Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan kebutuhan pokok masyarakat (bapok) memicu kontroversi dan keberatan massal. Meski belum dibahas resmi di DPR, kegaduhan kadung muncul dan Kementerian Keuangan pun sibuk berkelit. Dalihnya, pengenaan pajak itu demi rasa keadilan dan mengurangi distorsi serta optimalisasi pendapatan negara. Benarkah?
Ketika Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) mobil mendapat pembebasan, yang notabene konsumennya adalah orang kaya dan mampu, atau rencana memberlakukan kembali pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II, yang menyasar golongan kecil kelas atas negeri ini, mendadak bocor informasi di media massa. Pemerintah berencana menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Penerapan PPN itu termuat dalam draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), di mana dalam Pasal 44E mengubah beberapa ketentuan dalam UU No.8/1983 tentang PPN dan PPnBM, yang terakhir kali diubah melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di pasal ini, ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 4A diubah, sehingga ayat (2) butir b. yang sebelumnya tidak dikenakan PPN menjadi dihapus. Padahal, butir b. itu isinya “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak”.
Berdasarkan UU No.42/2009, barang kebutuhan pokok itu terdiri dari 11 jenis barang, yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2016 dan pada 2017 dikabulkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga barang kebutuhan pokok tidak terbatas pada 11 jenis saja. Menteri Keuangan sendiri lewat PMK No.99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai PPN menambah barang tak kena PPN menjadi 14 jenis, mulai dari beras, jagung, susu sampai bumbu-bumbuan dan ikan.
Gelombang penolakan pun bermunculan. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai pengenaan PPN itu mengancam keamanan pasok pangan masyarakat. “Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN,” ucapnya.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri menilai publik tidak keliru menolak rencana penerapan PPN terhadap bahan kebutuhan pokok. “Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan tanpa membebani rakyat kecil,” ujarnya.
Namun, Ditjen Pajak Kemenkeu dalam penjelasannya di instagram @ditjenpajakri mengatakan, pengecualian PPN yang diberikan saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga dan kelompok yang mengkonsumsi, sehingga menciptakan distorsi. Akibatnya, pengecualian itu tidak tepat sasaran. “Orang yang mampu justru tak membayar pajak karena mengkonsumsi barang yang tak dikenakan PPN,” tulisnya. Anda setuju? AI