Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), unit pengelola hutan di tingkat tapak. Operasionalisasi KPH akan mempermudah tercapainya berbagai program pemerintah termasuk soal Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS).
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinanto menjelaskan, KLHK telah membentuk 532 wilayah KPH di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 314 lembaga KPH yang mencakup 83 juta hektare hutan di Indonesia, baik hutan lindung maupun hutan produksi.
Dia menjelaskan, keberadaan KPH sangat penting terkait dengan salah satu program utama pemerintah untuk meningkatkan keberpihakan terhadap masyarakat, dalam hal ini terkait penguasaan lahan.
Menurut Sigit, KLHK telah mengalokasikan lahan seluas 4,8 juta hektare hutan untuk menjadi bagian dari program TORA. Sementara untuk PS, KLHK mengalokasikan lahan seluas 13,5 juta hektare. “Sampai 2019, diharapkan realisasi TORA mencapai 4,1 juta hektare dan PS, diupayakan 12,7 juta hektare,” katanya saat membuka Peluncuran Implementasi Forest Investment Program (FIP) II tahun 2018 di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
KPH adalah unit pengelolaan hutan di tingkat tapak yang dirancang memiliki kemandirian. Eksistensinya di lapangan nilah yang menjadikan KPH mengetahui persis bagaimana kondisi hutan, tantangan, dan solusi yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan.
Menurut Sigit, untuk mendukung sukses TORA, KPH menjadi bagian dari tim inventarisasi di lapangan. Ini untuk memastikan, tanah yang didistribusikan adalah tanah yang tepat dan jatuh pada orang yang tepat pula.
Sementara pada program PS, KPH akan banyak berperan untuk mengawal agar izin perhutanan sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang telah diterbitkan benar-benar bisa memberi manfaat bagi masyarakat.
Untuk mendukung operasionalisasi KPH, sejumlah langkah telah dilakukan KLHK. Termasuk dengan menerbitkan 6 Peraturan Menteri LHK terkait pengelolaan hutan KPH dan juga untuk implementasi PS. Selain itu, KLHK juga memberikan fasilitasi biaya operasional KPH.
Salah satu fasilitasi pembiayaan yang dikucurkan bersumber dari hibah FIP II. FIP merupakan program yang dijalankan oleh CIF, sebuah kolaborasi antara sejumlah negara dan bank-bank pembangunan multilateral. Tujuannya menjembatani kurangnya pembiayaan pada kegiatan pencegahan perubahan iklim yang belum tertangani pada skema-skema yang sudah ada, seperti GEF (Global Environment Facility), FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) dan skema yang dikembangkan oleh UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim).
Alokasi persiapan dan pelaksanaan FIP II berasal dari Hibah Dana Iklim Strategis (Strategic Climate Fund, SCF) sejumlah 17,35 juta dolar AS. Selain itu, lembaga pembangunan Denmark DANIDA menyediakan 40 juta Kroner Denmark (sekitar 5,07 juta dolar AS) sebagai pembiayaan bersama untuk proyek ini.
FIP II fokus pada “Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Alam Lestari Berbasis Masyarakat dan Pengembangan Kelembagaan”. Program ini mendukung strategi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yaitu beroperasinya KPH-KPH.
FIP II memiliki 3 komponen utama selain pengelolaan, pengawasan dan evaluasi proyek. Komponen pertama berfokus dalam penguatan perundang-undangan, kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan hutan secara terdesentraliasasi. Komponen kedua berfokus pada pengembangan kapasitas, akses terhadap informasi dan pengetahuan. Komponen ketiga berfokus pada peningkatan praktik pengelolaan hutan pada 10 KPH.
FIP II akan saling melengkapi dengan 2 proyek FIP lainnya, yaitu “Proyek Investasi Khusus Berbasis Masyarakat untuk Mengatasi Deforestasi dan Degradasi Hutan” yang didukung oleh Asian Development Bank (ADB), dan “Proyek Memperkuat Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon” yang didukung oleh International Finance Corpotration (IFC).
