Jika ada waktu luang, mampirlah ke Cilodong, Depok, Jawa Barat. Sepelemparan batu dari Jakarta, ada sebidang tanah yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan. Saking lebatnya, bidang tanah tersebut sudah lebih pantas disebut hutan ketimbang halaman atau kebun.
Lebatnya tajuk pepohonan di areal seluas 0,5 hektare itu bisa dibuktikan jika kita melihatnya dengan menggunakan Google Maps. Diantara pemukiman yang padat, hutan yang dikelola oleh praktisi kehutanan Muswir Ayub sungguh memberi keteduhan.
Lain lagi di Mutiara Gading City, Bekasi, Jawa Barat. Di perumahan yang letaknya juga tak jauh dari Jakarta itu ditanam lebih dari 40.000 batang pohon dari lebih 150 jenis pohon. Digawangi oleh penyuluh kehutanan senior, Eka W Soegiri, lokasi penanaman di sana secara perlahan berubah menjadi ‘hutan mini’ dan menjadi rumah bagi berbagai jenis fauna, mulai dari reptil hingga burung.
Tak hanya di lahan yang secara status adalah lahan milik, di dalam kawasan hutan, banyak penyuluh dan masyarakat serta aktor-aktor di tingkat tapak yang berperan besar memacu aksi rehabilitasi hutan dan lahan.
Aksi tersebut berdampak positif pada pemulihan lingkungan dan pengendalian perubahan iklim sekaligus menggerakan ekonomi di tingkat lokal. Demikian terungkap saat diskusi virtual Pojok Iklim, Rabu (13/1/2021). Diskusi dipandu oleh Sekjen Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia (Ipkindo) Hendro Asmoro.
Muswir Ayub menceritakan dirinya mulai membangun hutan di lahan milik keluarganya pada tahun 2006 dengan menanam 1.000 pohon gaharu. “Di lokasi itu kini telah ada lebih dari 40 jenis pohon, termasuk merbau, agathis, bahkan mangrove,” katanya.
Hutan yang dibangun Ayub berhasil mencipkan iklim mikro yang lebih sejuk. Hutan itu juga menjadi sumber benih untuk kegiatan rehabilitasi di lokasi lain.
Hutan kota yang lebat yang dibangun Ayub kini juga menjadi magnet bagi sejumlah pihak sebagai tempat penelitian dan berbagi informasi.

Agroforestry
Sementara itu, penyuluh kehutanan Yohan Surtiani berbagi cerita bagaimana dia melakukan pendampingan masyarakat di lereng Gunung Muria. Wilayah kerja yang diampu Yohan terdiri atas 15 desa dan 82 dusun/dukuh.
Menurut Yohan padatnya penduduk membuat tekanan terhadap lahan sangat tinggi di sana. “Apalagi sebagai dampak pandemi Covid-19 banyak pekerja yang di PHK, tekanan terhadap lahan makin tinggi,” katanya.
Menurut dia, lereng Gunung Muria perlu dikelola dengan memperhatikan kelestariannya mengingat topografinya yang cukup terjal. Di sana juga sudah terjadi degradasi lahan. Akibatnya bencana banjir dan tanah longsor mengancam seperti yang sudah terjadi pada tahun 2006 dan 2014.
Menghadapi situasi tersebut, ungkap Yohan, penyuluh perlu mengubah mindset dari sekadar menyampaikan materi edukasi tentang pentingnya hutan lestari menjadi fasilitator, inovator, edukator motivator, dan dinamisator. Tujuannya mendorong masyarakat binaan agar tetap mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan.
“Penyuluh harus bisa mengembangkan skill kelompok tani binaan dan menjadi agen perubahan,” katanya.
Menurut Yohan, awalnya cukup banyak masyarakat yang memanfaatkan lahannya untuk ditanami dengan tanaman keras seperti sengon. Namun seiring dengan turunnya harga sengon, muncul kekhawatiran akan mereka akan mengubah pengelolaan lahan menjadi tanaman semusim yang bisa meningkatkan degradasi lahan.
Dia menyatakan, dalam situasi tersebut penerapan pola agroforestry dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan di bawah tegakan bisa mendukung hutan tetap lestari sekaligus menyokong produksi pangan atau komoditas produktif lain yang bernilai ekonomi tinggi.
