Upaya pemulihan kawasan hutan harapan, rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna endemik yang rentan punah dan gantungan hidup bagi masyarakat asli setempat, kini terancam akibat adanya rencana pembangunan jalan angkut batubara yang membelah kawasan tersebut.
“Jalan batubara akan menggangu pemulihan Hutan Harapan. Untuk itu kami tegas menolak rencana pembangunan jalan tersebut,” kata Lisman Sumardjani, Direktur Operasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), yang mengelola hutan harapan dengan skema izin Restorasi Ekosistem (RE).
Hutan Harapan terletak di kawasan hutan perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Luasnya yang sekitar 98.555 hektare mencakup sekitar 20% dari hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera. Kawasan ini merupakan habitat bagi sedikitnya 26 spesies satwa yang rentan dan terancam punah, termasuk harimau sumatera, tapir, gajah sumatera dan berbagai flora endemik. Hutan harapan juga menjadi tempat bergantung lebih dari 200 keluarga Batin Sembilan, yang merupakan masyarakat asli setempat.
Lisman mengungkapkan, rencana pembangunan jalan angkut batubara yang membelah Hutan Harapan pertama kali muncul pada tahun 2013. Saat itu, pihaknya sudah tegas menolak rencana tersebut. Pembahasan realisasi rencana tersebut tak berlanjut karena peraturan perundang-undangan pada saat itu memang tak memungkinkan dibangunnya jalan angkut tambang di areal konsesi RE.
Rencana pembangunan jalan angkut batubara kembali muncul di akhir 2017. Meski berasal dari perusahaan yang berbeda, namun rencana pembuatan jalan yang dibangun memiliki kemiripan dengan rencana yang pernah diajukan sebelumnya.
Munculnya kembali rencana pembangunan jalan tambang itu boleh jadi tak lepas dari terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.50 tahun 2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Dalam, Pasal 12 Ayat (1) ketentuan tersebut, izin pinjam pakai kawasan hutan memang diatur untuk tidak diberikan pada kawasan hutan produksi yang dibebani izin RE. Namun pada Pasal 12 Ayat 2 Poin (F) ketentuan tersebut, izin pinjam pakai untuk pembangunan jalan tambang mendapat pengecualian.
Meski demikian, Lisman mengingatkan, pada Ayat 2 Poin (G) ketentuan tersebut menegaskan bahwa kegiatan pinjam pakai harus berdasarkan hasil penilaian bahwa kegiatan itu tidak mengganggu kelestarian dan kelanjutan izin RE. “Kenyataanya jalan angkut batubara pastu menggangu kelestarian dan rencana pemulihan ekosistem,” katanya.
Lisman mempertanyakan rencana pembangunan jalan angkut batubara yang ngotot harus membelah Hutan Harapan. Padahal, ada opsi lain yang bisa dipilih dan berisiko lebih rendah terhadap upaya pemulihan kawasan hutan. “Jalan angkut batubara bisa dibangun di luar Hutan Harapan. Itu jaraknya tidak terlalu jauh namun dengan risiko yang lebih rendah,” katanya.
Terancam
Dia menegaskan, pembangunan jalan angkut batubara akan membuat fragmentasi habitat satwa. Hal tersebut dapat menimbulkan penyusutan populasi satwa liar, meningkatnya kompetisi, bahkan akan mempertinggi risiko perkawinan sedarah (incest).
Hal ini dapat mempercepat kepunahan populasi spesies kritis, rentan dan terancam punah, terutama spesies mamalia besar seperti harimau sumatera, gajah sumatera, Tapir dan beruang madu. “Salah satu tujuan kami melakukan kegiatan RE adalah untuk melindungi satwa. Jalan angkut batubara jelas bertentangan dengan kegiatan RE,” katanya.
Fragmentasi habitat akibat pembangunan jalan angkut batubara juga akan mempertinggi konflik manusia dengan satwa liar yang mencari pakan hingga ke pemukiman akibat habitatnya yang terganggu.
