapat diverifikasi” yang memetakan rantai pasok mereka, termasuk data geolokasi di mana komoditi itu dikembangkan, untuk memastikan produk tersebut memenuhi syarat. Kepatuhan ini jadi kewajiban (mandatory) mulai Desember 2024 untuk perusahaan-perusahaan besar dan mulai Juni 2025 untuk skala UKM.

Menurut kritikus, kekhawatiran yang muncul di Asia Tenggara adalah EUDR akan memukul petani kecil, dan pada saat yang sama gagal mengatasi peran perkebunan karet dalam masalah deforestasi.

Menurut pakar geo-agronomi yang berbasis di Kamboja, Jean-Christophe Diepart, EUDR akan punya “dampak yang besar” terhadap petani di Kamboja.

“Risikonya adalah para petani kecil ini akan tumbang karena ada begitu banyak persyaratan dan terlalu banyak usaha untuk memantau dan menelusuri karet yang akan mereka produksi,” ujar Depart. Itu artinya hanya “perusahaan besar yang punya sumberdaya untuk patuh” pada aturan EUDR.

Kekhawatiran yang sama juga merebak di Malaysia. Bersama Indonesia, Malaysia berunding dengan Uni Eropa (UE) mengenai aturan-aturan dalam EUDR. Pasalnya, EUDR akan berdampak besar terhadap industri minyak sawit. Namun, industri ekspor karet Malaysia senilai 2 miliar dolar AS bakal terpengaruh juga.

Malaysia mengekspor sekitar 17% produk karetnya ke UE, pasar terbesar setelah Amerika Serikat. Sebanyak 93% lahan perkebunan karet di Malaysia dikelola oleh petani kecil, demikian data Malaysian Rubber Board.

Pada Maret, para petani karet Malaysia bergabung dengan petani kelapa sawit untuk mengajukan petisi ke UE yang isinya memprotes tuntutan “sepihak dan tidak realistis” dari EUDR, seraya menyebut aturan itu akan mengeluarkan petani kecil dari pasar Eropa dan memperburuk kemiskinan di pedesaan.

Thailand, produsen dan eksportir karet terbesar di dunia, mencoba mengatasi aturan baru UE tersebut. Pemerintah Thailand telah meluncurkan sebuah program nasional guna membantu lebih dari 5 juta petani bisa memenuhi syarat ketertelusuran yang akan diterapkan UE.

Nakorn Tangavirapat, seorang pejabat Otorita Karet Thailand (RAT) mengatakan, program itu akan mengumpulkan informasi seluruh pelaku dalam rantai pasok dan sekitar 95% pemain di industri karet sudah terdaftar.

“Program ini termasuk apa saja untuk membantu pembeli menelusuri bagaimana dan di mana produk karet itu dihasilkan, mulai dari pedagang sampai pabrik, dari pengolah sampai perkebunan, dengan informasi transaksi,” ujar Nakorn.

Ironi Kamboja

Di saat kawasan Asia Tenggara bersiap menghadapi EUDR yang akan berlaku efektif, mungkin Kamboja bisa jadi contoh terbaik dalam menyusun dan menegakkan peraturan perdagangan tersebut. Sayangnya, bicara Kamboja malah ironi sebetulnya, mengingat ekspor karet negeri ini ke UE sangat kecil.

Mayoritas ekspor karet alam Kamboja lari ke Vietnam, sebagian besar dalam bentuk karet alam belum diolah yang disebut koagulum. Biasanya ini perdagangan informal yang difasilitasi oleh pengijon yang sering membayar tunai di tempat dan menawarkan harga lebih tinggi dari pabrik-pabrik pengolahan karet setempat di Kamboja.

Adanya perbedaan angka di kedua negara tersebut menunjukkan besarnya skala perdagangan ini. Kamboja melaporkan ekspor karet ke Vietnam tahun 2021 sebesar 289 juta dolar AS, tapi Vietnam mencatat nilai impor karet alam dari Kamboja di tahun yang sama mencapai 1,5 miliar dolar AS, demikian data dari Comtrade PBB.

Menurut Diepart, kondisi itu membuat pabrik pengolahan karet Kamboja kekurangan lateks segar untuk diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang “substansial” dari sisi penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja.

Buat Vietnam, eksportir besar karet alam ke UE, EUDR menjadi masalah besar soal kepatuhan, demikian menurut penelitian Forest Trends. Begitu masuk ke Vietnam, maka karet dari Kamboja dan Laos dicampur dengan karet produksi lokal, sehingga membuat ketertelusuran menjadi “nyaris mustahil”, kata kelompok itu.

Untuk membersihkan rantai pasok mereka sendiri, para pedagang Vietnam yang punya hubungan dengan Eropa kemungkinan harus mengurangi impor dari Kamboja, kata Phuc Xuan To, analis kebijakan senior di Forest Trends.