Yohan berhasil memfasilitasi sejumlah kelompok tani hutan (KTH) binaannya menjadi mitra perusahaan besar. Memanfaatkan lahan di bawah tegakan, KTH binaan Yohan memproduksi jahe dan daun sembung yang dimanfaatkan industri jamu.
“Satu KTH bisa 3.500 kilogram daun sembung kering ke produsen jamu tahun 2020 lalu senilai Rp55,2 juta,” katanya.
Selain jahe dan daun sembung, budidaya porang juga dilakukan dan juga sudah berhasil difasilitasi untuk menjalin kemitraan dengan sebuah perusahaan. Ada juga produksi kopi organik.
“Dengan adanya komoditas di bawah tegakan, produksi dari kayu tidak terlalu dipikirkan lagi,” katanya.

Hutan Lindung
Upaya mendorong penerapan agroforestry juga sedang gencar dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung (BPDASWSWS), Lampung.
Kepala BPDASWSWS Idi Bantara mengungkapkan pihaknya dihadapkan dengan fakta di lapangan bahwa sebagian besar hutan, termasuk hutan lindung, di Lampung mengalami kerusakan akibat konflik.
“Saat ini 37,42% dari 375.928 hektare hutan di Lampung rusak akibat konflik dalam pengelolaan hutan. Meski statusnya kawasan hutan, de facto berupa tanaman singkong dan jagung,” kata Idi.
Untuk merehabilitasi lahan yang rusak itu, bukan perkara mudah. Pasalnya, masyarakat selalu resisten terhadap apapun yang ditawarkan oleh aparat pemerintah.
Menurut Idi, menghadapi situasi tersebut, maka petugas BPDASWSWS perlu mengubah mindset untuk mengajak masyarakat melakukan penanaman pohon dan merehabilitasi lahan. “Kita harus menjadikan diri sebagai bagian integral dari KTH,” katanya.
Proses untuk mengajak masyarakat melakukan penanaman pohon dijalani satu per satu. Mulai dari sosialisasi dan pra kondisi. Pada tahap ini, petugas BPDASWSWS mesti bisa meyakinkan masyarakat dengan niat baik untuk bersama-sama memperbaiki lahan yang rusak. Proses selanjutnya bisa dilakukan dengan membuat pemetaan dan perencanaan pasrtisipatif.
Berkat pendekatan yang dilakukan, maka masyarakat mau menanami lahan dengan pohon dari jenis multi guna (multi purposes tree species/MPTS). Pohon tersebut misalnya alpukat atau durian. Pohon di tanam dengan pola agroforestry. “Jadi tidak hanya tanaman pangan tapi juga tanam pohon,” kata Idi.
Tahun 2019 lalu, BPDASWSWS menanam sekitar 8,2 juta bibit pohon dari jenis MPTS.
Aktor Tingkat Tapak.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja menyatakan kita bisa belajar dari para aktor di tingkat tapak seperti penyuluh, masyarakat, pemerintah lokal soal aksi dalam pengendalian iklim. Peran para aktor di tingkat tapak ini pun semakin diakui perannya dalam pengendalian perubahan iklim secara global.
“Penggiat agroforestry ini semakin penting dan menjadi tren ke depan. Sasarannya dua hal, ketahanan pangan dan pengendalian perubahan iklim,” katanya.
Dia menuturkan, dalam pertemuan-pertemuan internasional yang membahas pengendalian perubahan iklim di masa lalu, mereka yang dilibatkan adalah birokrat, ilmuwan, dan pimpinan organisasi besar.
Situasinya mulai berubah saat ini. “Mereka yang dilibatkan dalam pertemuan regional maupun internasional adalah par penggiat di tingkat tapak, seperti petani,” katanya.
Keterlibatan para aktor di tingkat tapak semakin kuat jelang penyelenggaraan konferensi pengendalian perubahan iklim, COP UNFCCC, di Glasgow tahun ini. “Ini artinya ada semacam babak baru delam gerakan lingkungan yang bekerja di tapak poisisinya penting dan makin diperhitungkan,” ujar Sarwono.
Sugiharto