Restorasi Gambut di Indonesia Tunjukan Keberhasilan

Staf PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) melakukan pemeliharaan stasiun SESAME 3 di estate Mendawak, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Langkah korektif yang pemerintah berhasil mendorong pengelolaan lahan gambut di areal yang dikelola perusahaan ke arah yang semakin baik. Hal ini ini menunjukkan pentingnya peran berbagai pihak untuk berkolaborasi menjaga lahan gambut dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

“Sampai 2020, dengan bantuan peran berbagai pihak yang berkepentingan, kita berhasil membasahkan gambut lebih 3,6 juta hektare,” ungkap Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah saat diskusi Pojok Iklim, Rabu (24/3/2021).

Diskusi pojok iklim bertajuk “Mari Kita Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) ” dibuka dengan pengantar kata dari Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono Prawiraatmadja. Turut hadir memberi pemaparan kunci di akhir diskusi Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Sarwono Kusumaatmadja.  Diskusi ini dipandu oleh moderator Arief Yuwono, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Evaluasi Kebijakan Kerjasama Luar Negeri.

Karliansyah menuturkan, kebijakan perlindungan gambut di Indonesia sejatinya telah ada sejak tahun 1990. Kebijakan tersebut kemudian diperbarui dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) 71 tahun 2014 yang kemudian direvisi dengan PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan peraturan turunannya, termasuk juga kebijakan moratorium pembukaan lahan gambut.

Salah satu kunci restorasi gambut adalah memastikan kelembapan gambut dengan salah satu indikator berupa Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) paling rendah 0,4 meter dari permukaan. Caranya dengan mengatur tata air dan membangun sekat kanal.

Untuk memastikan TMAT sesuai ketentuan, KLHK telah menginstruksikan perusahaan untuk mendirikan Titik Penaatan (TP) TMAT. Tercatat ada 10.857 TP TMAT yang dipasang di areal konsesi. Selain itu juga dibangun 816 unit stasiun pemantau curah hujan.

Karliansyah menyatakan, penerapan perbaikan pengelolaan gambut dilakukan dengan akuntabel dan bisa dipantau langsung melalui Sistem Informasi Muka Air Tanah Gambut (SiMATAG)-0.4m

Sementara itu Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Lailan Syaufina, menyampaikan Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) untuk Tata Kelola Ekosistem Gambut semakin marak.

Beberapa teknologi dalam pengendalian kebakaran hutan sudah dikembangkan diantaranya Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Kebakaran, Sistem Informasi Kebakaran & Deteksi Dini (Early Detection), Aplikasi Mobile Patroli Karhutla, Sistem Monitoring Kondisi Lahan Gambut, Pengembangan Metode Pengukuran Areal Terbakar, Emisi Karbon Berbasis Teknologi Penginderaan Jarak Jauh, Penilaian Areal Pasca Kebakaran serta Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (Zero Burning).

Ia juga menambahkan terjadinya peningkatan penelitian karhutla di lahan gambut di Indonesia sebesar 284% pada tahun 2020 dibanding tahun 2015 yang hanya 493 penelitian saja.

“Peningkatan jumlah artikel penelitian ini menunjukan perhatian akademisi terhadap karhutla di lahan gambut semakin meningkat,” Imbuh Lailan.

Praktisi rimbawan Soewarso menyatakan implementasi Integrated Fire Management (IFM) menjadi bagian yang penting dalam menjaga keseimbangan lahan gambut agar tidak mudah terbakar.

“Kita harus tetap menerapkan empat pilar dalam IFM termasuk bagaimana melakukan pencegahan, persiapan, deteksi dini dan reaksi cepat. Bahkan Praktik Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan pengembangan agroforestry juga masuk dalam strategi ini,” jelas Soewarso.

Ia juga menambahkan rekayasa teknik dalam pembuatan dan pemeliharaan sekat bakar berupa jalan, kanal, atau sungai serta pembuatan dan pemeliharaan sekat hijau dengan menggandeng masyarakat dalam mengelola jenis tanaman tertentu akan juga berdampak dalam mencegah karhutla.

AI