Persyaratan uji tuntas (due diligence) EUDR antara lain soal penilaian risiko dengan 14 kriteria, termasuk prevalensi deforestasi di negara tersebut, dampak terhadap masyarakat adat, adanya korupsi dan tingkat penegakan hukumnya.

“Secara teori, pemerintah (Kamboja) bisa memberikan informasi kepada pedagang, tapi realitasnya bisa tidak Anda mendapatkannya? Tidak mungkinlah,” ujar Phuc.

Diepart mengemukakan hal yang sama. Dia mengatakan, dengan penginderaan jauh kelompoknya telah mengidentifikasi 1,1 juta hektare (ha) kebun karet berada dalam wilayah studi seluas 5,5 juta ha di mana pemerintah memperkirakan luas total kebun karet sekitar 445.000 ha.

“Bahkan informasi mendasar soal berapa luas kebun karet yang ada di Kamboja saja tidak akurat sama sekali,” ujarnya. “Mulai dari sini … basisnya tidak jelas, bagaimana ketertelusuran seluruh rantai nilai dapat dilakukan?”

Kementerian Pertanian Kamboja yang dimintai konfirmasi sampai tulisan ini dimuat oleh NikkeiAsia, Jumat (3/11), tidak menjawab.

Perdagangan Lintas Batas

Para pengambil keputusan di UE, tambah Phuc, nampaknya tidak menimbang dan memperhitungkan perdagangan skala UKM di perbatasan seperti Kamboja dan Laos ketika menyusun aturan EUDR.

“Perdagangan lintas batas tidak diperhitungkan dalam EUDR,” katanya. “Dengan banyaknya negara yang mengimpor kayu atau karet alam atau kopi dari negara lain dan kemudian mengekspornya ke Eropa, perdagangan lintas-batas sangat penting untuk diperhitungkan, tapi saya kira UE tidak menganggap hal itu sama sekali. Ini jadi tingkat kerumitan lainnya.”

Kritik keras lainnya soal EUDR adalah aturan itu sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh booming karet alam — yang berakhir dengan kejatuhan harga 10 tahun lalu.

Di Kamboja, kata Diepart, karet merupakan pendorong utama deforestasi sampai sekitar tahun 2012 atau 2013. Kini, tambahnya, pendorong utama deforestasi adalah kacang mete. Perkebunan karet yang ditanam dengan membabat habis hutan sebelum Desember 2020 tidak terkena aturan EUDR sepanjang usaha mereka mematuhi aturan main negara yang bersangkutan.

Kemungkinan kekhawatiran paling mendesak buat produsen di kawasan ini, baik untuk pengusaha besar maupun UKM, adalah siapa yang harus membayar biaya untuk mengikuti kepatuhan tersebut?

Men Sopheak, ketua asosiasi pengembangan karet Kamboja, yang punya perkebunan karet seluas 13.000 ha mengatakan, produsen sudah mengalami tekanan finansial yang berat. Pasalnya, biaya produksi naik, tapi harga jual stagnan akibat banjir pasok dari pohon karet yang ditanam sebelum booming terjadi.

“Industri karet sudah tidak berkembang lagi,” tandasnya. “Karena rendahnya harga, mereka membabat pohon karet dan mengganti dengan komoditi lain yang lebuh menguntungkan dan sedikit kebutuhan tenaga kerjanya.”

Namun Sopheak berharap persyaratan kelestarian yang lebih ketat akan menjadi pendorong meningkatnya pengolahan dan pembuatan produk karet dalam negeri. Kamboja punya dua pabrik ban mobil dan tiga pabrik lainnya akan dibangun. Sopheak mengatakan, para pabrikan ban saat ini mengimpor karet, tapi asosiasi sedang mempromosikan produk-produk lokal.

Produsen di Thailand juga berjuang dengan kenaikan biaya produksi karena kelestarian makin jadi perhatian para pembeli dan persyaratan hukum di banyak pasar.

Chairman Thai Rubber Latex Group, Vorathep Wongsasuthikul mengatakan, pengembangan sebuah sistem yang akan membuat pembeli bisa menelusuri produk-produk yang mereka beli akan menaikkan cost 10%.

Veerasith Sinchareonkul, direktur pelaksana dan direktur eksekutif Sri Trang Agro-Industry mengatakan, industri memang harus bekerja sama dengan pemerintah untuk beradaptasi.

“Kami kira tren ini tidak mungkin hanya terjadi di Eropa saja, tapi malah akan jadi sebuah tren kelestarian baru yang akhirnya akan diadopsi di seluruh dunia, dan itu alasanya mengapa kita harus memgembangkan diri kita sendiri untuk mengimbangi megatren ini,” papar Veerasith. AI