Sigit menyatakan, banyak tantangan untuk mendorong operasionalisasi KPH. Diantaranya adalah memperkuat lembaga KPH melalui revisi berbagai peraturan perundang-undangan. Dia juga menyatakan ada kesenjangan antar sektor di lapangan yang membuat operasionalisasi KPH berjalan tersendat-sendat. Untuk mengatasi berbagai tanganan dalam operasionalisasi KPH, pihaknya akan mengandeng multi pihak termasuk kalangan akademisi dari perguruan tinggi yang tergabung dalam Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (Foretika)
Donor Lain
Sementara itu Direktur Rencana, Penggunaan, dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK Kustanta Budi P mengungkapkan ada 10 KPH yang menjadi lokasi implementasi FIP II. “Tujuan dari FIP II adalah meningkatnya kelembagaan dan kapasitas lokal dalam desentralisasi tata kelola kehutanan. Tujuan lain adalah peningkatan mata pencaharian masyarakat di sekitar KPH,” katanya.
Menurut Kustanta, 10 KPH yang menjadi lokasi FIP II adalah KPH yang siap secara sarana dan prasarana, kelembagaan dan sumber daya manusia. Kustanta menyatakan, lewat FIP, maka KPH didorong untuk sebenar-benarnya beroperasi. “Bukan sekadar menjadi percontohan,” katanya.
Operasionalisasi 10 KPH tersebut diharapkan bisa diikuti oleh KPH lainnya. Kustanta menyatakan, pihaknya juga terus mencari peluang pendanaan untuk mendorong perasionalisasi KPH lainnya. “Agar jangan ada gap antara KPH,” katanya.
Sementara itu Kepala KPH Dolago Tanggunung, Sulawesi Tengah, Ceceng Suhana menyatakan pihaknya merasakan benar manfaat FIP II. Lewat program tersebut izin perhutanan sosial yang ada di wilayah KPH Dolago Tanggung bisa bergerak. “Ada 8 izin perhutanan sosial yang mendapat dukungan dari FIP II di KPH Dolago Tanggunung. Semuanya sekarang bergerak,” katanya.
Ini, imbuh Ceceng, mendukung upaya yang dilakukan pihaknya dalam pemanfaatan potensi hutan yang ada di KPH Dolago Tanggunung. “Dulu izin perhutanan sosial hanya mangkrak setelah diterbitkan. Kini sudah mulai bergerak,” katanya. Sugiharto
KPH, UU Pemerintahan Daerah, dan PP Gambut
Pengajar kehutanan dari Universitas Riau M Mardiansayh mengungkapkan banyak tantangan yang dihadapi untuk mendukung operasionalisasi KPH. Pertama, terkait dengan berlakunya Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Berlakuknya UU tersebut, kata Mardiansyah mengubah skenario operasionalisasi KPH karena kewenangan pengelolaan hutan ditarik dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Padahal, banyak KPH yang pada awalnya dirancang untuk menginduk pada pemerintah kabupaten/kota. “Keberadaan KPH pun sempat goyah,” katanya.
Perubahan itu berdampak pada ketersediaan pendanaan dan sumber daya manusia untuk operasionalisasi KPH. “Di lapangan banyak KPH yang bingung, padahal potensinya banyak. Ini yang perlu terus disosialisasikan,” katanya.
Tantangan lain lain adalah kebijakan pemerintah yang ingin mendorong perhutanan sosial. Menurut Mardiansyah, kebijakan tersebut sejatinya peluang. Namun di lapangan implementasinya terancam dengan adanya Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016 yang mengubah PP No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut beserta peraturan pelaksanannya.
PP gambut dan turunannya, kata Mardiansyah telah menetapkan fungsi lindung ekosistem gambut meski sebuah KPH sejatinya mengelola kawasan hutan produksi. Untuk itu, kata dia, perlu ada solusi agar izin perhutanan sosial yang ada di KPH produksi tetap bisa beroperasi tanpa melanggar ketentuan hukum.
Tantangan ketiga adalah potensi ekonomi yang perlu terus didorong. Mardianysah menyatakan, meski banyak potensi ekonomi namun ukan berarti hal itu mudah untuk langsung digarap. Dia memberi contoh apa yang terjadi di Riau dimana persoalan revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang belum juga beres, yang membuat pemanfaatan potensi ekonomi yang ada di KPH terhambat.
Dalam kesempatan tersebut, Mardiansyah menegaskan, insan akademisi di Foretika siap mendukung sepenuhnya upaya KLHK untuk mendorong oeprasionalisasi KPH. Sugiharto