Lisman menambahkan tanpa adanya akses jalan yang terbuka, kawasan Hutan Harapan sudah terancam dengan adanya aktivitas pembalakan liar, perburuan satwa ilegal, perambahan dan kebakaran hutan. Adanya jalan angkut baubara akan meningkatkan risiko ancaman tersebut.
Sementara bagi masyarakat asli Batin Sembilan, Hutan Harapan merupakan tempat bergantung untuk kehidupan tadisonal, termasuk pemanfaatan sumber pangan dan hasil hutan. Menurut Lisman, jalan yang dibuat akan meningkatkan benturan dengan masyarakat dari luar wilayah konsesi. Selain itu jalan tersebut akan mencegah akses mereka dalam memperoleh hasil hutan bukan kayu ke sebagian besar wilayah hutan. “Ini akan sangat mengganggu cara hidup tradisional mereka,” kata Lisman.
Lisman pun berharap agar KLHK menolak rencana pembangunan jalan angkut batubara karena rencana tersebut bertentangan dengan langkah-langkah yang sedang gencar dilakukan untuk perlindungan dan pemulihan ekosistem di tanah air.
Apalagi, pengelolaan hutan dengan skema RE selama ini didengungkan sebagai model pengelolaan hutan berkelanjutan yang bertujuan untuk memulihkan hutan terdegradasi, perlindungan habitat. Skema pengelolaan RE juga kerap digembar-gemborkan sebagai salah satu bagian dari upaya Indonesia dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). “Rencana jalan angkut batubara di hutan restorasi tentu bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030 seperti yang sudah didaftarkan pada Persetujuan Paris,” kata Lisman.
Dia mengingatkan, pemulihan Hutan Harapan sudah menjadi perhatian global. Itu berarti, kebijakan yang kurang tepat terkait pengelolaannya akan mendapat sorotan dari dunia Internasional.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengaku belum mengetahui rencana pembangunan jalan angkut batubara di Hutan Harapan. Dia menyatakan akan melakukan pengecekan ke Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) terlebih dahulu. “Nanti saya cek dulu ya,” kata dia, Rabu (11/4/2018).
Sebelumnya Dirjen PKTL KLHK Sigit Hardwinanto mengakui bahwa ada rencana pembuatan jalan tersebut. Meski demikian dia menegaskan, rencana tersebut barupada tahap pembahasan awal. “Ada memang rencana, tapi belum ada persetujuan. Masih dibahas,” katanya. Sugiharto
Dikelola Non profit
Hutan Harapan yang dikelola PT REKI merupakan izin RE pertama yang diterbitkan pemerintah. Luasnya mencakup 98.555 hektare yang terbagi atas 2 izin. Masing-masing seluas 52.170 di Banyuasin, Sumatera Selatan dan 46.385 hektare di Batanghari dan Sarolangun, Jambi. Hutan Harapan selain menjadi rumah bagi 307 jenis burung juga menjadi wilayah kehidupan bagi dua satwa khas Sumatera, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Meski menyandang status perseroan terbatas, namun pengelolaan Hutan Harapan oleh PT REKI adalah non profit. Untuk pembiayaan, REKI mendapat dukungan dari lembaga-lembaga donor Uni Eropa, Pemerintah Inggris, Pemerintah Jermah dan Pemerintah Denmark serta lembaga internasional. Cikal bakal Hutan Harapan berasal dari Bird Life Internasional, RSPB dan Burung Indonesia membentuk Yayasan Konservasi Ekosistem Hutan Indonesia. Yayasan ini membentuk PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) yang kemudian mengajukan izin RE kepada KLHK.
Selain PT REKI, sampai saat ini ada 13 perusahaan lain yang juga mengelola izin RE. Total luas izin RE yang sudah diterbikan mencapai 553.935 hektare. Berbeda dengan izin lainnya di sektor kehutanan yang terkesan ekstratktif, mandat izin RE adalah untuk memulihkan dan merestorasi keseimbangan ekosistem hutan. Mereka diharuskan melakukan penanaman pohon, pengayaan tanaman, perlindungan, pelstarian hutan dan dilarang untuk memanfaatkan hasil hutan kayu, setidaknya sampai terjadi keseimbangan ekosistem. Sugiharto