Regulasi Gambut Turunkan Rating Investasi Indonesia

kelapa sawit

Presiden Joko Widodo perlu menghapus regulasi serta membenahi sejumlah peraturan daerah (perda) bermasalah yang  berpotensi mengakibatkan turunnya peringkat kelayakan (rating) investasi Indonesia.

Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Dr Riyanto mengatakan, salah satu regulasi yang perlu dihapus yakni Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) karena menghambat investasi pada  sektor perkebunan dan kehutanan.

Mengutip kajian Lee Kuan Yew School of Public Policy, kata Riyanto, di sejumlah provinsi yang menjadi sentra perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) seperti Riau dan Sumatera Selatan,  saat ini peringkat investasinya anjlok.

Anjloknya peringkat investasi daerah akan mempengaruhi rating investasi Indonesia. Padahal, sebelumnya tiga pemeringkat investasi internasional, yakni Fitch Ratings, Standards and Poor’s, dan Moody’s Investor Service, memberi rapor sangat positif terhadap iklim investasi Indonesia.

Riyanto mengingatkan, pemerintah perlu menyiapkan mitigasi ekonomi yakni solusi jika PP gambut tetap diberlakukan seperti, anjloknya investasi, naiknya tingkat penggangguran, tidak adanya kepastian berusaha serta terbengkalainya pembangunan infrastruktur.

”Saat ini yang banyak digembar  gemborkan hanya mitigasi lingkungan namun tidak menyentuh dampak ekonomi dan sosial yang bisa mempengaruhi sendi-sendi perekonomian dan merusak tatanan bangsa,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (7/2/2018) .

Investasi pada sektor kehutanan dan perkebunan saat ini mencapai angka lebih dari  Rp277,32 triliun. Jika PP  gambut diberlakukan sekitar 45% dari investasi tersebut bakal terganggu. Dampaknya jangan hanya dilihat pada industri sawit dan HTI namun juga pada sektor lain seperti perbankan, infrastruktur  dan industri pengolahan.

Total investasi industri hulu dan hilir  kehutanan dan investasi hulu dan hilir perkebunan yang dibiayai pinjaman dalam negeri mencapai Rp83,75 triliun  dan pinjaman luar negeri senilai Rp193,57 triliun.

Sektor industri pengolahan yang mempunyai kontribusi Rp254 triliun terhadap Produk domestik bruto (PDB) juga terimbas. Harus diingat  komposisi sektor ini, lebih dari 70 persen berasal dari produk-produk turunan minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang nilainya mencapai Rp .800 triliun.

Saat ini, Presiden Jokowi tengah giat menarik investasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, listrik, energi dan air bersih. Bahkan di tingkat daerah, pemprov berlomba menarik investasi dengan inovasi perizinan satu pintu, reformasi birokrasi, perbaikan regulasi investasi dan pembangunan kawasan industri.

”Sayang jika pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut Presiden Jokowi menjadi sia-sia  karena regulasi yang menakutkan tetap dipertahankan,” kata Riyanto. Sugiharto